Membongkar Distorsi Kolonialis dan Orientalis terhadap Apa Itu Agama

Ilustrasi Armada Koloni
Ilustrasi Armada Koloni

Studi tentang religion (agama) merupakan bidang yang kompleks dan sering kali kontroversial, terutama ketika meneliti fondasinya dalam pemikiran Barat, orientalisme, dan kolonialisme. Istilah religion itu sendiri tidaklah netral. Sebaliknya, ia merupakan kategori yang diuntai secara hegemonik oleh pandangan dunia Barat yang berpusat pada Kekristenan, yang kemudian diekspor secara global melalui mekanisme ekspansi kolonial.

Para sarjanawan, seperti Wilfred C. Smith (1963) dan Jonathan D. Smith (1998), berpendapat bahwa pemahaman Barat tentang agama ini bukanlah kategori universal, melainkan pemaksaan perspektif historis, budaya, dan ideologis tertentu terhadap berbagai praktik spiritual dan budaya non-Barat. Pemaksaan ini telah menimbulkan masalah krusial dalam cara agama dipelajari, dikategorikan, dan dipahami secara umum.

Kata religion berasal dari bahasa Latin religio, yang, dalam penggunaan aslinya, merujuk pada praktik dan kepercayaan terutama dalam konteks Romawi, yang sering kali berkaitan dengan penghormatan kepada dewa-dewi dan pelaksanaan ritual tertentu. Baru kemudian, khususnya dalam konteks penyebaran agama Kristen, term religion berkembang menandakan serangkaian doktrin dan praktik yang berfokus pada iman terhadap satu Tuhan monoteistik yang mahakuasa (Smith, 1963).

Ketika para misionaris Kristen dan penjelajah Eropa menjumpai berbagai budaya dan sistem kepercayaan di luar wilayahnya, mereka dengan serta-merta mengategorikan praktik-praktik yang beragam ini di bawah istilah umum religion, dengan mencoba mengklasifikasikan dan membandingkannya dengan agama Kristen sebagai rujukan dan acuan utamanya.

Akibatnya, praktik-praktik yang tidak sesuai dengan asumsi kategori Kristenitas dan term Barat, seperti kepercayaan yang tidak memiliki perbedaan gamblang antara yang sakral dan yang sekuler, atau yang tidak memiliki kode moral yang eksplisit, sering kali diabaikan atau diberi label sebagai primitif, takhayul, atau bahkan menyimpang. Hal ini terjadi, misalnya, pada agama-agama leluhur yang dilabeli dengan animisme dan sebagainya, dan kemudian dianggap budaya, alih-alih praktik keagamaan.

Orientalisme, Kolonialisme, dan Penciptaan Yang Lain

Karya penting Edward Said Orientalism (1995) menggambarkan bagaimana para sarjanawan dan kolonialis Barat, melalui lensa orientalisme, membangun Timur sebagai Yang Lain dalam hal budaya, ideologi, dan religiositas di hadapan kacamata kuda kebudayaan dan intelektualitas Barat.

Orientalisme menghunjamkan representasi eksotis, yang sering kali merendahkan masyarakat Timur, dengan cara menampilkan mereka sebagai masyarakat terbelakang, tidak rasional, dan membutuhkan pencerahan atau pemberadaban. Makanya, mereka mengglorifikasi bahwa penjajahan mereka merupakan iktikad dan sikap baik untuk mencerahkan Yang Lain. Tak dapat dielak, wacana itu berperan penting terutama dalam misi membingkai serta mengemas ulang apa yang disebut agama dalam masyarakat non-Barat sebagai sesuatu yang harus ditemukan, dijelaskan, dan, sebagai perluasannya, diperadabkan dengan acuan perspektif Barat.

Dalam konteks orientalisme, agama sering kali ditampilkan sebagai ciri khas Timur yang eksotis dan misterius—entah Hinduisme di India, Buddhisme di Asia Tenggara, atau bahkan Islam di Timur Tengah. Agama-agama ini diposisikan sebagai artefak budaya yang menggambarkan apa yang disebut inferioritas masyarakat Timur dibandingkan dengan Barat yang rasional dan tercerahkan (King, 1999). Tak dapat dipungkiri, pendekatan Barat yang demikian sungguh mereduksi sistem kepercayaan yang kompleks dan multidimensional menjadi representasi yang monolitik dan homogen serta statis. Dengan kata lain, hal itu menghapus keragaman internal, praktik regional, dan nuansa filosofis yang kaya.

Kolonialisme memperluas pengaruh kerangka agama Barat melampaui wacana hingga ke praktik kelembagaan yang nyata. Para administrator dan misionaris kolonial memainkan peran penting dalam mengategorikan dan mengodifikasikan sistem kepercayaan non-Barat ke dalam religion yang terpisah yang mencerminkan model saklek dan statis ala Barat. Proses ini sering kali dilakukan dengan tujuan eksplisit untuk memahami, mengelola, dan bahkan mengendalikan penduduk pribumi. Di India, misalnya, otoritas kolonial Inggris menciptakan perbedaan yang kaku antara Hinduisme, Islam, Sikhisme, dan sistem kepercayaan lainnya.

Pengukuhan kategori saklek semacam itu sering kali mengarah pada standardisasi praktik keagamaan yang dulunya lebih cair dan luwes, yang mengakibatkan ketegangan dan perpecahan yang masih ada hingga saat ini. Pemaksaan peng-agama-an ala kolonial ini juga berdampak pada transformasi praktik sosial dan budaya yang sebelumnya tidak dianggap sebagai agama. Banyak praktik pribumi, misalnya, tidak beroperasi dalam kategori biner ala Barat mengenai sakral/profan atau bahkan mengakui agama sebagai bidang kehidupan yang terpisah.

Dalam banyak budaya pribumi, praktik seperti menghormati leluhur, terhubung dengan tanah, dan menjunjung tinggi nilai-nilai komunal merupakan bagian integral dari kehidupan tetapi tidak dianggap sebagai agama dalam pengertian Barat sebab tak ditemukan keselerasan konseptual atau kemiripan epistemologis dengan Kekristenan. Sebaliknya, ketika para administrator kolonial melabeli praktik-praktik ini sebagai agama, mereka sering salah menafsirkannya dan kemudian membatasi atau melarangnya, terutama ketika praktik-praktik ini berbenturan dengan kepentingan kolonial.

Kategori Barat dan Studi Agama

Warisan kolonialisme dan orientalisme dalam mendefinisikan dan mengategorikan agama telah menimbulkan tantangan dalam studi akademik dalam bidang agama. Karena istilah religion tertanam kuat dalam paradigma Kekristenan Barat, banyak sarjana kini menyadari bahwa menerapkannya pada konteks non-Barat dapat mendistorsi, menyederhanakan, atau bahkan merusak kekayaan praktik tersebut. Ditambah, tak dapat dielak bahwa studi agama sendiri telah berkembang dan mapan sebagai warisan kolonialis dan orientalis.

Dalam beberapa dekade terakhir, sarjanawan seperti Talal Asad (2009) telah mempertanyakan universalitas religionsebagai sebuah kategori, dengan menunjukkan bahwa istilah tersebut terkait dengan kondisi historis tertentu di Eropa. Asad berpendapat bahwa gagasan Barat perihal agama sebagai urusan privat dan individual, yakni terpisah dari politik dan ekonomi, tidak hanya asing bagi banyak masyarakat non-Barat, melainkan juga kentara sekali memaksakan pemahaman terbatas tersebut tentang cara-cara di mana kepercayaan, praktik, dan komunitas saling bersinggungan dan berkelindan.

Selain itu, studi agama secara tradisional bergantung pada pendekatan komparatif, di mana tradisi-tradisi agama dianalisis satu sama lain seolah-olah agama-agama ada dalam bentuk-bentuk yang terpisah dan sebanding. Perbandingan ini sering kali mengutamakan agama yang sesuai dengan model Barat, yakni agama yang memiliki teks suci, pemimpin yang terorganisasi, dan teologi sistematis. Akibatnya, sistem kepercayaan yang tidak memiliki ciri-ciri ini dapat dianggap kurang atau tidak lengkap, dan bahkan dianggap bukan agama. Pendekatan artifisial dan parokial semacam ini telah meminggirkan dan mengeksklusikan tradisi masyarakat adat dan leluhur, yang tidak sesuai dengan parameter ini dan sering kali diturunkan statusnya menjadi praktik budaya atau praktik adat alih-alih agama (Maarif, 2017).

Mempertimbangkan warisan kolonial yang sempit semacam itu, para sarjanawan dengan lantang menyerukan studi agama yang didekolonisasi, yaitu mengakui keterbatasan dan bias yang melekat dalam kategori Barat. Pendekatan dekolonial akan melibatkan evaluasi ulang istilah, metode, dan kerangka berpikir yang digunakan dalam studi agama. Alih-alih memaksakan kepercayaan non-Barat ke dalam konsepsi agama yang parokial, para sarjanawan dapat mengadopsi istilah dan kategori dari dalam budaya sendiri, dengan melestarikan pemahaman dan kosakata masyarakat adat. Misalnya, daripada melabeli suatu praktik sebagai religion, para sarjanawan mungkin dapat berfokus pada istilah-istilah seperti dharma dalam konteks Hindu atau dīn dalam tradisi Islam, yang memungkinkan logika internal masing-masing sistem kepercayaan membentuk cara mempelajarinya.

Lebih jauh, mendekolonisasi studi agama mengharuskan sarjanawan untuk secara kritis memeriksa posisi mereka sendiri dan dinamika kekuatan historis yang telah membentuk bidang tersebut  (Nye, 2019). Daripada memperlakukan agama sebagai entitas statis dan kaku, kita dapat menekankan sifatnya yang cair dan terus berkembang serta cara-cara di mana agama bersinggungan dengan isu-isu identitas, politik, dan kekuasaan.

Pendekatan ini mengakui peran yang dimainkan oleh kolonialisme dan orientalisme dalam membentuk pemahaman kita tentang agama dan berusaha untuk bergerak melampaui kerangka pikir ini. Ringkasnya, studi tentang agama, yang berakar pada kerangka pikir model Barat, kolonial, dan orientalis, menghadapi tantangan mendasar ketika mencoba untuk terlibat dengan tradisi non-Barat dan pribumi.

Istilah religion (dan kemudian agama) itu sendiri mengandung konotasi dan asumsi yang mungkin tidak sejalan dengan kepercayaan dan praktik yang ingin dijelaskannya. Pendekatan dekolonisasi terhadap studi agama menawarkan potensi untuk bergerak melampaui batasan-batasan ini, yang memungkinkan pemahaman yang lebih bernuansa, penuh hormat, dan akurat tentang berbagai tradisi spiritual. Dengan mempertanyakan dan memperluas kerangka pikir yang digunakan untuk mempelajari agama, kita dapat berupaya mencapai pendekatan yang mengakui keragaman dan kekayaan dari kepercayaan dan praktik manusia yang amat beragam.

Angga Arifka

Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada—tinggal di anggaarifka.com.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.