Benarkah kodrat manusia merupakan makhluk sosial? Benarkah negara adalah bagian tak terpisahkan dari kodrat manusia yang sosial? Pertanyaan ini umumnya menjadi diskursus yang panjang dalam sejarah filsafat.
Untuk melawan kaum Sofis, Aristoteles membantah bahwa negara, masyarakat, serta hukum merupakan kesepakatan manusia semata. Dengan kalimat, “Anthropos physoi politicon zoon“, Aristoteles berpendapat bahwa poiesis atau kodrat manusia adalah makhluk politik. Hal itu dapat ditelusuri dari gejala bahasa. Adanya bahasa sebagai alat komunikasi menunjukkan bahwa manusia bukan sekedar memiliki insting kebinatangan untuk bertahan hidup seperti makan, minum, atau seksualitas.Bahasa menunjukkan adanya kapasitas rasional manusia untuk saling mengerti dan memahami sesamanya dalam mewujudkan kebaikan bersama. “Antrophos zoon logon echon” ini menunjukkan bahwa negara, masyarakat, dan hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari kodrat manusia sebagai “zoon politikon“. Berbeda dengan asumsi kaum Sofis yang menganggap hukum merupakan kesepakatan, yang sifatnya arbitrer, dapat dikehendaki hanya berdasar kehendak subjektif manusia.
Filsafat Hellenisme yang kemudian berkembang pasca Aristoteles lebih menitikberatkan pada persoalan etika, namun memiliki persinggungan dengan dunia politik. Epicurus misalnya, menganggap ataraxia (ketiadaan gelisah) dapat dicapai jika manusia menghindari aktivitas ber-polis (politik). Dari pandangan tersebut, Epicurus sama sekali tidak merujuk politik sebagai aktivitas yang esensial secara kemanusiaan, bahkan lebih jauh, ia menganggap hal itu dapat mengacaukan ketenangan jiwa manusia.
Sementara itu, kaum Stoa yang menekankan keselarasan dengan hukum alam, semesta atau biasa disebut logos, menyatakan bahwa manusia yang bertekad dengan bebas mengikuti pada tenunan semesta, manusia akan berlabuh niscaya mencapai ataraxia. Jika semesta menakdirkan kaum Stoa menjadi politikus, maka yang harus dilakukan adalah bertekad mengikuti kesesuaian dengan takdir tersebut. Ini dibenarkan oleh kaum Stoa yang sekaligus juga politisi dan negarawan seperti Marcus Aurelius, Cicero, dan Seneca. Karenanya politik dan negara hanyalah manifestasi dari tenunan semesta yang mesti dihidupi manusia yang menjalaninya.
Filsafat Patristik ataupun Skolastik kurang menyisakan pandangan politik yang signifikan kecuali dalam pemikiran St. Agustinus mengenai civitas dei (komunitas Allah). Agustinus menganggap bahwa konsep dosa asal membuat manusia terjatuh dan terus dikuasai nafsu rendahnya, hingga manusia memerlukan suatu sistem duniawi untuk ditertibkan. Karena itulah, lahirlah civitas terrena (komunitas duniawi). Namun pada perkembangannya civitas dei (komunitas Allah) hanya menunjukkan kesempurnaannya di akhir zaman. Negara dalam konteks ini hanyalah instrumen penertiban nafsu rendah manusia belaka, bukan tujuan pada dirinya sendiri.
Pada masa Renaisans tumbuh subur pandangan individu yang terlepas dari polis-nya, hal ini akan berpengaruh pada pemikiran filsafat politik Machiavelli, Hobbes, Locke, dan Rousseau yang secara umum membahas state of nature manusia dan kontrak sosial.
Keadaan alamiah manusia bagi Niccolo Machiavelli yakni licik, penipu, tamak, mirip seperti yang digambarkan Thomas Hobbes dalam diktum “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Dengan pergulatan manusia antar sesamanya, tiap individu menyerahkan kedaulatan dan haknya pada negara. Namun negara yang dimaksud Hobbes sebagaimana dianalogikan sendiri olehnya melalui mitologi buas “Leviathan“, memiliki ciri yang totalitarian dan otoritarian. Hobbes menyandarkan asumsi dasar mengenai manusia yang secara kodrati penuh dengan nafsu menaklukkan, dalam asumsi seperti itu maka kesosialan manusia adalah bentuk dari paksaan agar terhindar dari kebuasan manusia satu sama lain.
Selanjutnya John Locke dan J. J. Rousseau juga menerangkan mengenai kontrak sosial namun dibangun dari asumsi watak manusia yang secara kodrati baik. Negara yang disepakati pun merupakan representasi dari kebaikan umum bersama. Perbedaannya adalah Rousseau menganggap bahwa State of Nature manusia pada awalnya adalah penyendiri, manusia bebas mengikuti suara hatinya sekaligus bebas karena tidak berada di bawah kekuasaan orang lain. Seturut adanya penetapan hak milik pribadi dan pembagian kerja, mulai muncul kesenjangan sosial dan relasi budak-tuan yang membuat manusia tidak lagi memiliki pilihan bebas selain menyesuaikan dengan pola kelas sosialnya. Karenanya penyelesaian dari ketidakadilan dan ketidakbebasan manusia itu diasumsikanlah sebuah kontrak sosial untuk mengembalikan kebebasan dan hak manusia.
Secara umum para pemikir kontrak sosial menyatakan bahwa negara merupakan sekedar kesepakatan belaka, dan bukan melekat secara kodrati. Namun Hobbes dan Rousseau sama-sama menggambarkan manusia yang penyendiri, dengan tambahan bahwa menurut Hobbes manusia merupakan sosok egois yang buas. Sementara dalam pemikiran Rousseau, manusia digambarkan sosok primitif yang digerakkan oleh cinta diri “amour de soi” dan sekaligus belas kasih “commiseration” pada sesama.
Dalam pemikiran Karl Marx, kita melihat kesamaan dengan pemikir sosialis utopis bahwa secara kodrati manusia hidup berkelompok, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rousseau. Pengakuan hak milik dan pembagian kerja seturut perkembangan alat-alat produksi manusia mengalami alienasi dari hakikat kesosialan manusia
Melawan pemikir kontrak sosial seperti Hobbes, Locke, dan Rousseau. Filsafat negara romantik digaungkan oleh Adam Muller. Muller mengkritik pandangan bahwa seolah individu dapat diandaikan begitu saja tanpa adanya negara. Bagi Muller, individu selalu bersifat sosial dan negara berakar pada kodrat manusia. Hal ini yang membuatnya memandang negara secara integralistik, di mana kebutuhan manusia lahiriah dan rohaniah terungkap dalam kesatuan antara raja dan rakyatnya, dalam negara.
Dari keberagaman spektrum pandangan filsuf mengenai kodrat (poiesis) manusia, kita bisa merefleksikan kembali persoalan yang dianggap sudah selesai dengan asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dalam pandangan klasik, manusia umumnya tidak terlepas dari polis. Aktivitas ber-polis merupakan bagian integral dari manusia. Namun suara sumbang hadir di dalam konteks peradaban dan zeitgeist seperti itu, yakni pandangan Epicurus sebagai pendiri mazhab filsafat Epikureanisme menganggap aktivitas ber-polis merupakan aktivitas yang mengganggu manusia dalam mencapai ataraxia. Walaupun Epicurus tidak memberi ketegasan mengenai pandangannya terhadap kodrat manusia yang soliter, ia masih menganjurkan relasi sosial di luar konteks polis seperti membina hubungan persahabatan yang semata-mata diarahkan agar manusia mencapai ataraxia dan eudaimonia.
Pandangan mengenai poiesis yang sudah sangat individual bisa dilacak pada pemikiran para filsuf pasca renaisans, di mana pemikir kontrak sosial secara umum mengasumsikan adanya individu-individu yang memiliki kebebasan, hak, dan kedaulatannya sendiri. Semuanya terjadi sebelum terjadi gesekan di antara manusia hingga memicu munculnya kontrak sosial. Bahkan, di dalam pandangan Hobbes dan Rousseau dapat dilihat dengan jelas ketegasan filsafatnya bahwa kodrat manusia merupakan makhluk individual, sebelum akhirnya terpaksa “menjual” individualitasnya terhadap negara dan masyarakat
Pemikiran modern atau kontemporer setelahnya sudah lama meninggalkan perdebatan mengenai esensi dan lebih memfokuskan persoalan eksistensi, karenanya persoalan poiesis dianggap terlalu jauh untuk bisa divalidasi dengan verifikasi empiris atau pernyataan tautologis model positivisme logis. Akhir kata “Apakah manusia makhluk sosial atau penyendiri?” atau “Apakah pertanyaan ini sudah tidak relevan lagi dipersoalkan?”