Tepat pada abad ke-15 arus modernisme masuk merebah dalam ruang pengetahuan dan praktik kehidupan manusia. Konon modernisme adalah pintu masuk dari era kegelapan yang ditanggalkan menuju peradaban yang terang benderang atau renaisans. Hari ini, pencerahan itu kembali dipertanyakan, bahkan diragukan keprimadonaannya. Ada banyak pemikir pasca-modern dan aliran Frankfurt yang akhirnya menginterupsi jalannya modernitas. Mereka beranggapan bahwa abad pencerahan senyatanya adalah abad kegelapan yang dibawakan seakan-akan mencerahkan, itu kerap kali terdengar dengan istilah badai modernitas.
Kita perlu mengulas kembali bagaimana perkembangan revolusi industri dan revolusi Prancis yang dalam sekejap mata mampu mengubah jalannya kehidupan manusia secara terstruktur, sistematis, dan sering kali tanpa disadari.
Perkembangan mesin dan teknologi dalam kerangka industrialisasi dan teknologisasi mampu meramu sedemikian rupa wajah realitas baru di luar daripada realitas yang nyata dan konkret. Itu tergambar dalam terjadinya pergeseran yang paling mendasar ialah sedari tindak-tanduk manusia menjalani kehidupan, bersosialisasi, berbelanja, hingga pada ruang intim memaknai kehidupan—terutama realitas yang manipulatif bagi Jean Baudrillard yang akan kita bahas di pembahasan selanjutnya. Hikmat Budiman (2002) turut mengemukakan keresahannya bahwa dunia manusia sekarang sudah dipenuhi dengan huru-hara tanpa ada rasa haru. Nestapa manusia modern sudah memasuki periode ambivalensi dalam menjalani kehidupannya.
Dalam masyarakat yang majemuk, kita mencandra modernitas sebagai proyek besar kehidupan sosial yang gagal, yang di dalamnya terkandung muatan positivistik yang sarat akan instrumentalisasi demi melancarkan ekspansi kapital dalam rangka mewujudkan hegemoni kapital atas masyarakat yang majemuk, beragam namun satu. Horkheimer (1972) turut menggelontorkan kritiknya terhadap modernitas bahwa pemikiran positivistik hanya menerima peranan ilmu sebagai rekaman atas fakta dan membatasi generalisasi fakta tersebut ke dalam satu kesatuan realitas yang tampak. Hal tersebut telah mengesampingkan persoalan historis dan menjadi instrumen bagi sistem kekuasaan.
Perwujudan nestapa modernitas dalam rupa penindasan yang baru: dominasi, alienasi, manipulasi, instrumentalisasi, dan mekanisasi. Bisa disimpul dalam 3 patologi terhadap masyarakat modern. Pertama, percepatan revolusi industri dan dampak dari hasil revolusi Prancis. Kedua, pandangan dunia yang tunggal dalam cengkeraman ilmu positivistik. Dan ketiga, terciptanya relasi subjek-objek yang membangun pakem tradisi instrumentalisasi atau manusia modern menjadi objek secara totalitas. Selanjutnya dari kacamata Jean-Baudrillard akan kita bongkar praktik-praktik manipulasi dan simulasi yang sudah menghiasi jalannya kehidupan kita dalam berkembang pesatnya teknologi.
Menyoal Jean-Baudrillard
Seorang Jean-Baudrillard lahir di kota Prancis Barat, tepatnya Riems, pada 27 Juli 1929. Ia lahir dari kedua orang tua yang mula-mula menyandarkan sebahagian hidupnya sebagai petani, kemudian hijrah menuju kota Paris dan bekerja sebagai pegawai di Institusi Dinas Pelayanan Masyarakat. Baudrillard sendiri aktif dalam organisasi mahasiswa sosialis dan mengakui diri sebagai pengikut Marxisme. Ia menyelesaikan studi strata pertamanya di Universitas Sorbonne Paris, selepas itu mengemasi tesis sosiologinya pada tahun 1966 di Universitas de Paris-X Nanterre di bawah perangai Henry Lefebvre, seorang tokoh anti-strukturalis Prancis.
Tercatat dari beberapa karya Baudrillard seperti tulisan-tulisan awalnya di majalah Calvino dan Temps Modernes milik Jean Paul Sartre, ia mengakui sendiri bahwa dirinya adalah seorang penganut sekaligus kritikus Karl Marx. Hal itu tergambar dalam karyanya mengenai nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-value), dan analisis kritisnya terhadap implikasi kapitalisme dalam kebudayaan.
Baudrillard tutup usia pada 6 Maret 2007 dengan usia ganjil 77 tahun. Ia adalah seorang pemikir terkemuka Eropa. Ia menulis buku hampir dari setengah usianya yang berjumlah 30 buku. Baudrillard adalah sosok pemikir pasca-modern yang berpijak di atas pisau analisis Marx untuk membongkar pola kapitalisme yang memanipulasi jalan kehidupan manusia. Lebih tepatnya era kapitalisme lanjut.
Transformasi budaya modernitas
Pada bagian ini, transformasi budaya dalam terminologi Baudrillard dimaknai seperti ini, bahwa kecenderungan tahapan dorongan masyarakat terbagi tiga: masyarakat primitif/feodal, masyarakat hierarkis, dan yang terakhir adalah masyarakat massa/modern. Dari ketiga tahapan sekaligus tipologi masyarakat tersebut, bagi Baudrillard, masyarakat digiring menuju kecenderungan simbolik (symbolic value) ini diterangkan di dalam bukunya yang berjudul The Consumer Society (1970), dalam hal ini juga terbentuk apa yang dinamakan sebagai kelas-kelas sosial dalam melihat kecenderungan masyarakat. Dalam hal ini semuanya dirangkai dengan dorongan konsumsi, dan terbentuknya simbol atau penanda golongan kaya dan golongan miskin. Sehingga secara psikososial, masyarakat ingin terlihat lebih terhormat di atas simbolisasi yang ada.
Dalam dekade terakhir ini kita dihadapkan masa-masa di mana teknologi menjadi pusaran sentral kehidupan, dan menjadi satu-satunya cara untuk menembus batas realitas. Teknologi mampu muncul dalam berbagai produk seperti robotika, kecerdasan buatan, bioteknologi, percetakan 3D, iklan-iklan digital yang semakin hiperbolik, hingga komputasi kuantum. Inovasi dan gerak laju perkembangan teknologi mampu bersinggungan langsung dengan masyarakat secara kumulatif. Dalam artian luas, batas antara manusia dan mesin menjadi semakin lekat tanpa sekat melalui teknologi. Dengan itu, manusia sangat memungkinkan jatuh ke dalam mekanisasi dan instrumentalisasi atas kontrol penuh dari Teknologi sebagai realitas lain.
Abad 21 ini telah dipenuhi imitasi, duplikasi, kode, simbol, dan berbagai macam tanda yang mengambang di langit-langit komunikasi media massa dan alam bawah sadar hingga alam sadar manusia, beragam hal tersebut mereduksi realitas fisik manusia. Teknologi mampu merebut alam kehidupan manusia, hidup yang dipenuhi periklanan tanpa makna, kebutuhan tanpa dibutuhkan, kesenangan yang tak menyenangkan, semua menjadi simulasi dalam rumusan yang manipulatif. kira-kira seperti itu cara menerangkan betapa ambigunya kehidupan dalam beberapa dekade terakhir ini. Kehidupan yang semakin sesak akan informasi-informasi sampah, tentu saja ungkapan ini memiliki dasar.
Merujuk keadaan yang gagap tindak keadilan dan gelap gempita dalam rasa kemanusiaan, kita dipersandingkan dengan realitas yang membabi buta namun terencana tertata rapi, begitu menyerang kondisi kesadaran psikologi kita dalam menjalani kehidupan. Baudrillard mengemukakan bahwa gambar pada layar kaca atau media cetak lainnya mampu memarginalisasi realitas fisik dan nyata yang kita jalani, itu berimbas pada gaya hidup, berbelanja, dan bagaimana memandang kelas-kelas sosial yang sedang dipikul pundak masing-masing. Baginya, itu yang dinamakan sebagai hiper-realitas akar dari pergeseran budaya konsumsi masyarakat.
Aku belanja maka Aku ada
Saya menyimpulkan sebuah doktrin yang berkembang di era kapitalisme lanjut dalam mode of consumption. Masyarakat masa kini mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan kapitalisme—bagi Bertens dari mode of production digantikan mode of consumption (Bertens, 1995: 146). Bahwa jika aku berbelanja maka di situ aku ada; berdaya, eksis, dan merasa memiliki kekuatan dalam menjalani keseharian.
Secara historis, mula-mula rupa konsumsi itu berawal dari (use value) atau nilai guna dan itu direpresentasikan dalam bentuk barter lalu berlanjut munculnya mata uang sebagai alat tukar menukar (exchange value) yang disejajarkan dengan nilai guna suatu barang. Dan yang terakhir adalah masa-masa di mana tingginya nilai tukar itu ditentukan oleh seberapa bermereknya suatu barang—Baudrillard menyebutnya sebagai (symbolic value) yang itu menegasikan posisi (use value) dalam kegiatan konsumsi masyarakat.
Kemudian yang tidak bisa kita tampik dalam realitas masyarakat modern, bahwa barang-barang bermerek dapat laku di pasaran itu sebab sasaran pembeli sudah tidak dikategorikan lagi, baik kalangan atas atau menengah. Simbol menjadi penentu sekaligus simulasi manipulatif atas rusaknya kesadaran masyarakat di pusaran perkembangan teknologi. Misalnya, sebuah mobil Audi dinilai bukan karena manfaatnya sebagai mode transportasi (use value) atau harganya yang melejit mahal (exchange value), melainkan karena hal tersebut menjadi simbol prestise, gaya hidup (symbolic value), kemewahan dan status sosial pembelinya (sign-value). Ini bagian terkecil dari hidupnya doktrin “aku berbelanja maka aku ada”. Begitulah logika konsumsi yang berjalan dimasyarakat.
Dengan keresahan yang sama, Baudrillard mengatakan bahwa fungsi utama objek-objek konsumsi bukan lagi ada pada kegunaan atau manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai tanda atau simbol yang disebarluaskan melalui iklan-iklan gaya hidup berbagai media (Baudrillard, 1970: 19). Sesuatu yang kita beli, tidak lagi berbicara soal pentingnya kebutuhan, ia menjadi sekedar tanda-tanda yang ditanamkan ke dalam objek-objek konsumsi yang kemudian membedakan pilihan masing-masing individu.
Dalam kehidupan yang penuh simulasi dan manipulasi ini, sangat diperlukan adanya sikap teguh prinsip atas diri yang kemudian mampu membumi dalam kesadaran intensional diri sendiri dalam menentukan sikap dan pilihan. Kesadaran ini perlu menembus batas modernitas untuk menyingkap tabir kepalsuan seperti citra, tanda dan kode, sebab inilah silang sengkarut diri kita dalam pembajakan nilai-nilai kehidupan.
Referensi
Budiman, H. (2002). Lubang Hitam Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Horkheimer, M. (1972). Crtical Theory Selected essays. Ney York: Continuum.
Baudrillard, J. Simulation, New York, 1983
Baudrillard, J. 1970. The Consumer Society: Myths and Structures (Published in association with Theory, Culture & Society). London: Sage Publications.