Paramatthadhamma: Pandangan Buddha Tentang Realitas Hakiki

Ukiran Buddha di Gua Longmen - China dari masa Dinasti Tang

Pangeran Siddhattha, seorang calon Buddha, pergi meninggalkan istana karena ketidakpuasannya terhadap fenomena yang dihadapi manusia di dunia ini. Penderitaan, penyakit dan ancaman kematian seakan menjadi mata rantai yang membelenggu kehidupan. Menyadari sifat tidak memuaskan dari hidupnya, beliau berharap terbebaskan dari seluruh penderitaan[1]. Dengan harapan akan terbebas dari penderitaan ini, Siddhattha melihat jauh ke dalam sifat sejati dari penderitaan sebagai mana adanya. Dia melihat sifat sejati dari apa yang sering kita sebut sebagai tubuh dan batin. Lalu sampai pada kesimpulan bahwa tubuh dan batin, dimana batin adalah sekumpulan faktor-faktor mental bersifat muncul-tenggelam. Secara singkat beliau menyadari bahwa kedua-duanya baik fenomena tubuh dan mental hanyalah proses-proses alami yang timbul dan tenggelam[2]. Pada pengamatan selajutnya, Sang Calon Buddha sadar terhadap yang muncul-tenggelam. Dengan pandangan yang semakin tajam, ia mengamati fenomena tubuh dan batin sebagai yang muncul-tenggelam. Melihat tubuh dan batin sebagai proses-proses alami tanpa menganggap mereka sebagai seseorang atau makhluk hidup[3].

Kemelekatan terhadap yang muncul-tenggelam ini adalah awal dari penderitaan, dimana kemelekatan disebabkan oleh adanya nafsu-keinginan, maka dari sini sang calon Buddha mampu menangkap hubungan sebab-akibat dari kemelekatan dan penderitaan. Untuk lepas dari penderitaan maka, ia harus membuka jalan untuk lenyapnya nafsu-keinginan sebagai sumber kemelekatan dan titik awal hilangnya penderitaan. Sehingga Sang Calon Buddha menyadari empat sifat alami, yaitu penderitaan, sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan menuju lenyapnya penderitaan[4]. Buddha mendapat gelar atau nama Buddha karena beliau sepenuhnya memahami empat jenis sifat sejati ini. Pemahaman ini tidak diperoleh melalui pembelajaran dari yang lain tapi dengan mengembangkan pandangan terang yang menembus melalui praktek Beliau sendiri.[5]

Berikut adalah riwayat singkat Pangeran Siddhatta sampai pada akhirnya menjadi seorang Buddha. Seorang Buddha yang kini ajaran-ajarannya dapat ditemukan dalam Tipitaka. Secara garis besar Tipitaka dapat diartikan sebagai tiga keranjang. Seperti namanya Tipitaka terdiri tiga kelompok yaitu Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhidhamma Pitaka. Menurut tradisi Theravada, Pengelompokan ini konon dilakukan berdasarkan keputusan Konsili Buddhis di Sri Lanka, 400 tahun setelah Sang Buddha mangkat.

Demikian sehingga tulisan ini akan sedikit membahas tentang ajaran di salah satu Kitab Abhidhamma Pitaka, melalui Abhidammattasangaha. Dimana terdapat pembahasan tentang Realitas Hakiki. Menjadi ketertarikan tersendiri bagi penulis untuk membahas tema ini. Seperti kita ketahui bahwa diskusi maupun perdebatan tentang konsep Realitas telah banyak dibahas dalam Kajian Filsafat Barat. Sehingga tulisan ini memiliki tujuan untuk memperkaya kajian-kajian mengenai konsep Realitas dari perspektif Filsafat Timur, khususnya Filsafat India.

Tentang Abhidhammatta Sangaha dan Abhidhamma

Abhidhammatta Sangaha dapat dikatakan sebagai pengantar kitab Abhidhamma atau sering disebut juga sebagai Manual Abhidhammatta Sangaha. Manual ini ditulis oleh Ācariya Anuruddha sekitar abad 11 sampai dengan abad 12. Identitas dari Ācariya Anuruddha sendiri sampai sekarang masih gelap. Namun di sisi lain, manual ini telah menjadi buku paling penting dalam pelajaran Agama Buddha sampai saat ini, khususnya dalam Tradisi Theravada[6]. Keahliannya dalam menangkap esensi dalam setiap ajaran kitab Abhidhamma, membuatnya mampu meringkas kitab Abhidhamma tanpa mengurangi kepadatan isinya.

Kitab Abhidhamma sendiri memiliki gaya bahasa yang sedikit berbeda dengan Sutta dan Vinaya. Apabila dalam sutta digunakan bahasa keseharian atau biasanya berupa kisah-kisah tentang Sang Buddha dalam membabarkan Dhamma di berbagai wilayah, bahasa yang digunakan dalam Abhidhamma memiliki kesan filosofis dan analitis. Sebagai contoh dalam bab Citta (kesadaran), maka kita akan melihat bagaimana Sang Buddha menganalisa fenomena kesadaran dengan metode klasifikasi berdasarkan tingkatan, lingkup dan fungsionalnya. Namun pada tulisan ini, belum akan dibahas secara spesifik tentang Citta (kesadaran). Tulisan ini akan membahas tentang Realitas dalam pandangan Buddha dalam Abhidhammatta Sangaha, dimana kesadaran merupakan bagian dari Realitas Hakiki.

Dalam Abhidhammatta Sangaha dijelaskan mengenai empat Dhamma yang Hakiki. Dhama yang dimaksud di sini adalah Realitas. Sehingga Dhamma yang Hakiki secara langsung merujuk kepada Realitas Hakiki. Menurut Abhidhamma hanya empat Realitas inilah yang benar-benar nyata karena memiliki sifat alamiahnya masing-masing (Sabhava). Selain dari empat Relitas Hakiki itu disebut sebagai Relitas Konvensional (Sammuti) atau sering juga disebut sebagai Realitas Konsep. Karena konsep tidak memiliki sifat alamiahnya sendiri tetapi dengan menggabungkan beberapa hal menjadi satu (samuhekaggahana).

Realitas Hakiki (Paramatha)

Realitas Hakiki terdiri dari Citta (Kesadaran), Cetasika (Faktor-faktor Mental), Rupa (Materi) dan Nibbana. Dari keempat Realitas itu, Citta (Kesadaran), Cetasika (Faktor-faktor Mental) dan Rupa (Materi) disebut sebagai Dhamma yang terkondisi oleh karena sifat-sifatnya yang muncul dapat dianalisa pada sebuah proses yang terkondisi[7]. Contoh, ketika kita melihat ke arah sebuah obyek, maka proses melihat tersebut adalah proses yang terkondisi. Terdapat beberapa syarat agar proses yang terkondisi ini terjadi. Antara lain cahaya, sensisitivitas indera-indera dan perhatian yang tertuju pada obyek tersebut. Meskipun ada cahaya dan sensitivitas indera-indera, namun tidak terdapat perhatian kepada obyek tersebut, tentu kita tidak melihat obyek tersebut. Untuk lebih jelasnya, akan dibahas satu per satu antara Dhamma yang terkondisi dan Dhamma yang tak terkondisi.

Dhamma yang terkondisi

Dhamma yang terkondisi terdiri dari, Citta (Kesadaran), Cetasika (Faktor-faktor Mental) dan Rupa (Materi). Citta (Kesadaran) adalah daya mental yang menyadari (Cinteti), dalam artian menyadari adanya obyek. Cinteti diartikan sebagai menyadari atau kognisi. Jadi Citta (Kesadaran) hanya bersifat menyadari suatu obyek. Citta tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui misalnya, warna atau nama dari obyek tersebut. Untuk mengetahui warna atau nama obyek tersebut diperlukan faktor-faktor mental yang lain seperti perasaan dan persepsi serta proses kognitif yang kompleks. Citta juga tidak muncul tanpa adanya obyek dan juga tidak solid. Sifatnya muncul-tenggelam, setelah menjalankan tugasnya yaitu menyadari suatu obyek maka segera lenyap. Untuk melaksanakan fungsi yang sama maka kesadaran yang baru dari jenis yang sama muncul. Dan kemunculannya tergantung kepada kondisi-kondisi. Apabila Citta tidak muncul maka Cetasika (Faktor-faktor Mental) tidak akan muncul. karena Cetasika tidak mampu mengambil obyek sendiri tanpa adanya Citta. Namun Citta bisa muncul tanpa adanya Cetasika. Sedangkan apa yang dimaksud dengan materi dalam Abhidhamma adalah sesuatu yang mengalami perubahan atau transformasi (ruppati) karena keadaan-keadaan yang berlawanan.

Dhamma yang tak terkondisi

Nibbana, sering disebut sebagai Dhamma yang tidak terkondisi, Nibbana adalah Realitas yang diyakini bebas dari Dhamma yang terkondisi[8]. Dari sudut pandang spritualismenya, Nibbana adalah dimana tidak ada penderitaan dan juga kebahagiaan karena lepasnya belenggu nafsu keinginan dalam kehidupan. Kosmologi Buddhisme memandang Nibbana, juga sebuah pencapaian ketika seseorang telah mencapai tingkat kesucian Arahat. Dimana seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian ini, tidak akan terlahir kembali di alam mana pun (dalam kosmologi Buddhis dikenal 31 alam kehidupan). Dengan berhentinya proses kelahiran kembali, maka berakhirlah juga penderitaan.

Realitas Konvensional (Sammuti)

Realitas Konvensional atau Realitas Konsep dibagi menjadi dua yaitu konsep-makna (atthapannati) dan konsep-nama (namapannati)[9].Misalnya benda bernama cangkir. Benda yang disebut cangkir tersebut adalah atthapannati, sedangkan kata cangkir adalah namapannati. Maka dapat disimpulkan bahwa atthapannati adalah konsep – makna yang harus dijelaskan dengan namapannati. Dalam kehidupan sehari-hari, namapannati tidak berubah meskipun atthapannati berubah. Seperti ketika kita mengenal seseorang yang telah lama tidak bertemu. Tentu kita tetap akan memanggilnya dengan nama seperti di awal perkenalan. Meski pun kemungkinan besar atthapannati (fenomena batin – jasmani) telah berubah.

Realitas Konvensional atau Realitas Konsep adalah Realitas yang pada horison-horisonnya kita dapat memberikan identitas secara konseptual pada obyek namun apabila kita ingin memiliki pengertian lebih mendalam tentang bagaimana proses pengenalan obyek sampai dengan konsepsinya, kita perlu mengurai fenomena-fenomena yang muncul pada horison Realitas Konvensional, sampai memperoleh kesadaran pada Realitas Hakiki. Dalam Buddhisme “langkah” ini disebut sebagai “penembusan kesadaran”.

Dalam tradisi Theravada, “penembusan kesadaran” dapat diketemukan dalam konteks usaha penembusan empat kebenaran mulia. Sebuah usaha untuk mencapai tingkat kesucian arahat, sebuah tingkat kesucian dimana seseorang telah mencapai kemurnian batin yang tinggi, ditopang salah satunya dengan pariyatti(pemahaman Tipitaka). Batin seorang arahat tidak lagi dikendalikan atau melekat oleh fenomena-fenomena yang muncul di horison-horison Realitas Konvensional (atthapannati & namapannati) maupun Realitas Hakiki yang terkondisi (Citta, Cetasika & Rupa). Seorang arahat telah mencapai kesadaran tak terkondisi dan merealisasi nibanna dimana telah terbebas dari kemelekatan yang dimengerti sebagai sumber penderitaan di semua yang terkondisi.

Kemelekatan terhadap yang terkondisi adalah sumber penderitaan, karena karakteristik umum dari fenomena baik yang muncul pada horizon-horizon Realitas Konvensional maupun horison-horison Realitas Hakiki yang terkondisi, memiliki karakteristik tidak kekal (anicca). Namun manusia senantiasa memiliki kecenderungan untuk melekat pada yang annica, contoh melekat pada konsep-konsep kekuasaan, kepemilikan dan ke”aku”an. Konsep-konsep tersebut adalah anicca atau memiliki karakeristik tidak kekal.

Melekat pada annica memunculkan penderitaan (dukkha). Contoh kita bersukacita pada konsep kekuasaan yang kita miliki hari ini. Tidak ada yang menjamin bahwa konsep kekuasaan yang kita miliki hari ini akan bertahan selamanya. Karena suatu krisis maka konsep kekuasaan kita perlahan lenyap. Dan kita pasti berduka karenanya.

Mengapa kita begitu mudah melekat pada yang annica? Semua bermula dari konsep “Aku”. Contoh, konsep “Aku” yang berkuasa, “Aku” yang memiliki, “Aku” yang mencintai serta segala “Aku” yang lain termasuk ada “Aku” yang abadi. Dalam Buddhisme, apa yang sering kita dengar dengan istilah “Roh”, “Jiwa”, “Diri”, “Inti” atau “Aku” sebenarnya hanyalah konsep yang muncul secara kompleks dari fenomena batin-jasmani, pada horison Realitas Konvensional dan Realitas Hakiki. Oleh karena itu ia juga memiliki karakteristik tidak kekal atau annica. Maka Buddhisme menolak konsep adanya “Jiwa” yang kekal, “Aku” yang kekal atau “Diri” yang kekal (anatta). Demikian penembusan kesadaran dapat memahami tiga karakteristik umum fenomena yang muncul pada horison-horison Realitas Konvensional sampai Realitas Hakiki yang terkondisi yaitu memiliki karakteristik tidak kekal (annica), penderitaan (dukkha) dan tanpa “aku” atau “inti” (anatta).

Seperti melihat kabut yang turun ke lembah. Seakan-akan kabut itu adalah sesuatu yang solid. Namun ketika kabut itu dihadapan kita lalu kita ada di dalamnya. Tidak kita temukan wujud yang solid itu. Tidak ada inti dari kabut itu. Lalu ketika matahari bersinar (Pandangan terang) kabut itu segera lenyap. Demikian juga fenomena yang muncul pada horison Realitas hanya perlu disadari sebagai yang muncul-tenggelamtanpa adanya inti yang kekal dan tetap.

Catatan Akhir:

[1]Lihat Chanmyay, Sayadaw, “Jalan Buddha Menuju Kedamaian dan Kebahagiaan,” dalam Bagaimana Buddha Merealisasikan Sifat Sejati dari Fenomena, hal.9

[2] Lihat Chanmyay, Sayadaw, “Jalan Buddha Menuju Kedamaian dan Kebahagiaan,” dalam Bagaimana Buddha Merealisasikan Sifat Sejati dari Fenomena, hal.10

[3] Lihat Chanmyay, Sayadaw, “Jalan Buddha Menuju Kedamaian dan Kebahagiaan,” dalam Bagaimana Buddha Merealisasikan Sifat Sejati dari Fenomena, hal.11

[4] Lihat Bikkhu Revata,” “Bangunlah! Dunia” dalam Apa yang manusia lakukan, hal.32

[5] Lihat Chanmyay, Sayadaw, “Jalan Buddha Menuju Kedamaian dan Kebahagiaan,” dalam Aspek pengabdian dalam Bhuddhisme, hal.12

[6]a detailed exposition of Ācariya Anuruddha’s Abhidhammattha Sangaha, the main primer for the study of Abhidhamma used throughout the Theravādin Buddhist worldLihatBhikkhu Bodhi, Comprehensive Manual of Abhidhamma The Abhidhammattha Sangaha of Ācariya Anuruddha,”

[7] Lihat Ashin Kheminda,Kesadaran, Penjelasan Komprehensif,” dalam Dhamma yang terkondisi dan tidak berkondisi, hal.166

[8] Lihat Ashin Kheminda,Kesadaran, Penjelasan Komprehensif,” dalam Nibbana, hal.166

[9] Lihat Ashin Kheminda,Kesadaran, Penjelasan Komprehensif,” dalam Dua jenis realitas konvensional, hal.154

[10] Lihat Ashin Kheminda,Kesadaran, Penjelasan Komprehensif,” dalam Realitas Hakiki dan Realitas Konvensional, hal.154

Referensi

Bhikkhu Bodhi. 2007. “Manual of Abhidhamma: The Abhidhammattha Sangaha Of Ācariya Anuruddha”. 940 Rutledge Avenue:Charleston Buddhist Fellowship

YM Chanmayay Sayadaw. 2018. “Jalan Buddha Menuju Kedamaian dan Kebahagiaan”. Jakarta: Yayasan Satipatthana Indonesia (Yasati).

Bhikkhu Revata. 2011. “Bangunlah! Dunia”. Jakarta: Yayasan Hadaya Vatthu.

Ashin Kheminda. 2017. “Kesadaran, Penjelasan Komprehensif”. Jakarta: Dhammavihari Buddhist Studies.

profil anggi gilang

Berasal dari Yogyakarta. Bermasalah dengan tempat baru dan sering tersesat. Terkadang menulis cerpen dan puisi. Lebih sering menulis paper teknis dan membantu teman mengerjakan skripsi.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.