Seluruh manusia bertanya pada diri mereka sendiri, siapa mereka? dari mana berasal? dan seperti apa identitas mereka? Pencarian identitas ini memang penting dan menarik, tetapi juga bisa berbahaya. Dalam upaya untuk mendefinisikan identitas yang jelas untuk diri saya sendiri, saya akan memeriksa diri ke dunia. Mungkin saya akan menyimpulkan bahwa identitas saya ditentukan dengan menjadi bagian dari satu kelompok tertentu, menekankan bagian dalam diri saya terhubung dengan kelompok yang dipilih, dan mengabaikan semua bagian saya yang lain.
Tetapi manusia merupakan makhluk yang teramat kompleks. Jika kita hanya berfokus pada satu bagian saja dari identitas kita dan mengandaikan bahwa itu saja yang penting, maka kita tidak dapat memahami siapa diri kita yang sebenarnya. Sebagai contoh, bagi saya yang seorang Yahudi, jelas bahwa sejarah Yahudi dan budaya Yahudi penting bagi identitas saya. Tetapi untuk memahami siapa saya, cerita Yahudi masih jauh dari cukup. Saya terbuat dari banyak potongan yang datang dari seluruh dunia.
Saya menyukai sepak bola, yang saya dapatkan dari Inggris. Mereka menemukan permainan ini. Jadi ketika saya menendang bola ke gawang, saya menjadi seorang Inggris kecil. Saya suka minum kopi di pagi hari, untuk itu saya harus berterima kasih kepada orang Etiopia yang menemukan kopi dan orang Arab dan Turki yang menyebar-luaskan minuman itu. Saya suka mempermanis kopi saya dengan sesendok gula, jadi saya berterima kasih kepada orang Papua yang membudidayakan tebu di New Guinea setidaknya 8.000 tahun yang lalu. Kadang-kadang saya menambahkan kopi saya dengan sepotong coklat, yang datang kepada saya jauh-jauh dari hutan tropis Amerika Tengah dan Amazonia, di mana penduduk asli Amerika mulai membuat suguhan coklat mungkin sejak 5.000 tahun yang lalu.
Beberapa orang Yahudi tidak menyukai sepak bola, tidak minum kopi, dan menghindari gula dan coklat. Tapi mereka masih menerima dari orang asing. Bahasa Ibrani, bahasa suci Yudaisme, mendapatkan banyak kata, idiom, dan struktur dasarnya dari bahasa lain seperti Fenisia, Akkadia, Yunani, Arab, dan yang terpenting, bahasa Aram. Seluruh bagian Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Aram daripada bahasa Ibrani, seperti juga sebagian besar Mishnah, Talmud, dan teks kunci Yahudi lainnya. Orang Aram kuno menyembah tuhan Haddad daripada Yehuwa, dan membunuh beberapa raja Yahudi, tetapi bahasa Ibrani dan budaya Yahudi hampir tidak dapat dibayangkan tanpa andil orang-orang Aram. Yahudi ortodoks meninggalkan dunia dengan bahasa Aram dari doa kaddish. Sekitar 2.500 tahun yang lalu, orang Yahudi bahkan meninggalkan aksara Ibrani, dan hingga kini menuliskan Taurat, Talmud, dan surat kabar harian mereka dalam aksara Aram.
Adapun ide menulis, itu bukan merupakan kontribusi dari Aram, tapi dari Sumeria kuno. Ribuan tahun sebelum orang Yahudi pertama hidup, beberapa orang Sumeria telah memulai: menggunakan tongkat untuk membuat tanda di atas lumpur. Mereka menemukan kode untuk tanda-tanda ini dan menciptakan teknologi penulisan, yang akhirnya memberi kita buku, koran, dan situs web.
Bukan hanya bahasa dan sistem penulisannya, tetapi bahkan keyakinan agama inti pun datang ke Yudaisme dari luar. Contohnya, keyakinan bahwa manusia memiliki jiwa abadi yang dihukum atau diberi pahala di akhirat tidak disebutkan di mana pun dalam Taurat, dan tampaknya bukan bagian penting dari alkitab Yudaisme. Dalam Perjanjian Lama Tuhan tidak pernah menjanjikan kepada orang-orang yang mengikuti perintah-perintah-Nya, mereka akan menikmati kebahagiaan abadi di surga, dan tidak pernah mengancam mereka yang berbuat dosa, akan dibakar untuk selama-lamanya di neraka. Keyakinan akan kehidupan setelah kematian merembes ke Yudaisme dari kepercayaan lain, terutama dari filsafat Yunani Plato dan dari agama Zoroastrianisme Persia. Orang-orang Persia juga memberi orang Yahudi gagasan tentang iblis—dan mesias.
Dari makanan hingga filsafat, dari obat-obatan hingga seni, sebagian besar yang membuat kita tetap hidup, dan sebagian besar yang membuat hidup berharga, adalah hal-hal yang ditemukan bukan oleh anggota bangsa tertentu tetapi oleh orang-orang dari seluruh dunia. Itu benar bukan hanya untuk orang Yahudi, tetapi untuk semua orang. Suatu kali, seseorang yang ingin meremehkan budaya Afrika bertanya dengan nada mengejek, “Siapakah Tolstoy dari Zulu?” Orang itu tampaknya percaya bahwa tidak ada budaya orang Afrika—baik suku Zulus atau siapa pun—yang menghasilkan karya sastra yang sebanding dengan War and Peace karya Tolstoy atau Anna Karenina. Ralph Wiley, seorang jurnalis Afrika-Amerika, menjawab tantangan ini dengan sangat sederhana. Wiley tidak mencantumkan penulis-penulis Zulu seperti Benedict Wallet Vilakazi, Mazisi Kunene, atau John Langalibalele Dube. Secara umum dia juga tidak bersikeras bahwa penulis-penulis Afrika seperti Chinua Achebe, Chimamanda Ngozi Adichie, atau Ngugi wa Thiong’o sama baiknya dengan penulis Barat. Wiley benar-benar melewati jebakan sektarian ini. Sebaliknya, dia menulis dalam bukunya Dark Witness bahwa “Tolstoy adalah Tolstoy dari Zulu—kecuali jika Anda menemukan keuntungan dalam memagari properti universal umat manusia menjadi kepemilikan suku secara khusus.”
Berbeda dengan pandangan yang dianut oleh para rasis fanatik, serta oleh orang-orang yang mengutuk “perampasan budaya” secara ekstrem, Tolstoy secara khusus bukanlah milik orang Rusia. Tolstoy milik semua manusia. Tolstoy sendiri sangat dipengaruhi oleh ide-ide orang asing seperti Victor Hugo dari Prancis dan Arthur Schopenhauer dari Jerman, belum lagi Yesus dan Buddha. Tolstoy berbicara tentang perasaan, pertanyaan, dan wawasan yang relevan dengan penduduk Durban dan Johannesburg tidak kurang dari Moskow dan St. Petersburg.
Dua ribu tahun yang lalu penulis drama Afrika-Romawi Terence, seorang budak yang dibebaskan, mengungkapkan gagasan kunci yang tidak jauh beda saat dia berkata, “Saya adalah manusia, dan tidak ada manusia yang asing bagi saya.” Setiap manusia adalah pewaris seluruh ciptaan manusia. Orang-orang yang sedang dalam pencarian identitasnya akan mempersempit dunia mereka menjadi cerita tentang satu bangsa sedang berpaling dari kemanusiaan mereka. Mereka merendahkan apa yang mereka bagi dengan semua manusia lainnya. Dan mereka mendevaluasi hal-hal yang jauh lebih dalam. Semua penemuan dan gagasan manusia selama beberapa ribu tahun terakhir hanyalah lapisan atas dari siapa kita sebenarnya. Di bawah lapisan ini, di kedalaman tubuh dan pikiran kita menyimpan benda-benda yang telah berevolusi selama jutaan tahun, jauh sebelum ada manusia. Misteri yang dalam ini terwujud dalam semua yang saya rasakan dan pikirkan. Untuk memahami siapa saya, penting untuk membuka misteri ini dan menjelajahinya, alih-alih menyelesaikan cerita tentang bagaimana saya termasuk dalam satu suku orang yang hidup selama beberapa ribu tahun di beberapa bukit dekat sungai.
Perhatikan, misalnya, ritual percintaan kita. Apa yang kita rasakan saat kita melihat seseorang yang kita anggap menarik, saat kita berpegangan tangan untuk pertama kali, saat kita bertukar ciuman pertama? Pikirkan tentang emosi tak menentu, harapan dan ketakutan, gugup, terpesona tanpa henti, dan tidak pernah membosankan.
Ini bukanlah hal-hal yang ditemukan oleh orang-orang Yahudi, Aram, Rusia, atau Zulus. Hal ini tidak ditemukan oleh manusia mana pun. Evolusi-lah yang membentuknya selama jutaan tahun, dan kita tidak hanya membaginya kepada manusia, tetapi juga dengan simpanse, lumba-lumba, beruang, dan hewan-hewan lainnya. Ritual keagamaan seperti Bar Mitzvah Yahudi atau Ekaristi Kristen yang berusia paling lama 2.000 tahun, dan mereka menghubungkan generasi sekarang dengan sekitar 100 generasi sebelumnya. Sebaliknya, ritual percintaan mamalia berusia puluhan juta tahun, dan ritual itu menghubungkan kita dengan jutaan generasi mamalia sebelumnya dan bahkan dengan nenek moyang pra-mamalia.
Jika saya bersikeras mempersempit identitas saya pada fakta bahwa saya milik satu kelompok manusia tertentu, maka saya mengabaikan yang lain. Saya menyisakan sedikit ruang dalam identitas saya untuk sepak bola dan coklat, untuk bahasa Aram dan Tolstoy, bahkan soal percintaan. Justru yang tersisa hanyalah cerita kesukuan yang sempit, yang bisa menjadi senjata tajam dalam pertarungan politik identitas, namun harus dibayar mahal. Selama saya mengikuti cerita sempit itu, saya tidak akan pernah tahu kebenaran tentang diri saya sendiri.
*Yuval Noah Harari, Seorang sejarawan Israel, filsuf, dan penulis best-seller Sapiens: A Brief History of Humankind, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, 21 Lesson for the 21st Century, dan Unstoppable Us.
Artikel ditulis oleh Yuval Noah Harari dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Yazid Hamdani.