Akhir-akhir ini, kampanye perlawanan terhadap konsumsi daging anjing marak terjadi. Hashtag #dogisnotmeat sempat menjadi trend di beberapa media sosial beberapa waktu lalu. Lembaga Dog Meat Free Indonesia, misalnya, menyerukan “Stop the dog meat trade” sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap maraknya perdagangan daging anjing. Fenomena ini mengangkat ke permukaan, beberapa pertanyaan yang telah lama menjadi perdebatan dalam filsafat moral: Apakah manusia diperbolehkan untuk membunuh dan menyiksa binatang?; Apakah binatang bisa merasakan penderitaan?; Apakah manusia mempunyai kewajiban untuk peduli terhadap binatang? Tulisan ini hendak melihat tindakan mana yang baik secara moral dalam memperlakukan binatang. Tindakan yang diambil di satu sisi diharapkan dapat mengedepankan kepentingan manusia dan di sisi lain tidak mengabaikan kelestarian binatang.
Pandangan etika tradisional yang telah banyak dipengaruhi oleh pandangan agama Kristen mengajarkan bahwa binatang tidak mempunyai jiwa dan hanya manusia yang diciptakan menurut citra Allah. Lebih jauh, perlakuan terhadap binatang menurut etika tradisional bukan merupakan sebuah persoalan moral (Rachels, terj., Sudiarja, 2004: 177). Artinya, manusia bisa memperlakukan binatang seturut kepentingannya karena hanya manusia yang secitra dengan Allah.
Para filosof Barat modern mencoba merumuskan pembenaran yang sifatnya sekuler, jauh dari otoritas ilahi sebagaimana diajarkan etika tradisional. Dua argumen yang diulas dalam tulisan ini adalah argumen kaum utilitarianis dan penganut kantianisme. Keduanya mengambil disposisi yang khas mengenai cara kita seharusnya memperlakukan binatang. David Hume (1711-1776) merumuskan sebuah teori moral yang dikenal sebagai utilitarianisme yang kemudian dirumuskan dengan lebih baik oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Utilitarianisme sendiri berdasar pada prinsip utilitas yang mengajarkan bahwa setiap tindakan yang diambil secara menyeluruh harus menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi orang banyak (Rachels, terj., Sudiarja, 2004: 171).
Menurut kaum utilitarianis, kunci untuk memahami perlakuan terhadap binatang adalah gagasan bahwa apakah suatu individu dapat mengalami kebahagiaan atau ketidakbahagiaan. Kenyataan bahwa binatang mampu mengalami penderitaan mewajibkan kita untuk mempertimbangkan tindakan kita terhadap mereka (Rachels, terj., Sudiarja, 2004: 179).
Argumen kedua datang dari penganut Kantianisme. Adalah Immanuel Kant (1724-1804) yang memperkenalkan bahwa perintah moral itu bersifat mutlak. Diktum Kant yang terkenal (seperti dikutip Rachels, terj., Sudiarja, 2004: 235) berbunyi demikian, “Bertindaklah menurut kaidah dengan mana engkau dapat sekaligus menghendakinya sebagai hukum universal.” Jika diambil untuk contoh menolong orang lain, misalnya, perintah ini mengatakan bahwa Anda harus menolong tanpa mempertimbangkan kepentingan pribadi Anda. Berkaitan dengan perlakuan terhadap hewan dalam buku Letctures on Ethics (1779) (seperti dikutip Rachels, terj., Sudiarja, 2004: 234).
Kant menulis, “Tetapi sejauh berkaitan dengan binatang, kita tidak mempunyai kewajiban-kewajiban langsung. Binatang…ada hanya sebagai sarana untuk satu tujuan. Dan tujuan itu adalah manusia.” Di sini Kant mengajarkan bahwa kita tidak mempunyai kewajiban untuk peduli terhadap binatang karena binatang hanya dipakai sebagai sarana untuk kepentingan manusia. Tindakan menyiksa binatang boleh jadi keliru hanya jika tindakan itu menjadikan manusia kejam terhadap dirinya sendiri dan orang lain (Rachels, terj., Sudiarja, 2004: 234-235). Selain itu, Kant juga menekankan bahwa hukum moral adalah produk akal budi dari manusia yang bermoral (Rachels, terj., Sudiarja, 20014: 237). Artinya, hukum moral hanya berlaku bagi makhluk yang melandasi seluruh tindakannya dengan akal budi. Binatang sama sekali tidak mempunyai akal budi sehingga tidak mempunyai kepentingan moral sama sekali.
Dua pandangan di atas kiranya masuk akal karena merupakan sebuah pembenaran yang lebih rasional ketimbang ajaran etika tradisional. Akan tetapi, dua pandangan di atas belumlah memadai karena alasan-alasan berikut. Pertama, kita tidak bisa begitu saja menyamakan manusia dengan binatang. Manusia mempunyai akal budi sedangkan binatang tidak. Karena tidak berakal budi ia tidak bisa memikirkan penderitaan itu. Tindakan memperlakukan manusia dan binatang secara sama dengan demikian adalah irasional.
Kedua, gagasan untuk memakai binatang semata sebagai sarana untuk tujuan manusia tampaknya sangat egoistis. Bagaimanapun, manusia hanyalah salah satu spesies yang menghuni planet ini. Dengan demikian, relasi dengan spesies-spesies lain menuntut tindakannya untuk mempertimbangkan keberadaan spesies-spesies lain. Berangkat dari argumen yang dikemukakan di atas, kita membutuhkan sebuah jalan tengah. Penulis menawarkan beberapa alternatif pandangan moral untuk menilai perlakuan kita terhadap binatang.
Pertama, unsur emosional manusia dalam memperlakukan binatang perlu dipertimbangkan. Pandangan semacam ini sebenarnya sudah terdapat dalam pandangan moral etika kepedulian yang menekankan hubungan emosional antara yang peduli dan yang dipedulikan. Etika kepedulian mengatakan bahwa manusia peduli terhadap binatang sejauh terdapat hubungan emosional antara mereka dengan binatang (Rachels, terj., Sudiarja, 2004: 301-302). Akan tetapi, menurut Rachels (terj., Sudiarja, 2004: 303), “binatang tidak mampu menjawab secara personal kepada manusia.” Artinya hanya manusia yang mempunyai perasaan emosional semacam itu sedangkan binatang tidak.
Berdasarkan argumen di atas, unsur emosional manusialah yang perlu diperhatikan. Manusia dalam kondisi tertentu memiliki hubungan yang khusus dengan beberapa hewan. Mereka, misalnya, memperlakukan anjing peliharaanya layaknya anak atau rekannya sendiri. Perlakuan semacam ini memperlihatkan bahwa manusia memiliki hubungan emosional dengan peliharaannya. Konsekuensi dari adanya hubungan emosional semacam ini di satu sisi menghalangi kita untuk bertindak kejam terhadap hewan peliharaan kita dan di sisi lain membenarkan tindakan kita untuk menyiksa binatang yang tidak mempunyai hubungan emosional dengan kita. Sebagai contoh, tindakan mengkonsumsi daging anjing peliharaan akan lebih disalahkan secara moral dibandingkan mengkonsumsi daging sapi yang dibeli dari pasar. Artinya, hubungan emosional membuat kita memperlakukan binatang secara berbeda.
Kedua, lingkungan budaya di mana suatu pandangan moral diterapkan harus diperhatikan. Kenyataan menunjukkan bahwa setiap budaya memperlakukan binatang secara berbeda. Sapi di dalam masyarakat Hindu India tidak disembelih karena dianggap sebagai hewan suci sedangkan dalam masyarakat Islam dijadikan sebagai hewan korban. Ada relativisme moral di sana yang menjadikan suatu tindakan terhadap binatang oleh suatu masyarakat tertentu dapat dibenarkan dan oleh masyarakat lain ditentang. Akan tetapi, ditekankan bahwa menjaga kelestarian binatang adalah kewajiban dasar yang sifatnya universal. Artinya, di mana pun di dunia ini tindakan mengancam kelestarian binatang adalah salah. Bagaimanapun, kita mau tidak mau harus menempatkan kelestarian binatang di atas tradisi-tradisi masyarakat kita.
Ketiga, kita harus menempatkan aspek tanggung jawab dalam setiap tindakan kita terhadap binatang. Sikap tanggung jawab sangat penting mengingat dengan itulah kita mempertahankan kelangungan spesies kita tanpa harus mengancam keberadaan spesises lain. Akhirnya, penting untuk memahami bahwa ketika kita mengambil suatu disposisi moral yang mengutamakan kepentingan manusia, dalam disposisi lain kita sebenarnya sedang mengabaikan kepentingan binatang. Dengan demikian, suatu pandangan moral yang memperhatikan kepentingan keduanya sangatlah dibutuhkan.