Pada 21 April 2023, GP diumumkan menjadi bakal calon Presiden pada pemilihan umum 2024. Entah mengapa, pengumuman itu dilakukan satu hari menjelang Idulfitri tahun 2023. Hari itu pula menjadi “penanda” dimulainya perang politik menjelang 2024. Semenjak hari itu, layar kaca dan media sosial mulai dipenuhi dengan debat elektoral. Politikus, simpatisan, surveyor, dan khusus para pengamat politik, terbentanglah panggung perdebatan idenya.
Perang dini politik lima tahunan, telah dimulai ketika parta Nasdem mengumumkan bakal calon presidennya; AB. Media menggambarkan kegemparan publik karena AB dipinang menjadi bacapres oleh partai yang dianggap tak mungkin bersamanya. Sejak dideklarasikannya AB sebagai bacapres, spekulasi politik kemudian terus mengalir. Pertanyaan-pertanyaan seperti; siapa yang akan mendampinginya sebagai bacawapres? siapa yang akan dicalonkan sebagai bacapres lawannya? Akhirnya, pada 21 April pertanyaan sebagian pengamat politik terjawab.
Masyarakat Indonesia yang berada di “titik tengah” dan tidak memiliki kepentingan serius dalam politik tentu saat ini mulai bosan. Apa yang sebenarnya terjadi dalam politik praktis negara ini? Mau dibawa ke mana masa depan negara ini? Partai-partai yang awalnya berkawan tampak menjadi lawan. Seolah-olah, ada yang sengaja memelihara pertengkaran politik. Pertengkaran politik ini, sayangnya dapat dengan mudah merambat ke dalam dunia nyata.
Gagapnya masyarakat terhadap teknologi informasi menjadi salah satu penyebab perpecahannya. Berapa banyak keluarga dan pertemanan yang “bubar” akibat politik praktis lima tahunan ini? Tahun 2014 dan 2019 menjadi saksi betapa gagapnya masyarakat Indonesia pada perkembangan teknologi informasi. Masyarakat seringkali menganggap bahwa semua berita yang dapat diterima sebagai kebenaran. Betapa masifnya informasi politik telah melingkupi kehidupan kita. Sosok seperti Jokowi dan Prabowo seolah-olah menjadi penentu hidup dan mati masyarakat. Surga dan neraka kita. Masyarakat saling menegasi, jika bukan golongan A berarti salah, dan seterusnya.
Saat ini, genderang perang politik 2024 telah dimulai walaupun peluit belum resmi ditiup wasit. Panggung media mulai dipenuhi analisis dan debat politik elektoral. Sementara itu sebagian masyarakat yang tak berkepentingan dicabut haknya untuk menerima informasi bermanfaat dan berimbang. Informasi positif dan bermanfaat mulai hilang dari peredaran media.
Saat ini kita diposisikan untuk menjadi bijak. Politik praktis tidak dapat diposisikan berlebihan karena hal ini bukan segalanya. Sebagaimana sifatnya, politik praktis bermain tentang “siapa dan dapat apa”, dan sebagai masyarakat biasa yang menjalani hidup dengan segala upayanya, melewati proses politik praktis hanyalah satu dari berbagai jalan berkehidupan negara.
Kita pernah menjalani 10 tahun politik pecah belah yang dahsyat. Muncul julukan-julukan negatif untuk saling caci maki. Dan hal ini (sepertinya) memang dirawat dan dikondisikan. Apa yang didapatkan oleh masyarakat? Masyarakat hanya dapat kondisi bersitegang. Kita hanya mendapat permusuhannya yang masih terasa hingga sekarang.
Beberapa tahun yang lalu, kita pernah melewati masa politik praktis yang sangat lekat dengan identitas agama. Terlepas dari kita setuju atau tidak atas teori Politik Identitas, identitas agama pernah diperlawankan. Muslim harus memilih calon muslim, haram hukumnya memilih calon non-muslim. Sekali lagi kita tidak sedang memperdebatkan hukum memilih calon pemimpin.
Pasca-Pilkada 2017, sebagian masyarakat mungkin tidak pernah membayangkan AB diajukan sebagai calon presiden. AB diidentikkan dengan ideologi “kanan”, sedangkan partai yang mengusungnya identik dengan ideologi “kiri”. Secara teori mereka akan sulit untuk bersatu. Tapi dalam praktiknya, mengapa bisa bergabung?
Hal seperti inilah yang seyogyanya direfleksikan dan disadari bersama. Apa sebenarnya menjadi tujuan dari politik elektoral? Apa sejatinya yang dicari dari politik praktis? Mengapa bisa sebegitu elastisnya dalam membangun taktik politik? Apa sesungguhnya yang ada di benak para politikus? Pola berpikir apa yang hendak mereka bangun ketika membangun politik dengan cara “kawin silang ideologi” seperti ini?
Praktik politik saat ini menjadi bukti bahwa politik dapat bersifat elastis. Tidak ada harga mati dan harga pasti. Masyarakat hanya diajak untuk berbicara tentang “siapa dan dapat apa”. Sekali lagi kita tidak sedang memperdebatkan teori Politik Identitas, apalagi memperdebatkan hukum dalam pemilihan pemimpin yang beda agama. Kita sedang berdiskusi kecil tentang praktik politik yang sering menipu dayakan. Kalangan akar habis bertengkar, segelintir orang tersenyum lebar.