Bulan Ramadhan adalah bulan yang disambut dengan sukacita oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, di bulan ini segala kelimpahan rahmat serta hikmah Allah hamparkan seluas-luasnya pada umatnya yang senantiasa berlomba-lomba dalam amar maruf nahi munkar. Di bulan ini pun diwajibkan atas semua kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah saum atau puasa, seperti yang termaktub di dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Seorang ulama, Ibn Qayyim al-Jauzi dalam kitabnya Zad al-Ma’ad fi Huda Khair al-Ibad menjelaskan bahwa yang dimaksud puasa tak lain adalah menahan syahwat dan menundukkan nafsu dari sesuatu yang disenanginya[1]. Salah satunya mungkin adalah nafsu konsumerisme yang memang, disadari atau tidak, telah melekat dalam jantung masyarakat kita hari ini. Hal ini tidak lahir secara demikian saja, namun menjadi perpanjangan tangan dari bagaimana kapitalisme telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan kita.
Dalam mode produksi kapitalisme, komoditas berperan penting untuk nantinya menghasilkan keuntungan dari penarikan nilai lebih atas buruh-buruh pekerja yang tereksploitasi dan teralienasi satu sama lain. Hal ini tentu tidak akan berjalan jika komoditas tadi tidak menemukan konsumennya, maka dari itu salah satu hal yang dijalankan dalam iklim kapitalisme ini adalah membuat bagaimana masyarakat bertindak sesuai keinginan pasar bahkan memonopoli banyak sekali kebutuhan kita hingga terjadilah suatu fenomena yang dinamakan konsumerisme.
Puasa Sebagai Bentuk Perlawanan Terhadap Konsumerisme
Namun sangat disayangkan ketika puasa yang tadinya dimaknai sebagai suatu usaha untuk ‘menahan diri dari segala bentuk kesenangan’ harus dihadapkan pada kenyataan bahwa ketika kita memasuki bulan Ramadhan, terjadi suatu ledakan besar-besaran konsumerisme yang didukung oleh instrumen-instrumen kapitalis. Iklan-iklan masif memberitakan produk dibalut dengan nuansa Islami, diskon besar-besaran diadakan di setiap toko-toko, lonjakan besar konsumen terjadi di mana-mana apalagi di awal dan di akhir bulan Ramadhan. Pemahaman masyarakat pun dikonstruksi, bahwa berpuasa berarti harus berbelanja lebih dan lebih lagi, hingga hal ini tentu menciptakan suatu kebutuhan palsu (false need) dan juga menghilangkan semangat dari berpuasa yang sebenarnya.
Padahal secara lebih luas, puasa memiliki hakikat yang sangat dalam ketika kita bisa memaknainya sebagai suatu bentuk pembebasan manusia dari nafsu keserakahan dengan segala ketimpangan-ketimpangannya yang selalu menjadi komponen dalam sistem kapitalisme. Maka dari itu dapat disimpulkan juga bahwa berpuasa tak lain dari salah satu cara melawan kapitalisme. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Roy bahwa Marxisme mengajukan kritik struktural terhadap kapitalisme beserta keserakahan dan ketimpangan yang diciptakannya, maka dengan puasa, Islam menyumbang kritik moral atas keserakahan dan ketimpangan tersebut[2]. Karena itu berpuasa juga adalah salah satu cara kita menahan diri terhadap nafsu konsumerisme.
Dalam Quran Surat Ar-Raf: 31, Allah menjelaskan:
“Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Jelas bahwa Allah sangat tidak menyukai segala sesuatu yang berlebihan dan selalu menganjurkan diri untuk senantiasa bersikap qana’ah atau merasa diri cukup. Maka dari itu, untuk melatihnya kita dianjurkan berpuasa selama satu bulan penuh. Ini adalah upaya kita dalam memerangi nafsu ke-aku-an dan lebih terbuka secara aktif merasakan apa yang dirasakan yang lainnya (baca: kaum musthada’afin). Toh, apa gunanya suatu ritus peribadatan jika ia tercerabut dari akar-akar sosial, dari aspek-aspek yang membumi dan membebaskan satu sama lain, ia hanya akan menjadi sekadar ibadah yang tanpa makna. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW untuk memperingati kita: “Betapa banyak orang berpuasa, namun yang didapatkannya hanya semata-mata lapar dan haus.”
Dalam sistem yang mana memonopoli kebutuhan-kebutuhan kita secara masif dan berlebihan, berpuasa untuk membeli lebih banyak dan merasa diri cukup adalah salah satu bentuk perlawanan yang nyata.
[1] Roy Murtadho, “Puasa dan Semangat Anti-Kapitalisme”. https://islambergerak.com/2015/07/puasa-dan-semangat-anti-kapitalisme/ (Diakses 14 April 2021)
[2] Roy Murtadho, “Puasa dan Semangat Anti-Kapitalisme”. https://islambergerak.com/2015/07/puasa-dan-semangat-anti-kapitalisme/ (Diakses 14 April 2021)
Noval Auliya
Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Gunung Djati dan Pembelajar di PMII Rayon Fakultas Ushuluddin Komisariat UIN Sunan Gunung Djati Cabang Kota Bandung.