fbpx

“Risiko” Setelah Pandemi Covid-19

Manusia tidak dapat bergantung dan tergantung pada kontinuitas dan stabilitas kehidupan, karena yang terjadi justru perubahan cepat.
Antony Giddens

Kurang lebih telah delapan bulan Indonesia bergelut dengan pandemi COVID-19 beserta efek dominonya. Meskipun pandemi belum dinyatakan selesai oleh WHO, namun dapat dilihat dengan cukup jelas, dampak yang diciptakan oleh krisis ini. Mulai dari jatuhnya korban jiwa, bayang-bayang resesi, PHK di sana-sini, perubahan metode pembelajaran, perubahan budaya, dan lain-lain. Segala macam upaya telah dilakukan oleh negara beserta masyarakat guna merespon krisis ini, mulai dari PSBB, relaksasi perpajakan, pemberian sejumlah insentif, pelaksanaan PJJ, pemasifan testing, penelitian terhadap vaksin, serta pembudayaan protokol kesehatan. Hasil akhir dari segala upaya tersebut nampaknya belum dapat dilihat dalam waktu dekat. Selain menunggu pernyataan resmi dari WHO, suksesnya penelitian atas vaksin yang kemudian dilanjutkan dengan vaksinasi massal, digadang-gadang dapat mengakhiri pandemi COVID-19 di Indonesia. Atau jika mengadopsi pemikiran sosiolog asal Slovenia, yaitu Slavoj ZizeK, pandemi COVID-19 akan berakhir seiring dengan penerimaan masyarakat atas “Normal Baru” (Zizek, 2020).

Namun, muncul beberapa pertanyaan menarik, jika pandemi COVID-19 berakhir, apa yang akan terjadi? Selain keniscayaan sosiologis bahwa masyarakat hampir dipastikan masuk dalam situasi “Normal Baru”, akankah krisis-krisis serupa—tidak hanya kesehatan—dapat terjadi kembali? Jika dapat terjadi, apakah dapat diprediksi oleh manusia, masyarakat, atau negara? Jika dapat diprediksi, apa yang dapat diupayakan oleh manusia, masyarakat, atau negara agar siap menghadapi krisis-krisis tersebut?

Kehidupan Penuh Risiko

Kehidupan masa kini disebut sebagai era kontemporer.1 Menurut Giddens, salah satu karakteristik yang khas dari kehidupan kontemporer adalah risiko. Dalam KBBI, risiko didefinisikan sebagai akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Giddens sendiri mendefinisikan risiko sebagai perbedaan antara kekuatiran mengenai apa yang diperbuat alam terhadap manusia dan kekuatiran mengenai apa yang dapat manusia lakukan terhadap alam (Jones, 2011). Bisa dibayangkan bahwa kehidupan kontemporer diwarnai oleh interaksi dan dialektika antara manusia dengan alam. Giddens kemudian mengkategorikan risiko menjadi dua jenis. Pertama, risiko eksternal (external risk). Risiko ini datang dari luar diri manusia atau masyarakat, misalnya dari dinamika dan ketetapan alam. Kedua, risiko buatan (manufactured risk). Risiko ini datang atau terlahir dari perkembangan pengetahuan manusia mengenai dunia dan kehidupan.

Dari kategorisasi yang dibuat oleh Giddens mengenai risiko, bisa diasumsikan bahwa kehidupan manusia akan selalu berhadapan dengan berbagai macam risiko. Dalam risiko eksternal misalnya, krisis ekologis menjadi ancaman yang nyata bagi kehidupan manusia. Perubahan iklim, pemanasan global, potensi gempa bumi dan gunung meletus, sampai wabah penyakit merupakan beberapa topik yang sudah lama menjadi perbincangan masyarakat global. Bagi Indonesia, risiko eksternal seharusnya telah disadari—atau bahkan masuk dalam kesadaran masyarakat—sebagai hal yang hampir pasti akan selalu dihadapi. Dalam risiko buatan, tantangan hidup manusia jauh lebih bervariasi lagi, karena manusia sendirilah yang menciptakan risiko ini, mulai dari perkembangan teknologi, industrialisasi, digitalisasi, kecepatan akses informasi, kompetisi perdagangan, dan lain sebagainya. Belum lagi risiko-risiko buatan yang berpotensi menjadi ancaman, seperti terorisme, cybercrime, kompetisi ekonomi global, pengembangan teknologi persenjataan, maupun keterbukaan akses informasi. Bahkan dalam titik-titik tertentu, sulit untuk dibedakan mana yang tergolong risiko eksternal dan mana yang risiko buatan. Menurut Giddens, timbulnya risiko buatan adalah salah satu tanda penting modernitas akhir. Beberapa peristiwa yang semula diduga merupakan risiko eksternal, seperti banjir, tanah longsor, dan pemanasan global, ternyata apabila diteliti dan diurai persoalannya, semuanya akan bermuara pada tindakan manusia. Tindakan-tindakan seperti penggundulan hutan, alih fungsi lahan, industrialisasi, atau konsumsi produk kendaraan secara berlebihan, menjadi pemicu lahirnya risiko eksternal sekaligus melahirkan risiko buatan. Pandemi COVID-19 pada dasarnya merupakan bagian dari risiko yang perlu kita sadari sejak awal. Bukan tidak mungkin pandemi serupa—tidak harus COVID-19—dapat terulang di masa depan. Ditambah lagi dengan sejumlah risiko—baik eksternal maupaun buatan—yang punya potensi sama untuk terjadi di masa depan. Jadi dapat dikatakan manusia kontemporer berada dalam satu ikatan yang disebut sebagai masyarakat risiko (risk society).

Kehidupan dan Refleksivitas

Meskipun tergambarkan berbagai macam risiko yang mungkin dihadapi masyarakat kontemporer. Bukan berarti tidak ada jalan keluar untuk dapat merespon dan mengatasinya. Jika diperhatikan, ketika Giddens mengatakan bahwa karakteristik mendasar dari kehidupan kontemporer adalah adanya risiko, itu berarti manusia dapat mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum risiko itu terjadi. Dalam titik tertentu bisa dikatakan risiko-risiko tersebut dapat diprediksi, ditunda, atau bahkan dicegah kelahirannya. Apalagi jika mayoritas risiko yang terjadi ternyata merupakan risiko buatan, maka manusia menjadi aktor utama dalam tindakan pencegahan.

Menurut Giddens, manusia tidak dapat bergantung dan tergantung pada kontinuitas dan stabilitas kehidupan, karena yang terjadi justru perubahan cepat. Giddens menawarkan konsepnya mengenai refleksivitas, artinya manusia harus responsif dalam mengakomodasi perubahan dan ketidakpastian dengan cara menciptakan—dan terus menciptakan—kehidupannya. Selaras dengan Giddens, Ulrich Beck (sosiolog asal Jerman) dalam konsepnya yaitu modernitas refleksif, juga beranggapan bahwa manusia harus merencanakan tindakannya dengan mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin terjadi. Pembangunan yang berwawasan lingkungan maupun pembangunan berkelanjutan dapat menjadi perwujudan dari refleksivitas. Pembumian budaya literasi guna merespon kecepatan akses informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan juga merupakan perwujudan refleksivitas. Dimasukannya beberapa isu kontemporer seperti mitigasi bencana alam, perubahan sosial, globalisasi, maupun perkembangan IPTEK di sejumlah mata pelajaran—misalnya sosiologi dan geografi—juga merupakan perwujudan dari refleksivitas. Dengan kesadaran refleksif, manusia dapat lebih prediktif, responsif, dan adaptif dalam menjalani kehidupannya di masa depan.

Referensi:

Jones, Pip, dkk. 2011. Introducing Social Theory. Inggris: Polity Press. Telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Achmad Fedyani Saifuddin dengan judul Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016.

Zizek, Slavoj. 2020. Pandemic! COVID-19 Shakes the World. New York: OR Books. Telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Khoiril Maqin dengan judul Pandemik! COVID-19 Mengguncang Dunia. Yogyakarta: Penerbit Independen, 2020.

profil dimas
Dimas Adiatama

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Catatan

  1. Dalam istilah lain disebut sebagai post-modernitas, atau dalam istilah Anthony Giddens (sosiolog asal Inggris) disebut sebagai modernitas akhir (late modernity)

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content