Terdapat kekosongan dalam rantai pengetahuan manusia. Manusia memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi dan mempertanyakan pengetahuannya lapis demi lapis, landasan demi landasan. Kita dapat bertanya, kenapa terdapat perbedaan dalam pola perilaku-mental di antara manusia? Mereka yang memiliki pengetahuan mengenai psikologi manusia dapat menjawab: ini karena terdapat variasi pada tendensi manusia dalam berperilaku. Kemudian kita bertanya lagi, dari mana kita mendapatkan pengetahuan ini? Ada banyak sumber pengetahuan, misalnya dengan mengetahui teori kepribadian, kemudian mengetahui sumber teori tersebut yang berasal dari data empiris dan analisis leksikal, atau melihat dengan mata sendiri bahwa terdapat perbedaan di antara manusia.
Kita dapat mempertanyakan pengetahuan kita terus-menerus hingga kita sampai pada pernyataan bahwa mata kita mencerap dunia di luar kita. Kemudian kita akhirnya bertanya, dari mana kita mengetahui kalau pencerapan kita benar adanya, kalau dunia ini bukanlah suatu ilusi, bahwa benar-benar terdapat sesuatu yang eksternal dari kesadaran kita? Sejauh ini belum ada yang bisa memberikan jawabannya.
Immanuel Kant mengatakan bahwa terdapat masalah mendasar dalam cara manusia mengetahui dunia eksternal. Masalah tersebut adalah kenyataan bahwa kita belum dapat membuktikan dunia eksternal secara rasional. Bila kita mempertanyakan pengetahuan kita lapis demi lapis, maka kita akan mengetahui kalau sebenarnya semua pengetahuan kita mengenai dunia eksternal (dunia di luar pikiran kita) hanya didasarkan pada asumsi bahwa dunia eksternal itu ada tanpa perlu dibuktikan terlebih dahulu. Inilah celah dalam rantai pengetahuan manusia tersebut.
Celah inilah yang kemudian menjadi basis kemunculan solipsisme, pandangan bahwa hanya eksistensi pikiran kitalah yang benar-benar dapat dibuktikan secara rasional. Hal ini tentu menjadi masalah. Bila kita tidak dapat memastikan kalau dunia eksternal itu ada, bagaimana kita dapat memastikan kalau pengetahuan kita mengenai dunia eksternal itu benar? Implikasi dari solipsisme ini adalah pandangan bahwa tidak ada suatu kebenaran hakiki mengenai dunia eksternal.
Maka, bila kita ingin menciptakan kepastian dalam pengetahuan kita mengenai dunia eksternal, kita perlu menyanggah solipsisme. Untuk menyanggahnya kita perlu untuk menutup celah dalam untaian pengetahuan manusia, dengan kata lain membuktikan eksistensi dunia eksternal secara rasional terlebih dahulu.
Proyek pembangunan fondasi pengetahuan ini sudah dilakukan sejak dulu, salah satunya oleh René Descartes yang berhasil membuktikan eksistensi “aku” secara rasional. Untuk membuktikan dunia eksternal, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana keberadaan “aku” yang dibuktikan Descartes dapat membuktikan keberadaan selain-aku? Descartes berusaha membangun untaian dari fondasi ini tetapi tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Pada tahun 1939, dalam tulisannya yang berjudul Proof of an External World, G.E. Moore menawarkan tangannya sendiri sebagai pembuktian ipso facto atas eksistensi dunia eksternal.
Baik penjelasan Descartes maupun G.E. Moore ini tidak memuaskan. Ini karena logika mereka melompat. Mereka berusaha menggunakan sesuatu yang eksternal untuk membuktikan hal yang eksternal juga, hal yang harusnya dinegasikan terlebih dahulu bila kita ingin membuktikannya. Descartes melakukan lompatan dari tanggapan pancaindra ke jaminan Tuhan sebagai bukti, sementara G.E. Moore melakukannya dengan mengasumsikan bahwa dunia eksternal yang menopang keberadaan tangannya itu ada hanya untuk mengatakan bahwa tangannya tersebut membuktikan dunia eksternal. Untuk membuktikan dunia eksternal, justru yang perlu dilakukan adalah mengonstruksi argumen dari premis-premis non-eksternal (premis-premis yang tidak memiliki hubungan dengan dunia eksternal) yang kita punya untuk membuktikan kalau sesuatu yang eksternal itu ada.
Di sini kita akan menggunakan kembali formulasi yang dikemukakan Descartes berabad-abad lalu. Untuk membangun pengetahuan mendasar, pertama-tama kita perlu membuktikan eksistensi kita benar adanya, kita yang meragukan eksistensi diri kita akhirnya menyadari bahwa kita yang meragu benar-benar nyata adanya. Bukti yang tidak mungkin disanggah, dan dengan begitu muncullah kalimat paling terkenal dalam sejarah filsafat: “Aku berpikir maka aku ada”. Bukti kalau eksistensi aku ini ada-lah yang menjadi premis non-eksternal yang bisa kita gunakan.
Kita dapat membongkar argumen Descartes menjadi dua premis:
- Aku meragukan keberadaan aku.
- Aku tahu kalau aku yang meragu ini ada, dengan begitu keberadaan aku ini dapat dibuktikan secara logis.
Namun, kita dapat menemukan premis implisit dari kedua premis yang dikemukakan tersebut. Kita dapat melihat kalau terdapat transisi dari “Aku yang meragu” ke “Aku yang menyadari keberadaanku”. Transisi dari kondisi satu ke kondisi lain mengimplikasikan bukti atas keberadaan dimensi waktu. Dengan begitu kita memiliki poin baru:
- Transisi antara kondisi aku dimungkinkan oleh waktu, dengan begitu keberadaan waktu dapat dibuktikan secara logis.
Keberadaan waktu telah terbukti secara rasional. Ini berarti kita memiliki keberadaan waktu sebagai premis non-eksternal lain yang kita miliki untuk dapat membuktikan dunia eksternal, dengan begitu juga kita dapat secara sah melakukan eksperimen pikiran menggunakan konsep waktu:
Bila kita berdiam diri, kita merasakan kalau eksistensi aku ini tidak memiliki kehendak untuk berpikir seenaknya. Eksistensi aku tidak memiliki kehendak penuh untuk menentukan kondisi eksistensi aku ini. Kita dapat mengetahui ini dengan mencoba untuk berhitung dari satu hingga satu milyar tanpa henti. Kita tahu hal ini tidak mungkin dilakukan.
Berdasarkan eksperimen pikiran tersebut kita memiliki poin baru:
- Eksistensi aku tidak memiliki kehendak penuh untuk menentukan kondisi eksistensinya. Dengan begitu terdapat kondisi aku-yang-terpengaruh.
Namun tidak mungkin kehendak aku ini dibatasi oleh aku sendiri. Dengan begitu terdapat selain-aku yang memengaruhi aku.
- Aku tidak mungkin membatasi kehendak aku sendiri. Terdapat selain-aku yang memengaruhi aku.
- Selain-aku berjalan tanpa kehendak aku. Aku tidak memiliki kemampuan untuk menentukan jalan pikiran dan kondisi eksistensi aku terus-menerus.
- Terdapat separasi antara aku dan selain-aku, sehingga selain-aku tidak mungkin adalah aku.
Dari separasi antara aku dan selain-aku tersebut kita hanya akan mendapatkan satu kesimpulan:
- Selain-aku adalah dunia eksternal.
Sekarang kita telah berhasil menyanggah solipsisme. Namun, sebagian pihak yang kurang puas dengan argumen ini mungkin akan bertanya: “Bagaimana kita bisa memastikan kalau selain-aku ini adalah dunia eksternal yang nyata dan bukan ilusi?” Berbeda dengan solipsisme, argumen mengenai dunia-eksternal-adalah-ilusi ini, yang kita kenal sebagai argumen skeptisisme Cartesian, adalah pertanyaan mengenai bagaimana caranya kita membuktikan kalau dunia eksternal yang kita persepsikan bukanlah ilusi.
Descartes mengemukakan bahwa bisa saja terdapat iblis yang memberikan ilusi kepada kita sehingga kita tidak dapat mengandalkan pengetahuan kita mengenai dunia eksternal. Argumen ini diproposisikan oleh Descartes sebelum ia berusaha membuktikan eksistensi “aku” dan dunia eksternal. Descartes berhasil membuktikan eksistensi “aku”, tetapi upayanya untuk membuktikan eksistensi dunia eksternal kurang memuaskan. Ini kenapa hingga sekarang muncul varian argumen tersebut seperti otak-dalam-tangki hingga pandangan bahwa alam ini hanyalah simulasi.
Namun, berbeda dengan solipsisme juga, argumen dunia-eksternal-adalah-ilusi dan berbagai variannya ini mengandaikan keberadaan selain-aku; dengan begitu pada hakikatnya argumen tersebut adalah proposisi atas keberadaan eksistensi suatu hal (selain-aku yang menciptakan ilusi) dalam dunia eksternal. Maka bobot pembuktian harusnya ada pada mereka yang mengajukan proposisi tersebut.
Kita akan mencoba mengonstruksi kembali dan membantah argumen skeptisisme Cartesian ini:
- Skeptisisme Cartesian adalah proposisi bahwa terdapat eksistensi selain-aku yang memberikan ilusi kepada aku.
- Kita tidak memiliki bukti logis dan empiris bahwa terdapat eksistensi selain-aku yang memberikan ilusi kepada aku.
- Skeptisisme Cartesian salah.
Kedua,
- Jika kita memiliki bukti logis dan empiris bahwa dunia eksternal itu ada dan memengaruhi aku, maka proposisi mengenai dunia eksternal itu benar.
- Kita memiliki bukti logis dan empiris bahwa dunia eksternal itu ada dan memengaruhi aku.
- Proposisi mengenai dunia eksternal itu benar.
- Jika kita mengetahui bahwa proposisi mengenai dunia eksternal itu benar, maka kita tahu bahwa skeptisisme Cartesian itu salah.
- Skeptisisme Cartesian itu salah.
Sekarang kita tahu kalau dunia eksternal itu benar-benar ada. Filsuf paling skeptis sekalipun tahu dalam lubuk hatinya kalau dunia di luar dirinya itu ada dan adalah dunia yang nyata. Namun tampaknya bukan pembuktian dunia eksternal yang sebenarnya kita cari, yang ingin kita ketahui sebenarnya adalah bagaimana caranya kita membangun fondasi dan rantai pengetahuan yang benar-benar memuaskan. Dengan argumen yang telah dikemukakan ini harusnya kita bisa tidur nyenyak untuk sementara waktu karena pengetahuan mengenai dunia eksternal telah dimungkinkan.