Selayang Pandang Sejarah dan Tradisi Psikoanalisis

Freud memahami bahwa ternyata seseorang dapat sakit bukan karena ia tidak sehat atau bersih, bukan karena ia tidak mengonsumsi makanan bergizi, tapi seseorang dapat sakit karena ia memiliki perasaan bersalah.

Psikoanalisis dan Sigmund Freud

Psikoanalisis sering kali disalahpahami, baik oleh kalangan praktisi maupun akademisi psikologi yang seringkali mendaku memahami psikoanalisis dengan sangat akurat. Kegagalan dalam memahaminya terkadang cenderung fatal, karena harus mengesampingkan sesuatu yang sangat krusial dalam konsep-konsep inti psikoanalisis seperti analisis diri atau asosiasi bebas. Ada beberapa alasan atas fenomena tersebut, di antaranya adalah ketidakpahaman akan sejarah dan tradisi psikoanalisis dengan cukup baik.

Freud sendiri menyatakan bahwa cara terbaik untuk mempelajari psikoanalisis adalah dengan mengetahui konteks historisnya. Dengan demikian, untuk memperoleh pemahaman yang memadai atasnya tidaklah cukup hanya dengan melahap teori-teori psikoanalisis per se, melainkan juga memahaminya secara menyeluruh—dari mana teori dan praktik tersebut dibangun, dirumuskan. Karena itu, sebelum memasuki psikoanalisis lebih jauh lagi, artikel ini hendak menelusuri sejarah dan tradisi psikoanalisis, dengan tujuan agar kita tak terjebak dalam kekeliruan yang berlarut-larut atau reduksi secara brutal.

Setelah menelusuri jejak-jejak historis ini barulah kita akan melaju secara perlahan untuk meneroka teori psikoanalisis Freud, khususnya tentang konsep Metapsikologi, dan psikoanalisis Lacan. Tulisan ini akan dibangun dalam tiga bagian. Pertama, seperti yang telah disinggung di paragraf awal, membahas persoalan sejarah dan tradisi psikoanalisis. Kedua, mengkaji perihal konsep Metapsikologi. Dan terakhir, memahami secara mendasar dan mendalam tentang psikoanalisis Lacan.

Dalam bagian tentang tradisi, kita akan membahas sejarah singkat psikoanalisis dan budaya analisis diri. Pembahasan tradisi ini merupakan tulang punggung dari psikoanalisis, sekaligus pembeda antara psikoanalisis dan non-psikoanalisis. Tapi sebelum membahas hal tersebut, saya akan coba memberi ulasan singkat tentang definisi psikoanalisis.

Ada beragam pembacaan tentang definisi psikoanalisis karena psikoanalisis terus berkembang hingga hari ini. Sementara dalam artikel ini, saya akan mengacu pada definisi yang pertama-tama diberikan oleh Freud sendiri, dan setelahnya yang selalu menjadi rujukan utama. Berikut merupakan penjelasan yang diberikan Freud pada Two Encyclopedia Articles (1923), yang selama ini dianggap paling sahih:

Psikoanalisis adalah nama (1) dari prosedur untuk penyelidikan proses mental yang hampir tidak dapat diakses dengan cara lain; (2) metode (berdasarkan penyelidikan itu) untuk pengobatan gangguan neurotik; dan (3) dari kumpulan informasi psikologis yang diperoleh sepanjang garis-garis itu, yang secara bertahap terakumulasi menjadi disiplin ilmiah baru.

Namun, mengingat Freud juga mengkaji fenomena sosial-budaya, ketiga aspek tersebut bagi kalangan psikoanalisis kontemporer dianggap masih kurang representatif. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya Freud yang bejibun, di antaranya yang melingkupi aspek sosial dan budaya seperti Totem and Taboo (1913), The Moses of Micheangelo (1914), Leonardo Da Vinci and Memory of His Childhood (1910), Dreams in Folklore (1911), Dreams and Telepathy (1922), Obsessive Actions and Religious Practices (1907), dll.Maka dalam hal ini, IPA (International Psychoanalytic Association) menambahkan satu lagi aspek definitif:

(4) Sebagai jalan untuk memahami fenomena budaya dan sosial seperti sastra, seni, film, pertunjukan, politik, dan masa.

Dari penjelasan di atas, kita pun dapat menarik suatu kesimpulan, mungkin dalam arti singkat, bahwa psikoanalisis merupakan serangkaian metode penelitian dan pengobatan jiwa. Melalui metode ini, didapati gagasan-gagasan yang membantu pemahaman kita dalam melihat kejiwaan manusia dan yang melingkupinya (fenomena sosial dan budaya). Meskipun masih terdapat satu aspek yang ditawarkan oleh kalangan Psikoanalisis Radikal (Radical Psychoanalysts), ialah aspek etis dan kepuasaan hidup, tapi aspek itu belum menjadi keperluan dalam pembahasan kali ini.

Periode Histeria, Hipnosis, dan Kelahiran Psikoanalisis

Sigismund Schlomo Freud atau akrab dipanggil Sigmund Freud dilahirkan pada bulan Mei, sama seperti halnya Marx, yang merupakan seorang ilmuwan kejiwaan sekaligus penggagas awal psikoanalisis. Semasa kecil Freud selalu disuguhi buku-buku biografi dari tokoh-tokoh besar seperti Alexander The Great, Hanibal, dll. Freud termasuk bocah yang cerdas di sekolahnya, meski ia sedari kecil telah mengalami anti-Semit. Bahkan saat remaja ia pun pernah menulis sebuah novel yang terinsipirasi dari Shakespeare, meski tak pernah diterbitkannya. Ia pun mendapat penghargaan Goethe Arwards karena kualitas tulisannya yang menarik.

Pada mulanya Freud ingin menjadi seorang ahli hukum saat ia akan memasuki Universitas Wina. Tapi kala itu orang-orang Yahudi yang menjadi ahli hukum tidak mendapatkan posisi yang semestinya, hingga Freud memutuskan untuk mengambil jurusan kedokteran. Di sana Freud berada di bawah asuhan seorang fisiolog terkemuka, Ernst Brücke.

Di bawah Brücke, Freud meneliti struktur organ seks belut dan sistem saraf udang karang. Ia pun belajar hukum kekekalan energi dan dinamikanya, yang kelak menjadi pijakan Freud dalam membentuk teori kehidupan psikis berbasis konversi energi, yang terangkum dalam hipotesis ekonomi. Singkatnya, gagasan ini menyatakan bahwa semua makhluk hidup bersifat dinamis dan tunduk pada sistem distribusi energi psikis, atau bahwa energi tidak dapat diciptakan, tidak dapat dimusnahkan, tapi dapat berubah bentuk.

Freud sangat kecanduan dengan ide-ide Darwin, di mana saat itu teorinya tengah menguasai dataran Eropa. Hal yang sangat krusial dan utama dari teori Darwin dalam On The Origin of Species (1895) adalah tentang seleksi alam, selain perihal evolusi yang selama ini dipahami. Ide tentang seleksi alam ini adalah bagaimana makhluk hidup dapat beradaptasi, yang nantinya benar-benar menjadi objek kajian psikoanalisis.

Karena itu, psikoanalisis tidak berusaha menghilangkan gejala gangguan jiwa yang ada, melainkan berupaya untuk menjadikan manusia beradaptasi dengan lingkungan, medan, dan dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Bisa dibilang, psikoanalisis memetik inspirasi dari Darwinisme. Bahkan, konon Freud sendiri digadang-gadang sebagai “Darwin”-nya ilmu kejiwaan.

Memasuki periode eksplorasi Neurosis (1886-1895), saat Freud bekerja di rumah sakit, adalah masa yang mulai mengantarkannya pada psikoanalisis. Freud mendapati fakta bahwa pada saat itu banyak perempuan yang mengidap sebuah penyakit aneh, seperti kelumpuhan, atau buta, atau kesulitan berbicara. Gangguan kejiwaan ini dipandang unik pada masa itu, dan dunia kedokteran saat itu memiliki banyak terapi untuk penyakit kejiwaan ini yang kelak disebut dengan istilah histeria.

Histeria berasal dari kata histera, yang artinya rahim. Memang asumsi kedokteran saat itu bahwa gangguan histeria disebabkan karena adanya cairan menggumpal di dalam rahim. Maka tak ayal, yang didiagnosis sebagai pengidap histeria hanyalah kalangan perempuan. Jika ada seorang lelaki yang mengalami gangguan histeria, ia akan dianggap sebagai pembual atau hanya berpura-pura.

Dalam hal ini, adaberagamterapi untuk histeria, misalnya hidroterapi, terapi pijat, terapi berkuda, dan terapi yang saat itu legendaris, yaitu hipnosis. Tentu hipnosis pada masa itu belum seperti sekarang yang telah banyak mengalami perubahan. Teknik yang digunakan hipnosis pada kala itu adalah “teknik tatapan”, dalam arti saling mengadu tatapan mata dengan waktu yang relatif panjang sampai kliennya tertidur, dan kemudian diberikan sugesti.

Freud pun telah mencoba semua terapi tersebut. Ia benar-benar menyisihkan hasil uang kerjanya—selain untuk kebutuhan rumah tangga—untuk membeli alat-alat terapi seperti terapi listrik dan hidroterapi (terapi air). Akan tetapi, Freud sangat tertarik untuk mempelajari hipnosis. Sebelumnya ia telah mengikuti kuliah hipnosis, dan ia dibuat terkejut ketika mengetahuai bahwa ternyata hipnosis dapat digunakan untuk terapi histeria. Akhirnya, ia mendapat kabar bahwa ada seorang profesor terkenal di Prancis yang menggunakan hipnosis untuk mengobati histeria, yaitu Jean M. Charcot.

Meskipun kalangan hipnosis kedokteran memandang Charcot dengan sangat sinis, karena dianggap tak memahami hipnosis dengan cukup baik. Perkataan Charcot-lah yang telah menggegerkan dunia kedokteran yang percaya pada hipnosis. Ia menyatakan bahwa hipnosis tidak dapat menyembuhkan histeria, justru orang-orang yang dihipnotis adalah orang-orang yang histeria. Jadi orang-orang yang dapat dihipnotis adalah orang-orang gangguan jiwa. Baginya, orang yang “normal” tidak dapat dihipnosis.

Namun harus diakui bahwa Charcot pada masanya memang sangat terkenal. Bahkan ia diberi gelar sebagai Napoleon of Neurosis. Ia mematenkan 125 gangguan jiwa, penyakit saraf, bahkan ada salah satu saraf yang diberi namanya, yaitu saraf Charcot yang berada di punggung kita. Itulah salah satu alasan mengapa Freud sangat ingin menjadi muridnya. Freud pun melancong ke Prancis selama beberapa bulan dan belajar pada Charcot secara langsung. Dari Charcot, Freud memahami bahwa hipnosis dapat membuat orang menunjukan gangguan kejiwaan atau histerianya, yang seolah-olah menghilangkannya.

Charcot sama sekali tidak mendukung hipnosis sebagai sebuah terapi, melainkan hipnosis sebagai sebuah eksplorasi jiwa. Bagi beberapa kalangan analis, ketimbang menjadi sebuah terapi, hipnosis lebih tepat dilihat sebagai sebuah eksplorasi jiwa. Bahkan Lacan sendiri di beberapa penelitiannya menggunakan hipnosis untuk memunculkan paranoia.

Selanjutnya, Freud belajar pada Bernheim dan Libebault, yang juga merupakan praktisi hipnosis, tapi memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Seperti yang telah dijelaskan, saat itu yang diutamakan dari hipnosis adalah teknik tatapan mata hingga sang klien merasa letih dan akhirnya diberi sugesti. Bernheim menerapkan metode yang berbeda, baginya yang utama dalam hipnosis bukanlah tatapan mata melainkan sugestinya.Menurutnya, semakin seorang dokter itu pandai menggunakan sugesti, semakin baik hipnosis dapat dicapai efeknya.

Freud pun bertemu dengan kolega seniornya yang sempat sama-sama belajar pada Ernst Brücke, yaitu Josef Breuer. Freud sangat terkejut ketika Breuer mengatakan bahwa ia berhasil menyembuhkan pasiennya, “Anna O”, dengan hipnosis, hingga akhirnya mereka berdua melahirkan sebuah buku yang sangat laris, The Studies of Hysteria. Dari sinilah psikoanalisis lahir, karena untuk pertama kalinya istilah psikoanalisis muncul dalam karya tersebut.

Freud mulai menggunakan metode hipnosisnya Breuer, yang disebut Breuer sebagai metode katarsis. Jadi dalam katarsis, pasien dihipnotisir dan dibawa kembali ke suatu memori traumatis, kemudian pasien dibiarkan melepaskan afeksi-afeksi yang tertekan pada saat terjadinya trauma. Kejadian itu dimasukkan ke dalam hipotesis, dan tampaknya secara klinis cukup rasional bahwa abreaksi ini mungkin akan melepaskan perasaan tertekan yang berhubungan dengan trauma.

Saya akan coba berikan iliustrasinya; ketika si “Anna O.” mengalami kelumpuhan pada tangan kanannya, tak dapat meminum air mineral, sehingga saat itu hanya mendapatkan asupan air dari buah semangka, dan uniknya ia tidak dapat berbicara bahasa ibunya, bahasa Jerman, ia hanya bisa berbicara bahasa Inggris. Breuer menggunakan hipnosis pada Anna O, mencari apa penyebabnya, dan ketika si Anna O mengingat dengan sangat jelas fenomena yang menjadi penyebab gangguan histerianya, hingga muncul ledakan emosi atau yang disebut dengan abreaksi (yang merupakan dampak dari katarsis). Seketika  gejala gangguan jiwanya hilang, misalnya, diceritakan saat Anna O ini menangis, waktu itu ia memiliki harapan di saat ayahnya menderita sakit, dan ia menjaga ayahnya dengan sangat baik.

Kemudian, Ana O melihat bahwa di gedung sebelahnya berkumpul anak muda yang sedang berpesta. Muncullah sebuah pikiran yang dianggap bertentangan dengan moralitasnya: “Harusnya anak muda itu bisa pesta-pesta bukan menjaga orang yang sakit”. Dan ia melihat ayahnya yang memprihatinkan, hingga akhirnya ia ingin menangis, tapi ia berusaha agar air matanya tak jatuh membasahi pipinya. Ia betul-betul menekan keinginan diri untuk menangis. Itulah yang akhirnya memicu gangguan jiwa.

Dalam hal ini, Freud pun memahami bahwa ternyata seseorang dapat sakit bukan karena ia tidak sehat atau bersih, bukan karena ia tidak mengonsumsi makanan bergizi, tapi seseorang dapat sakit karena ia memiliki perasaan bersalah. Hanya karena ia memiliki pikiran yang cenderung bertentangan dengan moralitas, kemudian ia “menyadari” bahwa itu “jahat”, dan akhirnya merasa bersalah. Mungkin di zaman kita ini, hal tersebut terkesan sebagai sesuatu yang tidaklah menakjubkan, namun pada masa itu, pemahaman ini menjadi hal yang sangat luar biasa. Dari sanalah, manusia mulai dipandang bukan hanya sebatas fisiknya saja, melainkan pula dengan jiwanya.

Penemuan Asosiasi Bebas dan Analisis Diri Freud

Selang beberapa waktu, Freud memodifikasi metode katarsis ini. Ia memulai dari metode katarsis dengan hipnosis yang awalnya digunakan Breuer, kemudian menghilangkan hipnosis dan menggunakan metode katarsis dalam kondisi terjaga. Dan akhirnya, metode katarsis tanpa hipnosis dimodifikasi lagi menjadi asosiasi bebas, yang juga merupakan aturan dasar dalam psikoanalisis. Asosiasi bebas ini yang menjadi tradisi dalam psikoanalisis yang membuat psikoanalisis sendiri harus terbelah. Meski psikoanalisis memang menolak beragam doktrin pada umumnya, tapi ia menciptakan doktrinnya sendiri: asosiasi bebas. Inilah alasan yang membuat psikoanalisis akhirnya harus memangkas dirinya sendiri untuk bisa memasuki universitas.

Ada beberapa peristiwa yang membuat Freud terguncang: meninggalnya sang ayah, perpisahannya dengan Breuer, dan diasingkan dari dunia intelektual karena pemikirannya yang dianggap “nyeleneh”. Di saat itu pula, Freud mulai melakukan suatu tindakan yang paling dramatis dan fenomenal: melakukan psikoanalisis pada dirinya sendiri (analisis diri). Konsekuensi dari analisis diri yang Freud lakukan ini adalah studi mengenai mimpi dan seksualitas bayi. Mengenai mimpi, Freud terinsipirasi dari nabi Yusuf yang menafsirikan mimpi secara simbolik. Idenya mengenai mimpi ini terangkum dalam On Dreams dan The Interpretation of Dream.

Pada periode analisis diri terjadi sekitar tahun 1895-1899. Tokoh yang memiliki peran penting dalam analisis diri Freud adalah Wilhelm Fliess, seorang dokter spesialis THT yang lebih muda dari Freud dan Minna Bernays, adik iparnya sendiri. Freud dan Fliess seringkali berkorespondensi untuk saling bertukar pikiran. Seperti yang dijelaskan, dalam melakukan analisis diri, Freud sepenuhnya menjalankan aturan dasar dalam metode asosiasi bebas: “jujur” terhadap diri sendiri.

Freud pun melakukan apa yang disebut dengan abstinence, suatu sikap mental dalam asosiasi bebas dengan pantang mengkritisi apapun yang muncul dalam pikiran. Aspek penting yang perlu kita cermati dari hubungan Freud dan Fliess adalah bahwa pada periode inilah metode analisis diri, dapat dikatakan, dikontruksikan Freud pertama kali. Metode ini nantinya akan semakin diperbaiki.

Pada hubungan Freud dan Fliess ini pula metode analisis diri awalnya tampak memiliki kekurangan yang signifikan, yakni desepsi diri. Desepsi diri merupakan suatu usaha yang tanpa disadari menghalangi untuk mengungkapkan kebenaran yang ada pada diri sendiri. Desepsi diri dapat berwujud kebohongan dan manipulasi lainnya. Resistensi adalah ciri khas dari desepsi diri. Terlebih bagi mereka yang memiliki dorongan narsistik yang kuat tentu akan kesulitan melakukannya.

Oleh sebab itu, Jones mengatakan bahwa analisis diri adalah suatu kegiatan yang berat. Upaya ini telah dilakukan oleh banyak tokoh besar, mulai dari Montaigne, Juvenal hingga Schopenhauer, tetapi semuanya tidak sepenuhnya berhasil. Problemnya adalah ada pada resistensi diri yang sangat besar. Tapi di sini, Freud berhasil melakukannya. Maka dalam analisis diri, diperlukan sikap militan dalam “jujur” terhadap diri sendiri untuk dapat melakukan analisis diri dan mengurangi desepsi diri, dengan harapan dapat terungkap apa yang terjadi dalam ketidaksadaran seseorang.

Freud melakukan analisis diri secara mendalam, dengan momen-momen regresi yang begitu jauh, bahkan hingga masa-masa infantil. Berbeda dengan para penirunya, yang cenderung melakukan analisis diri sebagai suatu romansa heroisme dalam dirinya sendiri, sebagaimana yang diungkapkan oleh Didier Anzieu:

“Banyak peniru Freud mencoba memecahkan masalah mereka sendiri melalui analisis diri sendiri, dan gagal. Tak ada yang mengejutkan dalam hal itu, karena mereka mengambil pandangan narsistik tentang analisis diri sebagai sesuatu yang akan mempromosikan pengenalan diri, sebagai semacam mundur dari dunia luar dan dari kehidupan, sebagai perlawanan terhadap perubahan internal, sebagai bentuk introspeksi-indulgensi diri.”

Daftar Pustaka

Freud, Sigmund. 2005. The Essentials of Psycho-Analysis. Vintage.

Jones, Ernest. 1967. The Life and Work of Sigmund Freud. Hogart Press.

Siraj, Fakhrun. 2019. Fundamental Psychoanalysis: On Tradition and Freudian Metapsychology. Materi pelatihan psikoanalisis Asosiasi Psikoanalisis Indonesia, materi tidak diterbitkan.

Lahir di Bandung, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Bagian kelompok belajar Lingkar Studi Filsafat (LSF) Nahdliyyin dan Lingkar Studi Psikoanalisa.

Comments

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Baca Juga