Bayangkan kita sedang tersesat di tengah hutan. Hutan tersebut gelap sehingga kiri dan kanan tak tampak. Atas adalah langit malam yang kelam dan di bawah kita, tanah tempat kita berpijak yang mungkin bisa berguna apabila digali. Dengan berbekal obor, kita berjalan ke sana kemari mencari jalan keluar dari hutan itu. Selangkah-dua langkah maju, kita mengarahkan obor ke depan, dan kita menemukan kotak berisi makanan tergeletak begitu saja.
Selangkah-dua langkah lagi, kita menemukan seekor macan ganas. Kita berjalan-jalan sambil mengarahkan obor di tengah kegelapan yang pekat, apa yang akan ditemukan saat kita melangkah, menjadi sebuah misteri yang tidak akan kita tahu kecuali kita mencoba memecahkannya. Begitu juga dengan kehidupan manusia. Manusia diciptakan tanpa mengetahui apa yang akan terjadi pada manusia itu sendiri satu atau dua atau tiga atau puluhan tahun kedepannya. Apa yang kita sebagai manusia pikirkan adalah mengenai apa yang kita lakukan saat ini, tanpa bisa menerka apa yang akan terjadi esok hari.
Tidak semua manusia hidup dengan mengetahui arti dari apa yang harus dilakukan dalam kehidupan. Ada beberapa yang belum tahu kontribusinya dalam kehidupan sehingga ia mempertanyakan apa yang ia lakukan saat ini dan untuk apa? Mereka terjebak dalam labirin kerumitan dunia yang menimbulkan tanya dalam pikiran “sebenarnya untuk apa mereka repot bertekun dalam ketidakjelasan.” Jebakan eksistensialisme tersebut memungkinkan manusia menebak masa depannya (yang pasti belum tentu akurat) yakni tersadar bahwa kehidupannya tidak bermakna dan mungkin kematian akan memberi makna.
Fenomena kehidupan yang serba tidak jelas, berdasarkan filsuf eksistensialisme asal Prancis, Albert Camus, merupakan absurdisme. Menurut Camus, absurditas lahir dari adanya konflik antara ekspektasi manusia terhadap semesta yang rasional dengan kenyataan kehidupan yang masa bodoh dengan ekspektasi kita.
Camus menawarkan sebuah pandangan yang keras terhadap absurditas. Dibandingkan dengan Franz Kafka yang menggambarkan absurditas sebagai lingkaran birokrasi yang bisa diselesaikan karena masih adanya harapan pada manusia untuk menentukan jalan hidupnya. Camus berpendapat bahwa life is pointless. Pencarian akan makna di kehidupan yang tidak bermakna sesungguhnya akan membuat manusia semakin tertekan. Tekanan yang kuat menimbulkan sebuah pemikiran untuk kabur dari ketidakbermaknaan ini. Dimulai dengan pertanyaan “Untuk apa hidup apabila kehidupan itu sendiri tidak ada maknanya” dan kemudian berakhir tragis dengan bunuh diri. Camus menulis esainya yang berjudul Mitos Sisyphus di mana terdapat satu masalah serius dalam filsafat, yakni bunuh diri. Manusia pada dasarnya perlu untuk memahami absurditas kehidupan, bukan kabur dari realita tersebut dengan cara bunuh diri.
Mitos Sisyphus menceritakan kehidupan seorang raja bernama Sisyphus yang dikutuk oleh Zeus untuk mendorong batu raksasa naik ke puncak gunung. Akan tetapi, sebelum mencapai puncak, batu tersebut jatuh dan Sisyphus harus mengulang lagi dari awal. Begitulah seterusnya. Tidak ada gunanya Sisyphus memikirkan masa depannya, entah itu beberapa jam lagi, esok hari, atau satu tahun lagi karena sudah bisa diketahui masa depan Sisyphus adalah mendorong batu tersebut selama-lamanya. Melihat Sisyphus melakukan hal tersebut berulang-ulang, apakah ia bahagia? Mungkin kita akan berpikir bahwa jelas dia tidak bahagia, daripada melakukan hal tersebut terus-menerus lebih baik mati saja. Tapi ingat kalau Sisyphus dikutuk menjadi abadi dan dia tidak bisa melakukan hal lain selain mendorong batu. Oleh karena itu, Camus menulis “one must imagine Sisyphus happy.”
Jalan keluar dari kutukan semacam itu, menurut Camus, adalah menerima kondisi dan berbahagia. Kita perlu membayangkan Sisyphus bahagia dalam menjalankan kutukan itu karena itulah satu-satunya cara agar Sisyphus bisa betah dengan keadaannya. Analogi Sisyphus yang dipakai oleh Camus, dalam beberapa hal bisa kita ilhami dalam kehidupan. Kini coba kita bayangkan kita adalah Sisyphus. Kita terjebak dalam “lingkaran setan” aktivitas dan rutinitas yang kita tahu ujungnya bakal menjadi sesuatu yang useless dan absurd. Bagaimana kita bisa bertahan hidup di dunia dengan beribu absurditas yang ada? Camus percaya bahwa kita sendiri perlu melakukan perlawanan terhadap absurditas tersebut. Dengan menjadi absurd hero (pahlawan absurditas), kita bisa hidup sepenuhnya dalam menghadapi ketidakjelasan kehidupan. Kita tidak akan mengakhiri hidup kita sendiri baik filosofis maupun secara fisik meskipun terdapat pilihan untuk melakukan hal demikian.
Bunuh diri secara fisik lebih mudah dijelaskan daripada bunuh diri filosofis. Secara fisik, bunuh diri dapat diartikan ketika seseorang mengakhiri hidupnya sendiri dikarenakan ketidakmampuan untuk menghadapi lika-liku hidup. Sedangkan bunuh diri filosofis memiliki arti lebih dalam. Bunuh diri filosofis dapat diartikan ketika seseorang meyakini adanya nilai atau makna dalam kehidupan ini yang tidak bisa diakses dengan pemikiran rasional. Salah satu contoh adalah Kierkegaard yang berpendapat bahwa nilai-nilai religius adalah nilai dari kehidupan.
Menurut Camus kedua opsi tersebut (bunuh diri) merupakan masalah serius dalam filsafat meskipun bunuh diri filosofis apabila ditimbang, akan lebih baik daripada bunuh diri secara fisik. Lantas, bagaimana kita menghidupi kehidupan yang absurd tersebut tanpa adanya sebuah makna. Dengan kita memberi makna pada diri sendiri sebenarnya sama dengan bunuh diri filosofis, hal demikian yang (menurut Camus) dilakukan manusia. Manusia menciptakan ilusi yang indah untuk menutupi kehidupan yang sebenarnya absurd.
Eksistensi dalam kehidupan merupakan hal mendasar yang seringkali dipertanyakan. Baik orang yang berbahagia maupun orang yang sedang dalam keterpurukan bertanya “Sebenarnya aku dilahirkan di dunia ini untuk apa?” Cara mudah menjawab pertanyaan tersebut mungkin kita percaya bahwa kita dilahirkan karena ada grand plan dari Tuhan bagi dunia ini melalui eksistensi kita. Akan tetapi, coba kita pikir bahwa kita lahir di dunia ini dan berjalan dalam dunia yang irrasional, tidak bisa ditebak, dan rumit tanpa adanya harapan untuk menjalani hidup kedepannya. Dalam titik terendah manusia, kecil kemungkinan ia akan menaruh sebuah makna hidup. Ia akan berpasrah dalam absurditas kehidupan dan hanya mengikuti arus ke mana kehidupan akan membawanya. Kematian bisa menjadi jalan keluar akan tetapi itu adalah cara yang pengecut.
Mengutip kembali kata-kata Camus, “Seseorang harus membayangkan Sisyphus bahagia.” Seperti halnya dengan kita, dalam dunia yang absurd kita perlu menyadari absurditas dunia dan berbahagia oleh karena itu. Kematian menawarkan solusi di tengah ketidakbermaknaan hidup dan manusia tak boleh menyerah pada kematian. Satu hal yang ingin ditekankan adalah meskipun ekspektasi kita tidak mungkin seirama dengan dunia, kita perlu untuk tetap hidup. Dengan menyadari bahwa dunia ini inkonsisten dan irrasional dan menghargai ketidakbermaknaan, kita bisa membayangkan Sisyphus yang bahagia. Kita bisa membayangkan diri kita yang berbahagia. Esok hari adalah misteri, di sana tersimpan baik dan buruknya hidup. Seperti analogi di awal, kitalah yang perlu melangkah untuk memecahkan misteri tersebut. Yang perlu kita lakukan adalah yang terbaik yang bisa kita berikan pada hari ini, pada masa ini. Tetaplah hidup dalam dunia yang tak bermakna dan berbahagialah dalam ketidakbermaknaan.
Michael Hans
Michael Hans adalah seorang mahasiswa program studi Ekonomi Pembangunan di Universitas Brawijaya Malang