Sosiologi dan sosiologi Islam merupakan dua perihal yang kompleks. Leduanya menyisakan banyak sekali persoalan hingga sekarang. Dalam tulisan ini, setidaknya terdapat tiga persoalan yang akan dibahas.
Persoalan pertama adalah bahwa terdapat sebagian umat Muslim yang meyakini bahwa Islam adalah agama “langit” atau agama yang memiliki nilai kebenaran mutlak, tidak bisa diubah dalam aspek apapun. Islam tidak butuh instrumen apapun, termasuk sosiologi untuk memahami kandungan agama maupun kehidupan masyarakatnya.
Kedua, al-Qur’an sebagai firman Tuhan juga diyakini memiliki nilai kebenaran yang mutlak untuk segala jenis masyarakat dan segala lini kehidupan. Argumentasinya adalah bagaimana mungkin Allah sebagai zat adikodrati salah dalam berfirman?
Ketiga, sosiologi sebagai ilmu yang lahir dan berkembang di Barat dianggap sudah salah secara intrinsik. Singkatnya, terdapat sebagian kaum Muslim yang langsung menolak secara mentah apa yang ada dan berkembang di Barat.
Ada sebagian umat Muslim yang menganggap bahwa cara untuk memahami Islam adalah hanya dengan penggunaan ilmu-ilmu keislaman, seperti ushul fiqh, ilmu tafsir, hukum Islam, dan sejenisnya. Bahkan, sebagian kecil dari umat tersebut menolak secara penuh ilmu-ilmu seperti yang disebutkan di atas untuk memahami Islam. Cukuplah kebenaran diperoleh hanya membaca dengan al-Qur’an dan Hadis, lalu mengartikannya secara literer, tanpa pemahaman yang mendalam.
Tidak perlu ilmu-ilmu keislaman. Tidak perlu mendengar ulama ini itu. Apalagi ilmuwan sosial. Cukup mengartikan secara harfiah surat-surat suci dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, melalui cara tersebut umat Islam akan selamat dunia-akhirat, bahagia dan aman di dunia lalu mati masuk surga.
Memahami Islam sebagai fakta sosial
Secara esensial, Islam memiliki konsepsi ketuhanan yang adikodrati. Namun, turunnya Islam melalui ayat-ayatnya memakan waktu yang begitu panjang yakni 23 tahun. Panjangnya proses turunnya ayat tersebut tentu dengan pertimbangkan fakta sosial yang ada (untuk menjawab persoalan-persoalan sosial saat itu). Pertimbangan tersebut lazim dikenal dengan asbabun nuzul.
Norma-norma atau nilai-nilai keislaman tidaklah turun ujuk-ujuk, secara tiba-tiba, melainkan dengan pertimbangan seperti yang telah disinggung di atas.
Tidak sedikit ditemukan berbagai ayat yang memiliki kontradiksi makna antara satu ayat dengan ayat lainnya. Jika ada dua ayat yang membahas persoalan yang sama, namun memberikan solusi yang berbeda maka ayat yang turun belakangan yang dianggap berlaku. Dalam ilmu al-Qur’an hal ini dinamakan dengan nasikh-mansukh. Nasikh adalah ayat penghapus sedangkan Mansukh adalah ayat yang dihapus. Sebut saja ayat mengenai kiblat shalat yang mengarah pada Masjid al-Aqsa.
Contoh paling dekat dengan kita adalah tentang “ayat murtad”. Seperti yang ditegaskan oleh al-Qur’an tentang kewajiban membunuh bagi kaum muslim yang menyatakan diri keluar dari Islam. Oleh sebagian umat Islam, ayat ini dipandang sebagai ayat teologis yang memuat perintah mutlak Tuhan untuk membunuh orang yang keluar dari Islam. Padahal, jika ayat tersebut dikaji secara mendalam, ‘murtad’ di sini diartikan sebagai orang yang keluar dari kelompok Islam, bukan keluar dari aqidah Islam.
Seperti konteks yang mengharuskan ayat tersebut turun yakni, ketika Islam masih menjadi agama minoritas di Madinah, maka orang yang keluar dari kelompok Muslim dianggap akan membahayakan bagi eksistensi kelompok Islam. Entah menjadi mata-mata atau membangun rencana untuk menyerang dan melumpuhkan kelompok Islam.
Urgensi Sosiologi untuk memahami (umat) Islam
Seperti yang telah disinggung di atas tentang munculnya Islam yang tidak bisa lepas dari konteks sosial. Maka, pemahaman dan pengetahuan mendalam tentang konteks kesejarahan menjadi penting agar tidak jatuh pada pemahaman yang literal.
Kiranya, untuk mendalami konteks sosial-kesejarahan Islam perlu menggandeng ilmu yang dianggap sekuler ini, ya, sosiologi. Singkatnya, sosiologi mengkaji perihal struktur sosial dan relasi antar masyarakat. Seperti halnya Arab yang menjadi latar turunnya Islam pasti memiliki struktur sosial dan relasi antar masyarakat tertentu dalam memanifestasikan ajaran serta norma-normanya.
Latar belakang Arab sangat penting untuk diketahui, sebagai basis keilmuan untuk memahami dan mengkaji Islam, karena Islam turun tidak secara tiba-tiba namun menjawab suatu persoalan yang melingkupi masyarakat Arab pada saat itu. Di tangan Islam, dialog tersebut melalui negosiasi dengan berbagai proses seperti, mengadopsi, merevisi, dan menolak.
Dalam sejumlah praktik kehidupan masyarakat Arab, Islam mengadopsi beberapa kebudayaan yang telah dipraktekkan masyarakat Arab, seperti menghormati tamu, orang tua, dan sesepuh. Di sisi lain, Islam juga merevisi praktik kebiasaan masyarakat Arab seperti poligami dan sistem pewarisan. Di sisi yang lain pula, Islam juga menolak kebiasaan masyarakat seperti praktik politik dan ekonomi yang tidak egaliter.
Sejumlah kelompok Islam yang konservatif puritan pun menolak dengan tegas campur tangan sosiologi dalam membaca (umat) Islam. Mereka beranggapan jika ada campur tangan dari ilmu-ilmu lain dalam membaca (umat) Islam maka akan ‘menodai’ kemurnian dan otentisitas Islam.
Namun, jika dinalar dengan akal sehat tidak dapat dipungkiri bahwa Islam hadir tidak lepas dari konteks sosial. Maka pendekatan sosial-kesejarahannya diperlukan untuk membaca (umat) Islam. Bahkan tidak hanya digunakan untuk membaca masa lalu (umat) Islam namun juga untuk masa sekarang yang tentunya lebih kompleks.
Tidak dapat ditolak bahwa realitas (umat) Islam hari ini memiliki pluralitas dan kompleksitas yang berbeda dengan awal mula Islam muncul. Hendaknya Islam tidak dipersepsi sebagai agama yang memiliki keseragaman. Nyatanya Islam memiliki banyak sekali pemikiran, pendapat ulama, motif, madzhab dan praktik keagamaan yang majemuk.
Perlu diketahui pula bahwa kemajemukan tersebut bukanlah datang secara tiba-tiba melainkan dari proses yang begitu panjang dari relasi sosial antar masyarakat.
Kemajemukan Islam bukan hanya dilihat antara dua kubu besar, Sunni dan Syiah saja. Selain dua madzhab kalam tersebut juga ada sejumlah mazhab kecil lain seperti, wahabi, alawi, mutazili dan lain sebagainya. Lebih dari itu, dalam Sunni maupun Syiah pun terdapat pecahan-pecahan kecil yang lebih variatif dari yang paling konservatif hingga paling liberal pun ada.
Dalam ranah Fiqh-pun demikian, tidak lupa pula dalam ranah tasawuf pun memiliki kemajemukan dan kompleksitas yang serupa.
Di sini peran dari disiplin Sosiologi tidak hanya untuk memahami keunikan dan keragaman ekspresi umat Islam namun juga untuk mengurai dan memahami keruwetan serta kemajemukan dalam tubuh Islam serta menelaah faktor-faktor penyebab perpecahan. Kiprah Sosiologi mengesampingkan sisi normatif-teologis Islam, namun menjadikan Islam sebagai tradisi yang hidup dan sebuah peradaban. Juga sebagai fenomena sosia. Terlebih, Sosiologi mampu membantu meneropong struktur-struktur sosial-politik-ekonomi dan relasi sosial masyarakat Islam.
Namun fakta hari ini sangat sedikit sekali ditemukan ulama-ulama kita yang menguasai disiplin ilmu sosial yang bersifat menjelaskan fakta sosial secara ilmiah tentang ajaran dan fenomena keberislaman. Di sisi yang lain, ilmuwan-ilmuwan sosial tidak begitu memahami teks-teks dan diskursus keislaman yang tertuang dalam kitab-kitab keislaman.
Permasalahan yang alot di sini ialah bagaimana menempatkan Islam secara obyektif. Di satu sisi, ada yang menganggap bahwa para peneliti atau ilmuwan yang boleh meneliti atau menulis tentang agama dan masyarakat Islam adalah orang yang beragama Islam. Namun, hemat penulis, obyektif atau subyektif tidak diukur melalui iman seseorang. Melainkan sejauh mana peneliti tersebut memegang komitmen keilmuan, mempertahankan kode etik penulisan dan penelitian, moralitas keilmuan serta nilai-nilai akademik.
Seorang sosiolog muslim pun tidak menjamin penelitiannya akurat dan terhindar dari bias. Begitu pula, seorang sosiolog non muslim bukan berarti mereka mesti tidak akurat dan bias dalam meriset dan menulis tentang agama dan masyarakat Islam.