Teknologi dan Agama: Sebuah Refleksi Teologis Berdasarkan Pemikiran Evolusi Teilhard de Chardin

Foto Teilhard de Chardin

Dilihat dari basis empiriknya, teknologi dan agama memang berbeda. Teknologi adalah hasil pergumulan manusia akan kebutuhan hidupnya sedangkan agama berasal dari wahyu ilahi. Maka, judul tulisan ini mengadung sebuah perkara. Perkara itu mungkin bisa dirumuskan begini: bagaimana eksistensi agama di hadapan teknologi? Apakah agama akan jatuh menjadi mitos-takhayul atau justru makin kuat menunjukan eksistensi dirinya? Lalu, bisakah mendamaikan hubungan antara keduanya? Terhadap pertanyaan terakhir ini bisa dijawab dengan menunjuk akar metafisisnya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut lugas dirumuskan, karena semisal keniscayaan, kini manusia telah memasuki wilayah dilematis. Di satu sisi teknologi membuat intelektualitas dan moralitasnya terombang-ambing, namun di sisi lain manusia tidak bisa hidup tanpa teknologi. Inilah tegangan abadi yang membingkai sketsa lintasan sejarah manusia.

Dalam banyak hal, teknologi memang disanjung sebagai anak kandung rasionalitas manusia. Kebangkitan Renaisans, dan terutama zaman pencerahan (abad ke-17 dan ke-18), telah menggiring subjek yang berpikir untuk memuliakan rasionalitasnya. Keperkasaan rasionalitas itu menjelma dalam ilmu-ilmu postif, sains dan teknologi, yang dipercaya bisa membebaskan manusia dari belenggu mitos. Lantas manusia dinilai sebagai subjek yang memegang kendali atas alam sehingga realitas di luar “aku” menjadi “objek” yang bisa dikuasai untuk kepentingan “aku”.

Namun, sanjungan itu tidak lolos begitu saja dari pantauan nalar kritis. Adorno dan Horkheimer misalnya, menanggapinya dengan sinis begini: sikap Pencerahan terhadap realitas itu, seperti seorang diktaktor bersikap terhadap manusia. Alasannya lugas: rasio semacam itu akan mudah dimanipulasi dan diarahkan semata-mata untuk kepentingan apa pun, seperti politik, ekonomi, dan ideologi kelompok. Karena itu, melihat fenomena semacam ini, bahaya hakiki sains dan teknologi in se sebenarnya bukan terletak pada dirinya, melainkan pada manusia yang memberi makna dan tujuan pada teknologi itu. Di sinilah Adorno dan Hoekheimer berusaha melabrak kemapanan Pencerahan Budi (Aufklarung) yang dikalim telah mengantar manusia pada kemakmuran.

Fenomena kemerosotan moral-spritual dan kedangkalan memahami teknologi, dipastikan bukan hanya menjadikan manusia kehilangan identitasnya, melainkan juga teknologi sendiri akan tercerabut dari akar metafisisnya. Pada aras ini, upaya Pencerahan Budi (Aufklarung) untuk keluar dari mitos-transendental “abad pertengahan” gagal total: manusia kembali menyembah mitos baru yang menampakan dirinya dalam teknologi dan sains.

Lewat pemikiran evolusionisme Teilhard de Chardin, tulisan ini berupaya untuk mendamaikan tegangan antara teknologi dan agama. Tentu saja tulisan ini bukan resep satu-satunya untuk meneropong perkara itu, melainkan memberikan suatu alternatif bagaimana memahami teknologi dan agama dari sudut pandang Kristiani terutama melalui alur pemikiran evolusionisme Teilhard de Chardin. Karena itu, mungkin berguna, alur tulisan ini akan berlangsung seperti di bawah ini.

Riwayat Hidup Teilhard de Chardin

Teilhard de Chardin berasal dari keluarga bangsawan. Ia lahir di kota Orcines, Prancis pada 1 Mei 1881. Ayahnya bernama Emanuel Teilhard dan ibunya adalah Berthe de Dompiere. Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan Serikat Yesus dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1911. Ia belajar paleontologi dan geologi sejak tahun 1912 dan pada tahun 1922 berhasil meraih gelar doktor dalam bidang paleontologi di Universitas Sorbon, Paris.

Setelah mengajar pada Universitas Katolik Paris, pada tahun 1923, Teilhard mulai melakukan penyelidikan di bidang paleontologi dan geologi. Dalam upaya penyelidikan itu, Teilhard menjelajahi berbagai negara seperti; China (1923), Eropa, Amerika (1930), Asia (1935-1938), dan Afrika (1951 dan 1953). Tielhard meninggal di New York bertepatan masa Paskah, 10 April 1955.

Selain dikenal sebagai ahli paleontologi dan geologi, lewat pemikirannya tentang kosmos, ia juga dikenal sebagai teolog. Gereja pernah melarang untuk menerbitkan pemikirannya karena dianggap bertentangan dengan ajaran Gereja. Kendati demikian, kini pandangannya dianggap berharga karena berhasil mendamaikan ilmu pengetahuan dan agama.

Teknologi Bukan Sekadar Peranti

Mungkin baik dimulai dengan memahami istilah teknologi. Teknologi berasal dari bahasa Yunani, techne dan logos. Techne adalah seni atau kesenian (art), (kerajinan tangan), sedangkan logos dimengerti sebagai wacana, kata, gagasan, atau ilmu. Teknologi bisa didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki tujuan praktis untuk mengubah, memanipulasi, serta menghasilkan produk-produk tertentu demi memudahkan aktivitas manusia. Namun, membatasi makna teknologi hanya sebagai peranti bisa bertendensi untuk menciutkan artinya. Karena itu pendapat beberapa filosof diperlukan untuk melihat secara luas apa itu teknologi.

Karl Marx (1818-1883), misalnya, mengartikan teknologi sebagai “tenaga-tenaga produktif” yang dalam proses produksi kapitalis adalah motor kemajuan. Dalam arti ini, teknologi, bagi Marx, memiliki sifat imperatif. Sifat imperatif teknologi ini bisa memaksa manusia untuk tunduk pada sistem otomatisasinya. Karena itu, alih-alih membuat manusia menjadi manusiawi, teknologi justru menjadikan manusia teralienasi dari eksistensi dirinya sebagai makhluk bebas. Manusia menjadi kehilangan otentisitas dirinya, karena dalam sistem produksi, manusia dipaksa untuk menjual “tenaga” kerjanya kepada pemilik modal.

Karena itu, manusia kehilangan ruang untuk merealisasikan diri. Artinya, kebebasan manusia dibatasi di dalam sistem kerja kapitalisme sehingga ketiadaan kesempatan untuk merealisasi diri menjadi hal yang niscaya. Dalam hal ini, sistem kapitalisme meletakkan manusia sebagai sarana dalam sistem produksi, sehingga selain kehilangan kesempatan untuk merealisasikan diri, manusia akan kehilangan otonomi dirinya, sebab di dalam sistem kerja, manusia berada di bawah “komando” proses produksi. Maka konsekuensinya ialah, manusia teralienasi dari dirinya sendiri.

Tak seperti Marx, dan tanpa menolak atau mengutuk teknologi, Martin Heidegger (1889-1976) dengan apik merumuskan teknologi sebagai suatu cara sistematik—lewat proses “membingkai” (enframing)—untuk melihat dunia. Bagi Heidegger, melalui teknologi, dunia dan segenapnya bisa disingkap sebagai ladang energi yang bisa ditambang, digali, dan didistribusikan. Lewat kaca mata “membingkai”, menurut Heidegger, seluruh alam bisa direduksi pada status sebagai alat-persediaan untuk kegunaan instrumental manusia, yakni semata-mata demi manusia. Konsep “membingkai” inilah, menurut Heidegger, merupakan esensi teknologi modern. Itulah mengapa, teknologi menjadi berbahaya terutama terletak pada esensinya: “membingkai” (Gestell, Enframing). Dalam kerangka berpikir itu, dapat dipastikan segala sesuatu menjadi bisa dieksploitasi.

Herbert Marcuse (1898-1979) sendiri melihat teknologi dalam kesatuannya dengan kekuasaan prinsip komoditi atas masyarakat kapitalisme. Prinsip “masyarakat komoditi” ini pada tataran tertentu—demi keuntungan dan efisiensi—dapat mereduksi segala nilai dan moral menjadi sekadar komoditi. Teknologi memaksa mental dan pikiran manusia untuk bekerja sesuai dengan sistem otomatisasi dan mekanisasinya. Karena itu, kebebasan, kreativitas, dan kekuatan imajinatif manusia menjadi lumpuh. Marcuse menyebut mekanisasi dan otomatisasi pada wilayah mental dan pikiran itu sebagai mekanika keseragaman.

Lebih lanjut, Jacques Ellul (1912-1914) melihat teknologi sebagai fenomena singular yang memiliki logika fungsionalnya sendiri, hukum-hukumnya sendiri, serta memiliki peta perkembangannya sendiri. Teknologi menjadi subjek tanpa kontrol yang menampakkan dirinya dalam berbagai fenomena yang sangat luas. Konsekuensinya, fenomena-fenomena itu memiliki arti masing-masing dalam kaitanya dengan fungsi kerjanya. Ellul mengartikan semua fenomena tersebut dengan menciutkannya pada satu prinsip, yakni teknik (technique). Dalam arti ini, menurut Ellul, manusia bisa tersingkir dari aktivitas industri, sebab dalam proses produksi manusia tak cukup kuat untuk bersaing dengan mekanisasi sistem kerja mesin. Alasannya, mesin memiliki lebih banyak “energi” ketimbang manusia.

Pandangan keempat tokoh tersebut di atas telah meletakkan arti “teknologi” sebagai peranti yang memiliki fungsi kerja teknis. Berangkat dari arti tersebut, teknologi menjadi instrumen yang tak hanya bermanfaat bagi manusia tetapi bisa mencelakakan manusia. Teknologi bisa balik menyerang manusia lewat otomatisasi dan sitem kerjanya, sehingga tak ayal manusia bisa menjadi budak dari sistem kerja teknologinya.

Berbeda dengan arti teknologi pada taraf peranti-teknis di atas, Tielhard, lewat teori evolusinya, mengembangkan makna teknologi secara lebih luas dan mendalam. Teilhard memahami pekerjaan manusia—termasuk di dalamnya teknologi—sebagai partisipasi manusia dalam karya penciptaan ilahi. Ia menafsirkan perintah pertama kepada manusia “penuhilah bumi dan taklukanlah itu” (Kej 1:28) sebagai perintah yang belum selesai. Ungkapan tersebut, bagi Teilhard, adalah perintah kepada manusia untuk ikut meneruskan dan menyempurnakan dunia lewat pekerjaannya. Dengan demikian, manusia ikut berpartisipasi pada dinamika penciptaan ilahi.

Bagi Teilhard, teknologi modern adalah sebuah evolusi menuju “kesatuan universal”. Kesatuan universal itu dapat diartikan sebagai tahap baru evolusi manusia, di mana akan tecapai suatu keutuhan budi dan hati manusia dalam cinta kasih ilahi. Cinta Kasih Ilahi ini dipahami Teilhard sebagai diri pribadi Yesus sendiri, rute akhir dari perjalanan sejarah alam semesta. Pada aras inilah ditemukan titik temu antara teknologi dan agama. Kendati teknologi muncul dari hasil kegelisahan manusia atas sejarah dan masa depanya, teknologi tak lain adalah buah dari sebuah proses kreatif ciptaan Allah. Segala perubahan yang terus-menerus terjadi menunjukan bahwa Allah terus menciptakan alam semesta. Lewat segala perubahan dan kemajuan secara kreatif. Allah menata dunia dan mengarahkan perkembangan itu menuju satu titik penyempurnaan dalam diri-Nya.

Namun, beberapa pertanyaan perlu dilontarkan, yakni: bagaimana memahami suatu evolusi penciptaan dari tahap material ke tahap kehidupan? Serta, bagaimana dapat diterima suatu peralihan dari tahap binatang (material) ke spesies manusia bila dihubungkan dengan kisah penciptaan di dalam teologi Kristiani?

Teknologi, Sebuah Evolusi Penciptaan Ilahi

Teilhard berusaha mencari jalan tengah antara agama dan ilmu pengetahuan dengan tetap mempertahankan eksistensi masing-masing. Menurutnya, teori evolusi harus dimengerti sebagai kesatuan fundamental yang menandai kosmos seluruhnya, termasuk di dalamnya adalah manusia. Kesatuan itu bersifat dinamis. Artinya, kesatuan itu merupakan proses yang sedang berlangsung dan akan terus berlangsung. Sebuah proses yang akan terus menjadi. Dalam proses evolusi, Tielhard berpendapat bahwa setiap fase mempunyai waktunya sendiri. Teilhard menolak pandangan tradisional (juga kreasionisme) yang melakukan dikotomi secara tajam antara benda mati dan benda hidup, materi dan roh. Menurutnya, di dalam materi terdapat segi dalam (aspek hidup-sadar) dan segi luar (aspek fisik-kimiawi). Dan segi dalam inilah yang memungkinkan proses evolusi. Dengan demikian, semua materi itu sesungguhnya hidup, kendati masing-masing memiliki intensitas dan “kehidupan” yang berbeda.

Kehidupan muncul karena intensitas segi dalam yang mencapai tingkat lebih tinggi (kompleks). Tielhard memberikan hukum kompleksitas-kesadaran (complexity of consciousness) untuk menjelaskan adanya hubungan yang erat antara kompleksitas struktur materi dengan intensitas kesadaran. Segi dalam suatu materi akan semakin intensif apabila struktur materi (segi luar) lebih kompleks. Dengan demikian, semakin bertambah kompleks sturuktur suatu materi, semakin sempurna pula tahap evolusinya. Variabel perkembangan materi tersebut berlangsung sebagai berikut: berawal dari elemen partikel atom ke molekul, dari molekul ke bentuk sel, dari satu sel ke multi-sel, dari sel yang paling primitif ke organisme yang paling kompleks, kemudian berakhir dengan entitas yang paling kompleks yang kemudian disebut: manusia. Jadi, manusia adalah puncak seluruh kompleksitas evolusi dunia.

Teilhard menunjukkan kesesuaian teori evolusinya dengan paham penciptaan dalam dua aspek berikut: Pertama, menciptakan dimengerti sebagai menjadikan. Tielhard lebih menerima ungkapan, “Tuhan sedang menciptakan” ketimbang mengatakan “Tuhan telah menciptakan”. Ia meyakini bahwa dalam materi, Tuhan telah meletakan peluang untuk berkembang (berevolusi) terus-menerus menurut proses tertentu dan mahkota seluruh ciptaan evolutif itu (manusia). Dalam tahap evolusi psiko-sosial, manusia turut mencipta bersama Tuhan. Artinya, apa yang diciptakan manusia sangat tergantung pada Sang Pencipta. Hal ini dimungkinkan, karena Allah telah meletakkan kemungkinan itu dalam materi yang bisa dikembangkan oleh manusia.

Kedua, penciptaan mengandaikan permulaan di dalam waktu. Kendati hal ini tidak dijelaskan secara filosofis, tetapi dapat diterima berdasarkan Kitab Suci. Lewat teori evolusinya, Tielhard berkeyakinan bahwa evolusi kosmos telah menunjukan adanya permulaan seluruh proses dan semua itu hanya ditemukan di dalam Allah sebagai Pencipta. Oleh karena itu, proses evolusi tidak hanya berhenti pada masa lampau kosmos dan umat manusia, melainkan (evolusionisme) selalu menuju masa depan dan akan terus berlangsung sepanjang sejarah manusia. Hal ini bisa ditunjuk lewat aneka kemajuan dan perubahan, entah di bidang sains, teknologi, ataupun peradaban manusia.

Teilhard kemudian merumuskan evolusi psikis dan sosial (noophere) yang dihubungkan dengan evolusi spesies manusia. Ia berkeyakinan bahwa evolusi noosphere sangat berbeda dengan evolusi sebelumnya (evolusi organis dan biologis biosphere) karena manusia adalah makhluk yang bebas. Oleh karena itu, tidaklah mustahil, pada fase tertentu manusia akan memusnahkan kehidupan di bumi termasuk dirinya sendiri. Semua krisis yang terjadi itu, entah lewat fenomena kultural, teknologi, politik, maupun ekonomi, bagi Teilhard adalah “sebuah proses” menuju tahap penciptaan yang lebih tinggi. Munculnya krisis justru akan makin menyatuhkan manusia. Bahkan manusia sendiri bisa menjangkau persatuan universal itu (semua bangsa, budaya, negara, suku, agama, termasuk di dalamnya planet-planet) berkat kemajuan dan perkembangan evolusi.

Allah adalah Alfa dan Omega

Pada aras ini, bagi Teilhard, seluruh evolusi dunia sejak awal (alfa), termasuk sejarah manusia, berjalan ke arah dan tujuan yang sama, yakni, titik omega, di mana Allah menjadi semua di dalam semua (1Kor 15:28). Teilhard mengakui bahwa Inkarnasi dan penebusan Kristus mengalami kepenuhannya, sebab pada akhirnya segala sesuatu akan menemukan keutuhanya di dalam Pribadi Kristus sebagai Sang Penyelamat, sekaligus sebagai awal dan akhir hidup segala sesuatu. Dengan demikian, karya Allah mendapat kepenuhannya lewat proses evolusi universal yang mencakup segala bidang termasuk di dalamnya sains dan teknologi modern. Teilhard membahasakan titik omega dengan mengidentikkan dengan diri Pribadi Yesus sendiri, yakni tujuan dan akhir perjalanan alam semesta.

Akhirnya perlu disimak, kendati pun secara pragmatis teknologi adalah hasil kegelisahan manusia atas kebutuhan hidupnya dari basis reflektif-metafisis, sebenarnya adalah bagian dari proses kreatif penciptaan ilahi. Itulah mengapa, teknologi bukan melulu sebuah entitas yang profan, melainkan instrumen kreatif Allah yang menunjuk langsung pada bidang kesalehan keagamaan (Kristiani) bahwa: “Allah adalah Sang Pencipta”.

Daftar Pustaka

Bertens, K., Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jakarta: PT Gramedia, 1981.

Elster Jon, An Introduction to Karl Marx, New York: Chambridge University Press, 1986.

Ellul, Jacques, The Technological System, Joachim Neugroschel (Penerj.), Oregon: Wipf and Stock Publisher, 1980.

Kewuel, Hiplitus K., Allah dalam Dunia Postmodern, Dioma: Malang, 2004.

Marx, Karl, Capital: Volume One, the Process of Production Capital, Moscow: Progress Publishers, 1887.

Marcuse, Herbert, One Dimentional Man: Studies in the Ideology of Advance Industrial Society, London and New York: 2002.

Seno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Saeng, Valentinus, Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Teilhard de Chardin P, Phenomenon of Man, New York: Harper & Row Publisher, 1959.

__________________, Cristianity and Evolution, Rene Hague (Penerj), London: Harcourt Inc., 1967.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.