Seorang perempuan bercermin

Alfred Adler merupakan seorang psikiater asal Austria yang lahir pada 7 Februari 1870 dan terkenal menciptakan pemikiran bertajuk Psikologi individual. Ia pula yang memperkenalkan konsep inferiority (rasa rendah diri) dan superiority (rasa lebih dari orang lain) yang dipercaya memiliki peran signifikan dalam perkembangan kepribadian seseorang. Adler awalnya merupakan kolega dari Sigmund Freud dan sempat menjadi presiden dari Vienna Psychoanalytic Society, kendati pada akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari lingkaran psikoanalitik Freud. Sehingga pada tahun 1912, Adler sendiri mendirikan Society of Individual Psychology.

Kunci utama dari pemikiran psikologi ala Adler ialah, bahwa setiap orang memiliki rasa rendah diri yang menjadi landasan bagi mereka untuk berkembang secara emosional, pemikiran, hingga tingkah laku. Oleh sebab itu, dibandingkan dengan pemikiran psikologi Freud yang dianggap sebagai Psychology of Possession, maka pemikiran psikologi Adler adalah Psychology of Use. Dalam kata lain, pemikiran psikologi Freud lebih mengedepankan pada unsur etiologi (berfokus pada sebab-akibat), sedangkan pemikiran psikologi Adler lebih mengedepankan pada unsur teleologi (berfokus pada hasil atau tujuan). Freud akan sangat mempertimbangkan trauma masa lalu dalam menelaah permasalahan psikologis seseorang. Sementara di sisi lain, Adler justru memilih untuk tidak berkaca dari hal tersebut. Bahwasanya, kehidupan seseorang adalah hasil dari pilihan-pilihan yang dipilih secara bebas dan dibuat dengan kesadaran masa kini. Adler enggan menerapkan konsep determinisme atas trauma yang dialami seseorang dalam menentukan jalan hidupnya, alias ia tidak mau menetapkan trauma sebagai ‘momok’ dari segala hal perjalanan hidup yang dialami oleh seseorang (Kishimi & Koga, 2013).

Lalu muncullah apa yang Adler sebut sebagai ‘Life-Lie’. Life-Lie merujuk pada sebuah alasan yang digunakan seseorang untuk menghindari tugas-tugas yang ada pada aspek pertemanan, pekerjaan, dan cinta (life task) karena dalih masa lalu yang buruk, lingkungan yang buruk, atau kesalahan orang lain. Seseorang akan menggunakan false-belief ini demi ketidaksediaannya untuk melakukan tugas-tugas tersebut dengan menyalahkan trauma yang telah terjadi. Seakan-akan, trauma dieksploitasi untuk dijadikan ‘kambing hitam’ yang menghalangi tujuan hidup seseorang. Sebagai contoh, seseorang memiliki masa lalu sering membolos saat di bangku sekolah disebabkan malas untuk bertemu seorang guru yang dibencinya. Masa lalu ini lantas menjadi validasi bagi seseorang tersebut untuk menyalahkan nasibnya yang kini tidak atau kurang sukses. Lebih tepatnya, ia akan menyalahkan seorang guru tersebut sebagai sumber trauma yang mengakibatkan ia tidak bisa (atau sebenarnya, belum bisa) sukses. Contoh lainnya, seseorang memutuskan untuk tidak mau mengendarai mobil dikarenakan ia pernah mengalami suatu kecelakaan mobil di masa lampau. Alhasil, ia merasa trauma akan hal itu dan sudah menanamkan dogma bahwa dengan mengendarai mobil akan selalu berakhiran celaka.

Namun perlu dicatat bahwa pada dasarnya, Adler bukannya tidak mengakui adanya keberadaan trauma dan pengaruhnya pada kehidupan seseorang. Hanya saja, ia lebih menekankan bahwa seseorang dapat mengatur bagaimana ia dapat memaknai trauma tersebut terhadap kehidupannya yang ada di masa kini. Adler tidak menginginkan seseorang membohongi dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya dengan isu traumatik—yang pada akhirnya mengganggu produktivitas maupun menghalangi seseorang untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Trauma yang seyogyanya tampak seperti disebabkan oleh orang lain, contohnya seperti yang disebabkan oleh orang tua atau keluarga, tidak seharusnya menjadi penentu dari jalan hidup yang akan ditempuh oleh seseorang (Kishimi & Koga, 2013). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa, adalah tanggung jawab kita untuk menentukan seperti apa hidup yang akan kita bentuk tanpa terbebani oleh trauma.

Referensi

Cherry, K. September 2020. Alfred Adler Biography: Career and Life (https://www.verywellmind.com/alfred-adler-2795502)

Kishimi, I & Koga, F. 2013. The Courage to Be Disliked: How to Free Yourself, Change your Life and Achieve Real Happiness. Atria Books: New York.

Muller, A. Mei 2020. How to Stop Sabotaging Yourself (https://medium.com/the-post-grad-survival-guide/how-to-stop-sabotaging-yourself-d5e17b1f8597)

Karina Puspita Sari

Alumni Sastra Inggris Universitas Negeri Malang yang kini bekerja di sebuah instansi pemerintahan.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.