Pandangan mainstream media barat yang sering kita temui kerap menilai Tiongkok sebagai sebuah negara non-demokratis dan otoriter. Tidak hanya itu, kehadiran Tiongkok sebagai sebuah alternatif kekuasaan baru dinilai mengancam negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang saat ini berusaha mempertahankan status quo-nya.
Era neoliberalisme pada akhir abad ke-20 membawa Tiongkok masuk dalam lingkaran ekonomi global yang ditandai dengan implementasi kebijakan baru yang ramah terhadap pasar bebas dan investor asing. Perdebatan di kalangan para intelektual yang memojokkan Tiongkok sebagai sebuah kekuatan imperial baru sangat menarik untuk kita dalami. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok dianggap sebagai sebuah keajaiban, namun kemajuan ini berdiri di atas eksploitasi terhadap tenaga kerja. Samir Amin membenarkan bahwa bentuk-bentuk eksploitasi yang brutal terhadap para pekerja di Tiongkok memang benar terjadi dan hal ini merupakan skandal bagi negara yang mengklaim diri, sedang dalam masa transisi menuju negara sosialis.
Namun sejalan dengan Deng Xiaoping, Amin berpendapat bahwa rezim kapitalisme merupakan suatu periode yang niscaya harus dilalui sebagai langkah awal menuju sosialisme. Kompromi yang dilakukan Tiongkok dengan sistem kapitalisme dibangun untuk mencapai tiga tujuan (i) membangun sistem industri modern yang terintegrasi dan berdaulat; (ii) menghubungkan sistem tersebut dengan produksi kecil di pedesaan; dan (iii) mengontrol integrasi Tiongkok ke dalam sistem dunia yang didominasi oleh monopoli triad imperialis seperti Amerika Serikat, beberapa negara di Eropa, Jepang.
Saat ini Tiongkok telah menjadi bagian dari pasar finansial global dengan bergabung sebagai anggota International Monetary Fund (IMF). Negara tersebut sendiri pun telah membentuk suatu lembaga yang mirip dengan IMF ialah Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) untuk menopang proyek Belt and Road Initiative (BRI). Langkah tersebut menunjukkan seolah-seolah Tiongkok ingin membuat alternatif tandingan sebagai kontra triad imperialis. Akan tetapi, kebijakan ini membuat posisi mereka dipertanyakan. Apakah benar sosialisme dengan karakteristik Tiongkok yang dikehendaki menakdirkan mereka harus meniru gaya imperialis yang telah mapan?
Kebingungan itu semakin tampak dalam argumentasi Amin yang menyatakan bahwa Tiongkok berdiri di atas dua kaki, pertama, adanya penolakan Tiongkok terhadap imperialisme geopolitik, dan kedua, adanya penerimaan Tiongkok terhadap neoliberalisme ekonomi. Samir berpendapat bahwa Tiongkok bukan merupakan negara sosialis dan bukan pula merupakan negara kapitalis, dikarenakan Tiongkok tidak mengadopsi globalisasi secara penuh yang merupakan ciri dari kapitalisme kontemporer. Kapitalisme kontemporer mensyaratkan adanya perdagangan bebas, kemudahan berinvestasi antar negara, serta adanya pasar finansial global. Argumen dan kontradiksi dari kebijakan Tiongkok tersebut justru menunjukkan bahwa sebetulnya Tiongkok hanya berdiri pada satu kaki, yakni kapitalisme kontemporer.
Terlepas Tiongkok sudah mulai berkompromi dengan pasar finansial global, uniknya Tiongkok mampu mereduksi hingga 70% angka kemiskinan dunia. Pencapaian ini bahkan 10 tahun lebih cepat dari target menghapuskan segala bentuk dimensi kemiskinan termasuk kemiskinan ekstrem yang ditentukan dalam UN’s 2030 Agenda for Sustainable Development. Tuduhan media barat atas kediktatoran rezim Xi Jinping justru bisa dipatahkan dengan adanya pencapaian ini. Justin Lin Yifu profesor di Universitas Peking menjelaskan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kemiskinan, yang pertama disebut sebagai “blood transfusion” yang biasa digunakan oleh negara-negara barat, pendekatan ini memiliki karakteristik mengurangi kemiskinan melalui bantuan kemanusiaan atau mekanisme kesejahteraan yang menjamin kebutuhan dasar manusia. Pendekatan yang kedua disebut Lin sebagai “blood generation”, ialah pendekatan yang berorientasi pada pembangunan, penyediaan lapangan pekerjaan, serta meningkatkan pendapatan orang miskin. Menurut Lin dua pendekatan tersebut tidak mampu untuk menghapuskan kemiskinan Tiongkok. Lin menegaskan keberhasilan Tiongkok menghapuskan kemiskinan dicapai melalui peran sentral pemerintah Tiongkok serta usaha para petani untuk keluar dari kemiskinan, karena penghapusan kemiskinan tidak bisa dicapai jika hanya melalui peran pasar dan jika pemerintah tidak memiliki perhatian khusus terhadap rakyat yang miskin.
Menurut penulis, sejatinya Tiongkok di masa kepemimpinan Xi Jinping juga mengimplementasikan nilai-nilai internasional yang dianut dalam marxisme-leninisme. Bentuk implementasi tersebut dapat dilihat dari usaha Tiongkok untuk membantu negara-negara berkembang dan termasuk juga negara yang diembargo oleh Amerika Serikat (triad imperialis) seperti Kuba. Namun, terdapat kontradiksi lain apabila Penulis mengaitkan masuknya Tiongkok dalam pasar finansial global dalam artikel Eva Novi Karina yang berjudul “Benarkah Tiongkok hanya Negara Kapitalis Biasa?”. Dalam artikel tersebut Karina beranggapan bahwa usaha Tiongkok yang membantu Sri Lanka secara finansial merupakan suatu bentuk debt trap diplomacy, karena alih-alih Tiongkok merestrukturisasi hutang yang gagal dibayar oleh Sri Lanka, Tiongkok justru menawarkan untuk mengubah hutang menjadi ekuitas yang memungkinkan Tiongkok mengakuisisi 70% Pelabuhan Hambantota. Menurut Penulis kebijakan tersebut jauh dari semangat solidaritas internasional yang dipegang dalam marxisme-leninisme.
Akan tetapi, apakah kontradiksi-kontradiksi tersebut cukup untuk menilai dan memberikan cap kepada Tiongkok sebagai kapitalis dan calon imperialis baru? Rasanya tidak elok juga apabila kita tidak mampu melihat usaha Tiongkok secara utuh untuk menuju cita-cita sosialisme yang hendak ia tuju.
Mahasiswa Pasca Sarjana STF Driyarkara.
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.