Busana kantoran ala Milenial merupakan suatu transformasi busana yang tampak remeh, namun sejatinya merupakan representasi nyata dari redefinisi profesionalisme kerja masa kini. Seiring kemunculan perusahaan kreatif yang semakin menjamur, yang mana didominasi oleh para pekerja usia muda, kini idealisme lawas yang menyatakan bahwa busana kantoran wajib hukumnya bersifat formal mulai ditantang nilai validitasnya.
Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan transisi ini dan sejak kapan ia dimulai? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya menelusuri sedikit sejarah perkembangan busana kantoran dari masa ke masa sekaligus makna yang mendasarinya.
Dilansir dari berbagai sumber seperti Business Insider Singapore, The Atlantic hingga GQ, terdapat sebuah alasan sederhana mengapa busana kantoran terdahulu begitu formal dan mengekang dengan busana gaya modern-nya. Dimulai dari tahun 1950an hingga 1990an, ternyata nyaris semua perusahaan kantoran mengutamakan asas “process-oriented” ketimbang “results-oriented”. Yang dimaksud dengan ”process-oriented” di sini adalah perusahaan “sangat berfokus terhadap proses pembentukan kesuksesan”. Di mana pada masa dahulu, penggunaan busana modern seperti kemeja dan sepatu pantofel dianggap mencerminkan profesionalitas di lingkungan kerja.
Di tahun 1950an, para pekerja pria diharuskan mengenakan setelan jas dan dasi yang terkadang dibarengi dengan overcoats. Umumnya setelan jas tersebut ketat dan berwarna gelap yang dipadukan dengan kemeja warna putih bersaku senada. Sementara pada wanita, busana kantoran yang dikenakan ialah blus sutra licin yang ditimpa dengan setelan jas berbahan wol sebagai atasan, terusan rok, stockings, dan sepatu hak tinggi yang melelahkan.
Baru di tahun 1960an, meski masih terbilang jarang, pekerja wanita mulai berani mengenakan celana panjang dan blus pussy-bow yang feminin sebagai busana kantoran mereka. Perubahan ini seakan menandakan bahwa para pekerja wanita hendak mengukuhkan identitasnya di tengah dunia kerja kantoran yang kerap dicap sebagai dunia para pria.
Transisi busana dan gaya pekerja kantoran semakin “liar” pada dekade selanjutnya seiring dengan kemunculan konsep groovy fashion yang menyeruak. Para pekerja pria dengan rambut gondrong dan jambang mulai diterima di kalangan perkantoran. Gaya fashion busana kantor tak lagi ketat namun menjadi lebih longgar ukurannya (loose-collared culture), baik di busana pekerja kantoran pria maupun wanita. Sedangkan para pekerja wanita semakin banyak yang mengganti bawahan rok mereka dengan celana. Uniknya, beranjak ke tahun 1980-an, gaya berbusana kantor mulai ikut dipengaruhi oleh tren fashion pada masa tersebut. Contohnya, warna busana kantoran menjadi lebih cerah serta pemakaian shoulder pads di busana kantoran juga jadi sah-sah saja.
Puncaknya, tahun 1990 menjadi kebangkitan busana kantoran dengan tema utama kasual yang lebih mengedepankan kenyamanan. Penggunaan sepatu low-heeled pun menjadi semakin populer. Begitu pula dengan celana khaki, sepatu non-pantofel, hingga kemeja berkerah dengan model santai.
Hingga generasi kantoran milenial pun dimulai di tahun 2010an. Penulis buku Millennials Kill Everything (2019), Yuswohady, mengungkapkan bahwa pergeseran outfit kantor di era ini tak lepas dari maraknya pertumbuhan ekonomi digital yang menyertainya. Perusahaan digital kreatif dan startup yang semakin subur menjalar bahkan menempati peringkat pertama sebagai tempat kerja idaman para pekerja muda. Perusahaan-perusahaan ini pun menjadi favorit bukan karena tanpa alasan. Salah satunya ternyata dikarenakan, perusahaan kreatif dikenal dengan sistemnya yang fleksibel terhadap karyawan, mulai dari jam kerja hingga busana kantoran yang dipakai. Sebab, perusahaan-perusahaan ini adalah perusahaan yang “result-oriented” alias menilai profesionalitas pekerjanya bukan dari busananya melainkan hasil akhir yang diberikan.
Dan jika busana kantoran terdahulu lebih mengedepankan “kesetaraan”, maka kini busana kantoran Milenial lebih mencondongkan gaya personal setiap pekerja. Ini dibuktikan dari hasil riset yang diikuti di blog fashion XSML yang menyatakan sebanyak 55 persen generasi ini menyatakan “I don’t follow trends. I like to have my own personal style.”
Adapun jenis busana yang kerap menjadi pilihan para Milenial untuk dikenakan ke kantor versi media online Kumparan meliputi busana kasual seperti jeans, kaos oblong, jogger pants, sneakers, denim jacket, hoodie, sweater, hingga menggunakan cat kuku dengan motif bermacam-macam. Selain itu, pemakaian atribut yang identik dengan keagamaan seperti hijab juga sudah menjadi hal umum dan tidak lagi dipandang sebagai hal yang eksklusif.
Fleksibilitas busana ini, menurut Yuswohady (2019) tak hanya sekedar merepresentasikan Milenial yang sangat vokal dalam mengekspresikan diri tapi juga tuntutan work-life balance yang lebih manusiawi. Tempat kerja mulai dilihat tak lagi sebagai tempat mencari uang saja, namun juga panggon menghabiskan sebagian waktu “hidup” para pekerja. Oleh karena itu, mayoritas kantor yang memberikan fleksibilitas busana pada pekerjanya bahkan juga menyediakan unsur-unsur lain dari kehidupan seperti hiburan games hingga makan siang gratis.
Dan usut punya usut, kebangkitan tren busana kantoran kasual ala Milenial ini pun juga diprakarsai oleh fenomena “red sneakers effect” yang santer terjadi di tahun 1990an. Fenomena ini lahir di Silicon Valley di mana para pekerja di perusahaan-perusahaan tech sukses justru berpakaian santai dan tak formal. Tren ini juga semakin populer berkat Steve Jobs di tahun 2000an yang ikonik dengan tampilan pakaian Turtleneck kasualnya. Dengan begini, era milenial menjadi era jungkir balik persepsi bahwa yang sukses harus selalu yang berpenampilan formal dan membosankan, yang mana juga ditentang habis-habisan pada budaya busana kantoran masa kini.