Wacana pendidikan memang tak terpisahkan dalam tatanan masyarakat kita, pasalnya pendidikan merupakan sebuah ladang yang subur bagi tumbuh besarnya suatu bibit komponen-komponen masyarakat. Namun tahun demi tahun ladang yang subur tampak seolah menjadi tanah yang tandus, sebagian masyarakat mau tidak mau harus membeli pupuk dan disel untuk menyedot air, sementara sebagian masyarakat yang tak mampu membeli pupuk, hanya menyiraminya dengan air yang sudah beriak. Meski demikian masih ada juga yang mengeluh akibat bibit yang telah berusia tua hanya menjadi besar namun tak berbuah.
Pendidikan tidak bisa terlepaskan di dalam tatanan masyarakat sosial, pendidikan adalah bagian dari struktur kehidupan masyarakat, melalui proses pendidikan, para anak didik diikat oleh aturan konvensional, sehingga tidak heran pendidikan selau bersanding dengan kebudayaan, kearifan, dan corak berfikir.
Sudah bukan hal yang mengherankan jika wacana pendidikan menjadi suatu perdebatan sebagian para akademisi, komunitas, maupun organisasi dalam mewacanakan pembaharuan sistem yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dari maraknya berbagai seminar, artikel, bahkan aksi masyarakat seperti demo, propaganda media, maupun penciptaan sistem pendidikan alternatif. Fenomena-fenomena ini terjadi karena harapan masyarakat untuk menanggulangi kepincangan dalam dunia pendidikan.
Sebagian orang menganggap pendidikan merupakan suatu upaya untuk menciptakan manusia paripurna, atau setidaknya menjadi warga negara yang bertanggung jawab dalam upaya dalam pembentukan manusia yang berakhlak serta beradab. Sementara itu sebagian orang menganggap pendidikan sebagai suatu upaya meningkatkan nilai kesejahteraan secara ekonomis dengan mempersiapkan tenaga kerja yang terampil dan produktif.
Ada pula yang melihat pendidikan sebagai pengemban manusia mandiri, merdeka, dan kritis. Di sisi lain ada sebagian masyarakat yang memandang pendidikan sebagai upaya penyadaran atas ketimpangan di dalam masyarakat terutama untuk merombak kelas kelas artifisial yang dikontruksikan oleh penguasa. Adanya berbagai macam perbedaan wacana pendidikan, tentunya tidak terlepas dari definisi dan tujuan pendidikan dan konsep manusia.
Secara garis besar kita coba sederhanakan berbagai wacana pendidikan tersebut dalam tiga varian ialah, nasionalisme, humanisme, dan neo-liberalisme. Dalam tulisan ini akan direfleksikan beberapa wacana pendidikan dari beberapa ideologi yang berkaitan dalam persoalan sebelumnya.
Secara Kenegaraan
Meminjam istilah Thomas HoBbes, “Homo homini lupus”, dimaksudkan bahwa manusia merupakan serigala bagi sesamanya. Secara sederhana Hobbes ingin mengatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah buruk dan jahat. Karenanya diperlukan suatu tatanan yang mengikat, ialah dengan terbentuknya sebuah kedaulatan berupa kontrak atau perjanjian sosial, sehingga manusia menyerahkan hak-hak serta kebebasannya pada sang penguasa atau negara, yang dalam istilah Hobbes disebut Leviatan.
Dari wacana yang dihadirkan Hobbes, negara merupakan kontrol sosial. Negara mempunyai hak menentukan suatu kebijakan, misalnya untuk menciptakan tatanan sosial yang baik atas kepentingan umum, sekalipun harus membatasi ruang kebebasan individu. Atas dasar itulah negara menetapkan suatu hukum yang mewajibkan setiap individu menaatinya, dan memberikan panoptic (meminjam istilah Michel Foucault) berupa ancaman dan hukuman.
Dalam versi lain, negara terbentuk atas dasar persamaan nasib dan cita-cita, hingga negara bersifat melindungi dan memfasilitasi masyarakat. Oleh sebab itu warga negara mempunyai kewajiban untuk menjadi warga negara yang baik dengan mempertahankan eksistensi negaranya, dan menaati hukum atas kepentingan bersama sebagai suatu kesepakatan di dalam hidup bersosial.
Lantas apa kaitannya dengan pendidikan? Pendidikan berperan dalam sentral perkembangan masyarakat. Melalui pendidikan masyarakat diajarkan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan sebagai warga negara yang baik. Pendidikan mengajarkan suatu perdamaian, kebaikan, dan kemuliaan manusia guna terciptanya akhlak dan budi. Meminjam istilah Foucault “power is knowlege”, kekuasaan menciptakan pengetahuan dan tidaklah salah jika suatu penguasa menciptakan pengetahuan. Hal demikian terjadi karena pengetahuan menentukan kesadaran dan kesadaran menentukan perilaku.
Kemanusiaan yang otentik
Menurut Paulo Freire dalam buku Pendidikan yang Membebaskan, manusia yang sempurna adalah manusia yang hadir sebagai subjek dari realitas. Dengan kesadarannya manusia dapat mengamati, memaknai, mempunyai penilaian, menebak masa esok, dan mempunyai harapan. Namun pada masa-masa itu manusia juga harus berinteraksi dengan realitas dalam menghadapi tantangan, serta berusaha untuk mempercepat harapan dari setiap individu. Dengan demikian mareka membebaskkan diri dari hari ini untuk hari esok.
Dalam versi lain menurut Eric Fromm yang dikutip oleh H.A.R Tilaar dalam buku Kebijakan Pendidikan, manusia menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya bertindak dan berpikir menurut apa yang mereka anggap cocok. Ia akan bertindak dengan bebas jika ia tahu tentang apa yang diinginkan, dipikirkan, dan dirasakan. Ketidaktahuannya membuat ia dapat menyesuaikan diri dengan yang kuasa.
Semakin ia bertindak demikian, semakin ia tidak berdaya bagai seorang lumpuh yang hanya mampu menatap malapetaka sebagai suatu yang tak terhindarkan.
Dari dua versi tersebut dimungkinkan bahwa pada dasarnya manusia adalah mahluk potensial. Dari berbagai macam realitas yang dihadapi ia menjadi. Setiap orang berbeda dengan sesamanya, karena ia diwarisi oleh pengalaman-pengalaman dari kompleksitas relitas yang dihadapi dan kemudian ia mengunakan kemampuan itu untuk menghadapi realitas baru yang tak terduga.
Pendidikan selayaknya hadir untuk membangkitkan potensi-potensi manusia. Ibarat tanah subur yang membesarkan berbagai macam bibit tanaman, pendidikan harus mengajarkan suatu nilai yang hadap masalah sebagai bekal manusia dalam menghadapi kompleksifitas realitasnya.
Meminjam istilah Francis Bacon “Knowlege is power”, pengetahuan menciptakan kuasa. Dari istilah itu menurut saya dengan pengetahuan manusia bukan hanya menguasai lingkungan tetap juga dirinya sendiri. Dengan demikian manusia yang dibatasi pengetahuan atau tidak memperoleh pendidikan berarti dibatasi akan kesadaran dirinya hingga ia akan dikuasai oleh orang lain.
Secara Neo-Liibebralis
Menurut H.A.R Tillar dalam buku Kebijakan Pendidikan, abad XXI adalah abad perkembangan industri yang ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuaan dan teknologi. Kemajuan industri telah melahirkan budaya baru ialah budaya komersialisme yang memicu lahirnya gaya hidup (life style) konsumeristik. Dunia yang telah dikuasai oleh pasar bebas menjadikan etika persaingan sebagai Tuhan baru guna memacu hasil-hasil produksi yang semakin berkualitas dan terjangkau oleh rakyat.
Dengan demikian perubahan budaya global yang komersialistis kian merambah dunia pendidikan. Pendidikan mau tidak mau memberikan respon tuntutan industri hingga perlu memproduksi pekerja-pekerja terampil. Akibatnya proses pendidikan berubah menjadi proses pelatihan untuk menghasilkan pekerja-pekerja yang diminta oleh industri.
Dalam wacana ini pekerjaan bukanlah tujuan akhir dari kehidupan manusia tetapi sebagai sarana perwujudan kemanusiaan seseorang. Masing-masing orang dikaruniai oleh talenta dan dengan talenta itu manusia dapat mewujudkan kemanusiannya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk sesamanya.
Menurutnya manusia yang merdeka adalah manusia yang mengembangkan keberadaannya melalui pekerjaan yang dimiliki. Karenanya ia dapat sepenuhnya menjadikan dirinya sebagai penyempurna kehidupan pribadi dan juga sebagai anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab.
Proses pendidikan yang hanya menghasilkan pengangguran dengan demikian hanya menghasilkan anak didik yang tidak dapat bermanfat bagi masyarakat maupun perkembangan dunia modern.
Pendidikan yang mengajarkan talenta manusia, bukan berarti melahirkan robot-robot sebagai suatu bagian dalam mesin raksasa industri, tapi sebagai manusia yang bertalenta untuk membantu mengembangkan suatu tatanan kehidupan yg bermanfaat dalam masyarakat.
Dari beberapa perspektif tersebut, dapat setidak-tidaknya kita tarik suatu konklusi bahwa secara umum pendidikan merupakan suatu transmisi pengetahuan, dimana manusia ditempa menjadi individu yang lebih baik dan sejahtera. Manusia terdidik diharapkan dapat mempertahankan suatu tatanan masyarakat karena melalui pendidikan terdapat kesepakatan-kesepakatan norma dan sistem sosial yang diturun. Perbedaan di antara ketiganya hanyalah mengenai term pendidikan, dan term manusia itu sendiri. Di satu sisi tujuan pendidikan diukur oleh tingkat ekonomis dan kepatuhan, namun di sisi lain tujuan pendidikan diukur oleh tingkat individu yang merdeka, manusia yang multikultural, serta individu yang kreatif dan kritis.
Semua tulisan tersebut hanyalah sebuah gambaran kecil yang saya coba sederhanakan mengenai berbagai macam wacana pendidikan. Perlu kiranya kita tetap terus melakukan refleksi dan dengan cara yang terbuka melakukan dialog secara lebih mendalam untuk kemajuan dunia pendidikan. Kemajuan suatu peradaban tidak akan terelepas dari kemajuan sumber daya manusianya, sedangkan kemajuan sumber daya manusia juga tidak terlepas dari kemajuan pendidikannya.
Terlepas dari itu semua, berbagai macam wacana akan menciptakan suatu tatanan sosial yang lebih baik. Pendidikan bukan hanya permasalahan menghafal suatu pelajaran dan mengejar nilai semata, tetapi juga dengan penuh semangat menghidupkan suatu tatanan akademik yang terbuka dan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai suatu hikmah yang dapat kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.