Tradisi filsafat yang paling kuno mengenal istilah metafisika sebagai kajian yang bertujuan untuk memahami realitas. Salah satu pembahasan metafisika adalah mengenai inti dari realitas. Pembahasan semacam ini secara tidak langsung mengandaikan bahwa ada suatu entitas dasar di balik dunia fenomena atau dapat dikatakan ada suatu entitas yang mengatasi segala kebaragaman di dunia fenomena. Entitas ini diidentifikasi secara beragam, misalnya Ada (Being), substansi, esensi atau dalam agama biasa disebut Tuhan.
Dalam konteks agama, ilmu yang digunakan untuk memahami entitas inti atau Tuhan disebut teologi. Teologi bisa dikatakan sebagai metafisika ketuhanan atau metafisika dalam bentuk yang lain. Karena antara metafisika dan teologi memiliki hal yang terkait satu sama lain. Keterkaitan tersebut terletak pada objek materialnya atau apa yang dikaji dalam ilmu tersebut. Antara teologi dan metafisika sama-sama mengkaji dan berupaya merengkuh Yang Absolut. Hanya saja pada teologi Yang Absolut ini dimaknai sebagai Tuhan, sedangkan pada metafisika dimakanai sebagai Ada.
Pembahasan Tuhan dalam kaitannya dengan metafisika akan memunculkan logosentrisme, atau terpusatnya keseluruhan wacana pada satu logos. Terpusatnya wacana ini akan meniscayakan satu kebenaran yang diterima begitu saja tanpa dipertanyakan. Pada tahap yang lebih ekstrem logosentrisme bisa memunculkan sikap monopoli kebenaran alias hanya kebenaran miliknya lah yang benar sedangkan yang lain salah dan patut disingkirkan.
Selain itu teologi juga memiliki tendensi ke arah metafisika kehadiran atau anggapan bahwa suatu konsep dianggap telah merenggkuh realitas, dalam konteks teologi berarti bahwa konsep tertentu dalam teologi dianggap telah merengkuh Tuhan yang merupakan objek kajian teologi. Seperti halnya Derrida yang memulai proyek kritiknya pada filsafat barat dengan meruntuhkan metafisika kehadiran dan logosentrisme, maka akan ditemukan hal serupa pada proyek Ibn Arabi yang mengkritik cara berteologi pada umumya. Teologi yang juga cenderung ke arah logosentrisme dan metafisika kehadiran.
Namun perlu diingatkan sekali lagi, menyinggung kesesuaian antara Derida dan Ibn Arabi adalah dalam hal metode bukan dalam kepentingan mengislamkan pemikiran Derrida atau pun sebaliknya
Penjelasan Singkat Dekonstruksi
Filsafat barat selalu terobsesi dengan kebenaran ataupun pemaknaan tunggal. Sebuah kebenaran objektif yang merengkuh berbagai perbedaan ke dalam satu sistem. Satu sistem ini ialah yang dianggap rigor, tanpa ambigu, serta tanpa kontradiksi. Untuk meruntuhkan klaim tersebut Derrida mengemukakan upaya yang tentu sudah dikenal dalam dunia filsafat, ialah dekonstruksi.
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa dalam setiap klaim kebenaran dan pemaknaan yang diungkapkan filsafat tidak akan lepas dari adanya konseptualisasi realitas. Kemudian, dalam setiap konseptualisasi tidak akan lepas dari kungkungan bahasa. Dengan demikian mengungkapan klaim kebenaran dan pemaknaan perlu dan pasti menggunakan bahasa. Masalahnya adalah, filsafat menganggap bahwa pengungakapan kebenaran dengan bahasa sebagai media ini dianggap telah mewakili realitas sebagaiman adanya, dan akhirnya melupakan sifat dari bahasa itu sendiri.
Berangkat dari pemaparan di atas tentang kaitan antara klaim kebenaran dan bahasa, maka dari situlah dekontruksi akan dimulai. Meski pun Derrida enggan mendefinisikan dekonstruksi, namun kiranya dekonstruksi dapat dipahami sebagai strategi atau upaya dalam mendekati teks yang memiliki tujuan mengurai pengandaian-pengandaian metafisis, melepaskan suatu fondasi, dominasi ataupun prinsip. Upaya tersebut salah satunya bisa dilakukan dengan mengembalikan bahasa pada sifatnya yang semula ialah ambigu, equivok, polisemi, dan memiliki relasi struktur penandaan yang tidak tetap
Dengan pengembalian bahasa pada sifatnya yang semula, akan dimungkinkan sebuah upaya pemahaman yang tak terbatas, penafisran tanpa henti, dan pemaknaan yang mungkin akan terdengar tidak familiar. Karena makna bergerak menyebar ke segala arah tanpa adanya pengontrol.
Antara Ibn ‘Arabi dan Derrida
Meski secara kondisi sosio-historis berbeda, upaya yang dilakukan Derrida ternyata bisa ditemukan juga dalam tokoh lain ialah Ibn ‘Arabi. Titik berangkat mengapa Ibn ‘Arabi melakukan semacam “dekonstruksi” adalah karena para teolog Islam zaman itu menyusun berbagai konsep ataupun kategori-kategori pengetahuan untuk membahas Tuhan. Singkatnya, Tuhan sudah diandaikan dalam ranah positivitas.
Jika Derrida menggunakan istilah dekonstruksi sebagai upaya mengkritik sistem filsafat barat, dalam Ibn ‘Arabi dikenal isilah teologi negatif sebagai upaya untuk mendekonstruksi sistem teologi Islam. Teologi negatif pertama-tama bekerja menggunakan logika negasi, yang artinya kategori-kategori apa pun yang disandarkan kepada Tuhan akan selalu dinegasikan. Ini berlawan dengan teolog pada umumnya yang menarik Tuhan dalam ranah positif sebagai upaya untuk menjelaskan Tuhan. Dalam logika negasi Tuhan dianggap tidak akan terpahami, tidak terjangkau kategori apa pun, dan seandainya Tuhan dikonsepkan maka pastilah konsep itu tidak merujuk kepada Tuhan. Dalam hal ini cara kerja logika negasi telah nenggoyahkan asumsi awal bahwa Tuhan dapat dinyatakan secara positif.
Selain beroperasi menggunakan logika negasi, konsep teologi Ibn ‘Arabi juga menerima cara kerja logika paradoks. Namun sebelum melangkah kesana akan dipaparkan lebih dahulu mengenai dua wilayah ketuhanan dalam pandangan Ibn ‘Arabi. Wilayah pertama disebut ahadiyyah, dalam wilayah ini Tuhan mutlak dalam kesendirian-Nya, mutlak dalam hal tak terpahaminya, suatu keadaan negativitas total, tak ada bahasa, tak ada simbolisasi, dan kategori apa pun tak akan sampai pada wilayah ini.
Wilayah kedua adalah wahidiyyah, pada tahap ini Tuhan mulai mendefinitifkan diri-Nya melalui asma atau nama-nama-Nya, seperti Maha Penyayang, Maha Mendengar, Maha Melihat dan lain sebagainya. Pada tahap ini juga lah Tuhan melakukan manifestasi atau penyingkapan pada wilayah fenomena agar bisa dikenali oleh makhluk-Nya, agar tidak dalam keadaan negativitas murni. Dengan memungkinkannya Tuhan untuk dikenali dalam momen-momen penyingkapan, akankah teologi negatif jadi kembali ke bentuk teologi positif pada umumnya?
Di sinilah letak paradoks yang akan ditunjukan, meski pada dunia fenomena ada kemungkinkan untuk melakukan positivitas terhadap Tuhan, namun dalam setiap upaya positivitas inheren di dalamnya ada negativitas. Dengan kata lain postivitas dan negativitas sebagai dua sisi yang bertolak belakang, beroperasi bersamaan untuk memahami Tuhan. Kita ambil contoh: sifat Tuhan yang Maha Mendengar, Maha Penyayang menunjukan Tuhan dalam arti yang positif atau yang bisa dinyatakan. Namun harus kembali diingat bahwa dalam setiap positivitas terkandung negativitas di dalamnya. Maka, Tuhan memiliki sifat Maha Mendengar, Maha Penyayang (menunjukan positivitas) namun sifat-sifat Tuhan yang disebutkan tadi bukanlah dan tidak mungkin sesuai apa yang kita pahami atau bayangkan (menunjukan negativitas).
Bentuk paradoks di atas bisa dirangkum dalam ungkapan huwa la huwa (Dia sekaligus bukan Dia). ‘Dia’ yang merujuk pada Tuhan sebagai dzat yang tak terpahami, kesendirian absolut, dan negativitas total. ‘bukan Dia’ yang berhubungan dengan sifat Tuhan yang dipahami sekaligus tidak terpahami (wilayah wahidiyyah).
Momen Refleksi
Cara kerja teologi negatif dalam menggoyahkan cara berteolog pada umumnya pada tahap tertentu menemukan kesesuaian dengan upaya dekontruksi Derrida. Khususnya dalam hal menggoyahkan asumsi metafisik dan membuat bahasa dalam kondisi yang paradoks. Selama ini filsafat selalu ‘mengurung’ bahasa dalam sifatnya yang univok, non ambigu, menekan aspek figuratif dan menghindari paradoks. Sedangkan dalam pemikiran dekonstruksi Derrida dan teologi negatif, alih-alih menekan bahasa agar tidak ambigu, Derrida dan Ibn ‘Arabi malah terang-terangan menunjukan bahasa dalam kondisinya yang tidak pasti, ambigu.
Tidak berhenti pada bahasa, logika formal yang biasa menggunakan prinsip identitas dan non kontradiksi dalam teologi pada umumnya, oleh teologi negatif dipermainkan dengan cara kerjanya yang bersifat paradoksal. Cara kerja yang bersifat paradoks dan negasi menunjukan bahwa Tuhan tidak bisa semena-mena begitu saja dimasukan ke dalam kategori-kategori positif.
Puncak dari teologi negatif pada intinya adalah diam dan tidak berkata apa-apa tentang Tuhan. Justru ketika teologi negatif dikonseptualkan, akan terjadi contradictio in terminis. Konseptualisasi di sini sebatas tujuan akademis dan menyebarkan pemahaman. Teologi negatif mengajarkan semacam kerendah hatian dan kehati-hatian dalam membahasakan Tuhan. Lebih jauh menjadi landasan untuk mengikis sikap merasa bahwa doktrin ketuhanannya lah yang paling benar. Menempatkan Tuhan dalam konteks yang lebih luas, sebagai yang tak terpahami, yang misterius, yang tak tersimbolkan. Menjadi semacam upaya alternatif di tengah-tengah kesombongan klaim kebenaran.