Kita mungkin sering atau tidak asing ketika mendengar sosok manusia sempurna (insan kamil). Manusia sempurna selalu menjadi obsesi setiap manusia dan model patron yang diidam-idamkan dan diidolakan. Namun apa dan bagaimana sebenarnya sosok manusia sempurna itu?
Ragam pandangan tentang Manusia Sempurna
Paparan dalam tulisan ini merupakan rangkuman refleksi singkat saja yang mungkin jauh dari kata ilmiah. Ada beragam pandangan terhadap apa yang disebut sebagai manusia sempurna. Pertama, dari kaum aqliyyah, yang melihat keutamaan manusia terletak pada akalnya. Akal yang dimaksud di sini adalah kekuatan berpikir dan bernalar (logika). Apabila manusia telah sampai pada puncak pengetahuan yang tertinggi yaitu ketika mengetahui hakikat eksistensi secara menyeluruh (universal) bukan hanya pada tataran partikularnya saja maka ia layak disebut sebagai manusia sempurna seperti halnya filsuf.
Kedua, dari paham isyq (cinta). Paham isyq ini melihat bahwa kesempurnaan manusia terletak pada cintanya (hati) kepada Tuhan. Kaum isyq melihat bahwa akal saja tidak cukup untuk membawa manusia pada kesempurnaan. Akal dianggapnya tak ubahnya seperti mata, yang hanya berperan sebagai instrumen. Namun, nilai dan esensi manusia terletak pada ruh (cinta) yang titik pangkalnya pada hati sebagai pusat rasa dan karsa manusia.
Ketiga, paham lain yang juga menyumbangkan pandangan terhadap apa yang disebut sebagai manusia sempurna ialah paham qudrat (kekuasaan). Paham qudrat tidak melihat kesempurnaan manusia pada akal maupun isyq (cinta), akan tetapi bersandar pada kekuasaan. Manusia sempurna menurut paham ini adalah manusia yang berkuasa yang juga berarti berkekuatan.
Keempat, pandangan selanjutnya adalah lawan dari paham yang disebutkan sebelumnya. Menurut paham ini, manusia sempurna adalah manusia yang berkelemahan dalam artian letak kesempurnaan manusia pada kelemahannya. Karena apabila seseorang memiliki kekuatan dan kekuasaan, ia akan terdorong untuk berbuat hal-hal yang melampaui batas dan merugikan orang lain demi kepentingan pribadinya. Maka dari itu, pandangan manusia sempurna merupakan manusia yang berkekuatan yang tentu berseberangan dengan nilai kemanusiaan.
Selain dari ke empat aliran yang telah dibahas, terdapat dua aliran lain diantaranya adalah yang menganggap bahwa manusia sempurna ialah manusia tanpa kasta. Manusia tanpa kasta disini berarti selalu hidup dengan sesamanya pada satu tingkatan yang sama. Kemudian selanjutnya adalah paham yang dikenal dengan eksistensialisme yang bersandar pada kebebasan, kesadaran, dan tanggung jawab sosial. Insan kamilmenurut paham tersebut adalah manusia bebas, sadar, dan bertanggung jawab. Dua aliran yang terakhir ini merupakan aliran yang memiliki kecenderungan pada pendekatan sosial ketimbang individual.
Dimensi Manusia
Dalam pembahasan tentang insan kamil, sebelum mengurai pokok permasalahan terlebih dahulu kita perlu melihat dua macam sisi manusia, yakni cacat dan sempurna. Hal ini sangat penting untuk memperjelas arah pembahasan kita, mengingat pada kesempatan ini kita tidak banyak membahas kesempurnaan dan kecacatan manusia dari sisi fisik. Namun hal yang akan kita lebih banyak bahas berkaitan dengan kesempurnaan dan kecacatan dari sisi jiwa dan mental manusia.
Sempurna dan cacatnya manusia terkadang hanya dilihat dari sisi fisik dan badannya. Misalnya, cacat, tuli, bisu, pincang, lumpuh dan sebagainya. Namun pernahkah kita melihat kecacatan manusia dari sisi keutamaan, kemuliaan dan keinsanan? Seperti contoh: seorang yang mempunyai kedudukan akhlak tinggi dan mulia. Dengan ketinggian dan kemuliaan akhlaknya yang mungkin suka menolong, mengasihi, menyayangi yang lain, dan tidak mengintimidasi atau mengeksploitasi. Sekalipun ia memiliki kecacatan fisik orang akan memberikan penghargaan dan keutamaan kepadanya tanpa menganggap kecacatan fisiknya sebagai ketidaksempurnaan atau kekurangan lagi.
Contoh lain yaitu ketika seorang yang mempunyai rupa yang buruk namun disisi lain dia memiliki kelebihan dalam bidang ilmu pengetahuan atau memiliki kemuliaan akhlak dengan sesamanya. Dengan kemuliaan akhlak dan ilmu pengetahuan yang dia miliki tentu kita memandangnya bahwa keburukan rupanya tidak menjadi aib atau kekurangan bagi sosoknya. Berdasarkan contoh tersebut dapat dilihat bahwa manusia memiliki dua sisi nilai dalam dirinya, yakni pribadi dan kepribadian, badan dan ruh, fisik dan mental, dimana nilai yang satu berbeda dengan yang lainya.
Diskursus tentang Manusia Sempurna perspektif Murtadha Muthahhari
Setelah melihat cuplikan beberapa pandangan mengenai manusia sempurna kini tiba saatnya kita melihat sudut pandang filsafat islam terkhusus Murtadha Muthahhari mengenai manusia sempurna.
Menurut Murtadha Muthahhari, kamal atau kesempurnaan manusia pada kestabilan dan keseimbangan nilai-nilainya. Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah; seiring dengan perkembangan potensi insaninya (potensi kemanusian), juga tercipta keseimbangan dalam perkembangannya. Sebagai contoh, seorang anak sehat yang sedang mengalami perkembangan, semua anggota tubuhnya seperti kepala, tangan, kaki, telinga, hidung, dan lainnya berkembang secara seimbang. Bisa dibayangkan misalnya, hanya hidungnya saja yang berkembang sedangkan bagian lain tidak berkembang, tentu itu dianggap sebagai suatu hal yang tidak normal apabila dikaitkan dengan dimensi pertumbuhan fisik manusia. Begitupun halnya dengan sisi kemanusiaan manusia. Manusia selayaknya tidak hanya menyempurnakan sisi kemanusiaanya pada tataran materil, cinta, kekuatan, kekuasaan, dan kelemahannya seperti yang disebutkan di atas atau hanya nilai tertentu dari yang telah disebutkan di atas saja. Namun kesempurnaan manusia harus terjadi secara beriringan dalam seluruh dimensi kemanusiaan manusia tersebut.
Manusia dengan segala kemampuan yang ada pada dirinya dapat dianggap sempurna, apabila tidak hanya cenderung pada satu nilai dari sekian banyak nilai yang ia miliki. Ia dapat dianggap sempurna apabila mampu menyeimbangkan dan menstabilkan nilai insaninya.
Berbeda halnya dengan pandangan-pandangan yang telah kita lihat pada cuplikan singkat sebelumnya yang hanya melihat kesempurnaan manusia pada satu sisi atau hanya pada suatu nilai tertentu saja. Dengan demikian, insan kamil adalah manusia yang nilai insaninya berkembang secara seimbang dalam artian pengukuhan suatu nilai kemanusiaan manusia tidak hanya berpaku pada suatu nilai tertentu kemudian mengesampingkan nilai yang lainnya, namun aktualisasi dari nilai insaninya berjalan beriringan/seimbang dengan nilai yang lainnya.
Referensi
Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, Penerbit SADRA PRESS.
satu Respon
Inspiratif