Galileo dan Milton karya Solomon Alexander Hart

Estetika dalam bidang seni rupa mengalami perkembangan melalui kritik yang selalu berubah menyesuaikan konteks zamannya. Hal ini terjadi pula pada pandangan estetika seni rupa realis (realisme seni rupa). Realisme seni rupa dikenal sebagai suatu pandangan yang melihat seni dari kesesuaian antara karya dengan objek karya. Tidak hanya itu, perdebatan mengenai siapa subjek, apakah sang seniman ataukah objek karya, muncul dalam aliran ini. Aliran ini dikenal sejak abad 17 di Eropa, di mana konsep camera obscura1 menjadi ciri khas utamanya. Seorang seniman dikatakan sebagai seorang realis jika memiliki kemampuan untuk memindahkan pemahaman realistik ke dalam sebuah struktur, gambar, atau lukisan. Suatu karya yang berada pada definisi ini akan disebut sebagai karya seni rupa realis. Dahulu, realisme dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang ketat dan disiplin, hingga penilaian atas realisme oleh masyarakat umum kerap bergantung bukan pada proses pembuatan karya, melainkan apakah karya tersebut punya kemiripan dengan realitas atau tidak. Tulisan ini akan mencoba untuk mengeksplorasi estetika seni rupa realis, terkhusus pada konsep “kehadiran kembali” dari sebuah entitas.

Pengaruh realisme yang kuat hingga penjuru dunia membuatnya mendapatkan tudingan sebagai suatu budaya “Barat” yang menghilangkan kekhasan pemaknaan dari berbagai masyarakat adat dan tradisional. Bahkan, terdapat tudingan lain yang diarahkan pada aliran ini seperti anggapan bahwa realisme seni rupa cenderung bercorak “plastis”, atau bersifat artifisial; meniru secara berlebih; tidak natural dari sudut pandang kemampuan otentik manusia; tidak bebas; sangat ketat; dan lain sebagainya. Hal ini juga berpengaruh dalam perdebatan kebudayaan seni rupa pra peristiwa G30S tentang pembelaan terhadap seni untuk seni dan seni untuk rakyat, di mana seni untuk rakyat memiliki poros utama realisme materialis, yakni dengan maksud bahwa kesenian harus hadir bagi masyarakat dan mendatangkan pencerahan, terutama mengenai keadaan sesungguhnya (realitas) dari masyarakat. Sementara itu, argumen seni untuk seni beranggapan bahwa seni terlebih harus membela hakikat dari seni itu sendiri, ialah pembebasan manusia—sebuah konsep pengertian seni modern yang berporos pada utilitarianisme subjektif.

Realisme yang hadir dalam seni rupa lukis pada gilirannya tergantikan oleh teknologi optik (seperti kamera), sehingga membuat popularitasnya sempat menurun. Digital art dan fotografi yang mampu menyamai kemampuan camera obscura tidak lalu dapat menggantikan realisme sebab kehadiran kemampuan bahasa dalam suatu karya—Supangkat menyebutnya sebagai commonaly2. Sifat ini ditandai dengan kemampuan suatu karya untuk dibaca oleh pengamat karya. Namun, realisme selalu menemukan jalan. Sebab, ia merupakan bagian dari keahlian (arche) manusia yang melibatkan aktivitas akal budi. Oleh karenanya, realisme demikian berkembang hingga tercipta konsep-konsep baru seperti realisme sosialis, realisme romantisisme, dan realisme formal. Realisme, yang pada mulanya lahir dari kemampuan manusia untuk meniru alam secara presisi, berkembang menjadi alat manusia untuk mengetahui kebenaran, sebagaimana dilakukan oleh matematikawan dan ahli geometri. Mengapa realisme dapat demikian berkembangnya? Apa hubungan realisme dan pencarian kebenaran manusia?

Bahasa rupa-realistik

Jim Supangkat dalam Chusin’s Realistic Painting: A Thesis (2011) menyatakan bahwa realisme dalam seni rupa telah berkembang menjadi rupa-realistik, yaitu sebuah bangunan tanda yang bertugas untuk mengkomunikasikan pesan dalam bentuk seni rupa realis. Hal ini dibuktikan dengan munculnya pelukis seperti Harley Brown di Amerika Serikat, Chusin Setiadikara di Indonesia, dan berbagai pelukis realis lainnya yang melukiskan sebuah pesan melalui karyanya. Pesan ini dapat menjadi demikian progresif hingga yang sampai pada yang paling subtil, pesan yang dapat ditujukan pada masyarakat atau pada diri seorang “pembaca” tanda dalam lukisan.

Pada kritisisme pembacaan teks, gambaran realistik akan dilihat sebagai upaya menampilkan tanda sebatas apakah karya tersebut dapat menampilan tanda atau tidak. Namun plastisisme realis, pada titik ini, dapat membantu para pembaca tanda, di mana gejala ini terjadi sama halnya dengan karya sastra, ialah sifat yang artifisial namun sekaligus membangkitkan kesenangan dan keterikatan antara karya dan manusia yang mengamatinya. Seni rupa tidak pernah terlepas dari semiotisme sejauh ia dapat mewujudkan tanda pada pengamatnya, gejala ini pula yang mengikat bahasa rupa-realistik dalam sebuah karya realis. Representasi sebuah gambar yang tertanam dalam lukisan realis adalah ia yang hadir berikutnya setelah bangunan real yang pertama. Usaha pertama dengan kata lain merupakan kegiatan manusia dengan akal budinya untuk membawa kembali realitas dalam media yang berbeda, dengan tujuan mencari pemahaman atas realitas tersebut. Usaha ini merupakan sebuah usaha episteme di mana manusia mempercayai realitas sebagai sumber pengetahuan dan dengan demikian memprosesnya dalam rupa-realis. Usaha ini tidak hanya dilakukan oleh para ilmuwan saintifik melainkan juga aktivis sosial yang berusaha mendatangkan realitas sebagaimana ia sedia kala dalam rupa yang identik. Hal ini dilakukan baik oleh Giordano Bruno hingga Sudjojono.

Sementara itu, usaha yang kedua merupakan usaha membawa kembali, dan tidak dengan usaha untuk menerjemahkan secara menyeluruh namun dengan hati-hati menata ulang bangunan realitas tersebut dalam media yang berbeda. Hal ini merupakan proses yang sedang terjadi saat seorang seniman sedang berusaha memproduksi sebuah karya seni rupa realis. Ketepatan membaca, kemampuan rendering3, kemampuan untuk menaati apa yang diketahui dan menahan gejolak personalitas untuk berekspresi sebanyak mungkin diperlukan oleh seorang seniman realis.

Melalui karyanya, seorang seniman kemudian tidak hanya membawakan kembali sebuah realitas. Karena karya tersebut merupakan bangunan “kedua”, maka akan terdapat sedikit banyak perbedaan yang membuatnya unik dan mandiri dari bangunan realitas pada mulanya. Karya tersebut menjadi sebuah realitas baru yang nantinya dapat direpresentasikan ulang. Hal ini terjadi dalam contoh kumpulan puisi Sindhunata yang berjudul Air Kata-Kata dan Air Mata Kejujuran yang mengupayakan representasi berbagai karya seni rupa surrealis dalam bentuk puisi.

Selanjutnya, dari kelahiran entitas baru dan usaha untuk menghadirkan realitas yang ada sebelumnya, serta dengan usaha ketat untuk tidak terlalu jauh keluar dari pesan yang dibawakan realitas kedua mengenai realitas pertama, maka lahirlah keyakinan bahwa realisme merupakan sebuah usaha pencarian kebenaran. Keyakinan ini yang kemudian mengokohkan realisme sebagai sebuah sikap dan pandangan ideologis. Namun pada beberapa kondisi bagi banyak pelukis realis, tidak selalu ideologi realisme ini yang berlaku. Selain penerimaan pada paradigma barat klasik yang menyatakan bahwa lukisan ialah apa yang menyerupai, terkadang seniman realis juga melakukannya demi kegiatan heretik – sebuah proses yang sengaja dilakukan untuk mengendalikan diri – sebagaimana yang dilakukan Ir. Soekarno saat belajar melukis dan berkarya pada Dullah.

Bahasa seni lukis realis dapat dibagi menjadi dua: bahasa literat atau yang menyalin kenyataan, dan bahasa ungkapan dari realitas. Bahasa yang kedua ini memiliki unsur plastisitas yang sangat besar. Pada bahasa realisme literat, representasi yang bersifat lugas, deskriptif, sistematis, hingga pada umumnya tujuan bahasa literat ini ialah menjadi alat pencarian kebenaran. Pengemukaan realisme literat merupakan usaha manusia untuk mencapai kebenaran akal budi, sejauh ia dapat mengenali sumber kebenaran, dan berusaha untuk menunjukkan kembali. Realisme literat tidak banyak berkembang karena usaha ini dilakukan berdasar kemampuan manusia untuk mereproduksi pengetahun. Menurut Bambang Sugiharto, pencarian kebenaran seperti ini tidak akan berkembang karena terdapat sebuah kesulitan tersendiri terutama dalam membuktikan kebenaran realitas kompleks tersebut. Keterbatasan manusia tetap menjadi penghalang, bukan saja dalam proses representasinya melainkan juga dalam pengembangannya.

Di sisi lain, terdapat bahasa metaforis yang hadir atas pembawaan kembali bangunan realitas, tanpa berusaha untuk menawarkan kebenaran absolut. Hal ini menjadikan kebenaran bersifat spesifik, namun sekaligus membawa realisme bahasa metaforis pada sebuah perkembangan yang terus-menerus. Pada tahap ini, realisme dapat berkembang; menuai berbagai pemahaman; dan di saat yang sama menjadi sebuah proses pembawaan realitas semata hingga ia tidak terkait dengan kebenaran yang tetap. Dengan demikian, realitas dalam suatu karya akan mendekati keluasan makna realitas yang sesungguhnya. Konsep ini merupakan buah dari posmodernisme bahasa yang juga terjadi dalam pemaknaan pengamat seni rupa. Pertanyaan yang diajukan dalam kebenaran filsafat, pada saat ini juga dilontarkan terhadap usaha pencarian kebenaran dengan mode lain yang merupakan bagian dari usaha estetis manusia.

Estetika sebagai suatu disiplin pencarian nilai keindahan, dan sebagai usaha mencari kebenaran yang absolut, tidak lagi menjadi proyek utama bagi kesenian posmodern. Namun bukan berarti hal ini menjadikan realisme segera ditinggalkan. Realisme literat berusaha keras membawa konsep memesis dari realisme disertai dengan itikad untuk mencari kebenaran. Kebenaran dan realitas, yang berusaha dibawakan ini, memiliki corak demikian sublim, sebagaimana yang dinyatakan Casius Longinus. Kesubliman, bagi Casius, merupakan sebuah nilai yang dapat ditangkap oleh manusia karena ia sublimasi melakukan suatu proses pengungkapan dirinya sendiri.

Longinus menjelaskan jalan pengejawantahan sublim melalui tiga tahap, ialah: yang pertama, keakraban pikiran (megalophrune) di mana proses ini merupakan hasil perkenalan dan terbangunnya pengetahuan atas suatu hal. Yang kedua, peniruan (mimesis) di mana proses ini merupakan usaha untuk menciptakan kenyataan sesuai dengan proses yang sebelumnya, yang menjadi kegiatan utama dalam realisme. Dan yang ketiga, imajinasi (phantasia) di mana berkembangnya citra mental yang dipengaruhi oleh situasi yang terkadang non-faktual, atau dimungkinkan tidak berhubungan dengan proses yang pertama.

Di sisi lain realisme metafora adalah semata-mata sebagai proses pembawaan realitas tanpa pencarian kebenaran apapun. Metafora mengundang pengamatan untuk keluar dari yang literat, sekalipun karya yang diamati sangat menyerupai realitas pertama. Namun ketidakhadiran tendensi kebenaran memungkinkan pembaca untuk menabrak kategori-kategori pemahaman yang sudah mapan. Sifat ini merupakan bukti otonomi karya dari tendensi seniman akan tetapi tidak meninggalkan keketatan metode hingga tidak membawa pertanyaan atau tuntutan liar sebagaimana kerap nampak dalam karya-karya abstrak. Perkembangan realisme seni rupa terdorong oleh bahasa metaforis ini.

Bagi Supangkat, pembacaan seni rupa realis dalam bahasa metafor bukan merupakan pengetahuan atas realitas melainkan sumber pengetahuan atas realitas. Hal ini dapat dimaknai bahwa metafora yang hadir dalam sebuah lukisan realis berusaha mengungkapkan pesan alih-alih memaksakan penerjemahan sebuah kebenaran. Pembacaan ini, dapat dicontohkan dalam lukisan Raden Saleh mengenai Penangkapan Pangeran Diponegoro. Saleh tidak menekankan kebenaran pada lukisan itu, proporsi badan, pemilihan rona warna, objek-objek yang dilukiskan tidak semata-mata berpesan: “Kebenaran yang sesungguhnya ialah Diponegoro ditangkap dalam perangkap.” Lukisan ini dipandang dalam bahasa metafor yang mampu membuat pembacanya berpikir mengenai makna lukisan tersebut dengan sangat leluasa, misalnya “Penangkapan Diponegoro merupakan sebuah momen sentimental”, atau “Ekspresi para penangkap mencerminkan ketakutan pada pengaruh Diponegoro”, dan masih banyak lagi.

Nilai, keindahan, pemaknaan, penerjemahan demikian banyak hadir melalui sebuah rupa-realis. Realitas kedua ini membawa lebih banyak penerjemahan dibandingkan karya subjektif murni yang pada beberapa waktu belakangan ini dibawakan oleh rupa-abstrak kontemporer. Realitas kedua mewarisi realitas awal, yakni membuka kesempatan seluas mungkin bagi manusia untuk mencari kebenaran tanpa menekankan sebuah absolutisasi. Realisme pada tahap ini melahirkan bahasa metafor, yang merupakan usaha memahami realitas melalui penciptaan dan pembacaankarya, bukan sebuah proyek ambisius untuk merumuskan kebenaran absolut.

Realisme dalam pembacaan metaforis akan menjadi karya yang tendensius, terlepas dari maksud penciptanya membuatnya demikian atau tidak. Hal ini dipengaruhi juga oleh banyaknya hasil fotografi yang demikian mekanis, yang menghujani para pelukis realis dengan serangan “kemiripan” realitas hingga usaha untuk membawakan realitas pada media yang berbeda seakan menjadi hak fotografi. Pada tahap ini, seni rupa realis dipandang sebagai karya manusia, yang lebih humanis, lebih subjektif, dan walau memiliki metode yang ketat dan tidak bebas, namun mewakili kemampuan keutamaan manusia bersama rasionalitasnya. Fotografi berusaha mengejar pemaknaan yang telah dibangun dunia seni rupa selama ini namun gagal menyaingi realisme walau keahlian fotografi ialah camera obscura.

Representasi berhubungan dengan mental language yang mengandung kemampuan untuk menganalisis berbagai arah deskripsi dan kenyataan. Mental Language inilah yang membangkitkan kemampuan pembacaan realisme metaforis, baik bagi seniman maupun pembaca karya. Mental language menurut Sugiharto merupakan kondisi mental baik gejala psikis, pengalaman mistis, gejolak dan lain sebagainya yang memiliki keterarahan aboutness. Dalam pengolahan seni rupa, mental language mendorong seseorang untuk melakukan sebuah usaha artistik dalam menangkap pengertian, mentransformasikannya dalam sebuah tanda yang identik, dan membiarkan tanda tersebut dibaca sebagai realitas kedua oleh pada pembaca dengan dorongan mental language-nya masing-masing.

Lahirnya estetika dalam rupa-realis

Dua bahasa dalam membaca rupa-realis kemudian membawa konsekuensi tersendiri, ialah pertanyaan, bagaimana rupa-realis menampilkan keindahannya? Pertanyaan ini di dasari oleh keadaan di mana realisme selalu berusaha mengulangi dan membawa kembali realitas yang ada di luar dirinya. Dalam realisme, kemantapan seorang seniman dalam mengetahui, meniru, dan mengembangkan citra mental kebenaran merupakan langkah yang terpenting. Selanjutnya dalam era posmodern ini tanda dan representasi dapat mengalami perbedaan paradigma jika dibandingkan dengan pada masa puncak kejayaan realisme klasik abad ke-17. Oleh sebab iu sebagaimana yang dijelaskan oleh Loginus, keindahan terletak dalam ketiga aspek di atas sehingga rupa-realis, terlepas dari bagaimana ia dimaknai, akan tetap mencapai keindahannya. Namun keindahan tidak dapat didistingsikan berdasarkan satu aspek saja. oleh sebab itu ketika sebuah rupa-realis hadir di hadapan manusia, selain dari penciptanya, ia dapat saja hadir , berkedudukan bukan sebagai buah usaha melainkan sebuah entitas baru. Keindahan realisme pada titik ini terletak pada usahanya mencapai dan memproduksi sumber kebenaran baru, baik melalui usaha pelukis maupun usaha pembaca.

Dalam rupa-realisme dapat kita ketahui bahwa karya seni mengandung keindahan bukan hanya karena kemampuan seorang seniman menghasilkan sebuah karya seni rupa. Terletak kedisiplinan dan keketatan manusia dalam menciptakannya. Selain itu ketika rupa-realisme telah selesai dihasillkan, ia hadir dan membawa representasi dari kebenaran. Dua alasan mengapa rupa-realisme hadir ialah bahwa yang pertama seniman dengan disiplin dan kemampuan akal budinya berusaha menemukan kebenaran yang absolut dari proses dan hasil berkarya, sementara yang kedua adalah bahwa rupa-realis hadir sebagai bentuk realitas kedua yang memimesis realitas dan menghadirnkannya sebagai realitas baru serta menjadi salah satu sumber pengetahuan baru.


1 Pemproyeksian kembali sebuah citra atau realitas

2 Kemampuan yang hadir dalam diri setiap orang

3 Membangung kembali


Daftar Pustaka

Ali, Matius. 2011. Estetika: Pengantar Filsafat Seni. Sanggar Luxor.

Longinus, Cassius. 1890. On The Sublime. H. L. Havell, B.A (trans.). London: Macmillan and Co.

Supangkat, Jim. 2011. Chusin’s Realistic Painting: A Thesis. Jakarta: Penerbit CP Foundation.

Sugiharto, I. Bambang. 2006. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarya: Penerbit Kanisius.

Suryajaya, Martin. 2016. Sejarah Estetika. Yogyakarta: Gang Kabel dan Indie Book Corner.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.