Baudrillard

Bukan hal mustahil bahwa hari ini semuanya dapat dilihat, didengar, diraba, dinikmati, dan dipertontonkan. Termasuk urusan seks yang dulu begitu tertutup dan privat, kini begitu telanjang dengan motif yang begitu beragam. Lewat snapgram, status, unggahan, konten, siaran langsung, dan sebagainya, manusia menjelma menjadi masyarakat yang mabuk. Senada dengan itu, bersama kelompoknya, Situationist International, Debord menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran dalam struktur sosial masyarakat, dari masyarakat komoditas (commodity society) menuju masyarakat tontonan (society of spectacle).

Dalam hal ini, tontonan juga merupakan komoditas, tetapi dalam bentuknya yang lebih sublim dan abstrak. Lebih jelas dan luasnya, Anda bisa coba membuka channel YouTube para artist society (Raffi Ahmad, Baim wong, Deddy Corbuzier, Uya Kuya, dsb). Di dalam ruang yang mereka miliki dalam bentuk sedemikian rupa, Anda akan melihat lebih jelas bagaimana “manusia hari ini sebenarnya adalah parasit bagi sesama”.

Suatu contoh beberapa waktu lalu, Dewa Kipas, seorang pecatur yang diduga telah melakukan kecurangan pada platform catur daring Chess.com membuat geger dunia percaturan dunia. Kasus ini menarik perhatian hampir di semua kalangan dan sektor. Singkatnya, Dewa Kipas langsung diberi ruang oleh Deddy Corbuzier untuk unjuk gigi (diberi panggung untuk ditonton). Alhasil, melawan WGM Irene Sukandar, Dewa Kipas dibuat tak berdaya, sekali pun sebelumnya ia telah meyakini telah mengalahkan Gotham Chess, seorang pecatur internasional asal Amerika Serikat. Ini menjadi tontonan yang mampu menyedot massa yang banyak. Bahkan diberitakan hal itu menjadi rekor penonton dalam siaran langsung kanal YouTube.

Namun, permasalahannya bukan pada jumlah yang fantastis itu, terlebih lagi pada siapa pemenang atau pembuktian kualitas. Permasalahannya, siapa yang lebih diuntungkan atas semua ini?

Sekalipun Deddy Corbuzier memberi timbal balik ratusan juta rupiah untuk pemain dan kita mendapat tontonan, hal itu tidak berhenti di sana sebagai bentuk apresiasi dan timbal balik. Lebih jauh dari itu, Deddy Corbuzier mendapat hal yang melebihi semua itu ketimbang penontonnya (minim kalian bisa mencoba hitung berapa uang yang didapatkan dari siaran langsung itu beserta atribut lainnya).

Lain ladang lain belalang, di kasus yang lebih sering terjadi, Anda bisa berpindah ke channel Baim Wong. Dengan dalih memberi kepada sesama (orang susah, gembel, marjinal, hadiah, dsb), segalanya menjadi wajib dipertontonkan. Lalu, dengan secara langsung pertontonkan itu menghasilkan keuntungan. Tidak berbeda dengan Deddy Corbuzier dan lainnya, bukan berhenti pada apresiasi, motivasi, ataupun timbal balik, semua fenomena ini mengerucut pada hal yang melebihi dari semua itu.

Bila dalam era kapitalisme awal, uang hanyalah alat-tukar untuk memenuhi kebutuhan, maka dalam era kapitalisme-lanjut seperti sekarang ini, uang adalah tujuan akhir dengan komoditas sebagai sarananya (Kellner, 1994: 43). Jadi, tidak menjadi hal yang berlebihan bila manusia hari ini senang menonton manusia saling bertengkar dan saling memanfaatkan, ialah hanya demi satu tujuan ialah uang.

Parasitas

Manusia dikelilingi oleh berjuta parasit, seperti kutu dan jamur. Akan tetapi, manusia tak pernah menyadari, mengetahui, dan menerima kenyataan, bahwa ia adalah “parasit”-seperti parasit-parasit lainnya. Bahkan, manusia parasit bagi manusia lainnya.

Selama ini, manusia hanya menilai parasit dari kacamata mereka sendiri. Bahwa parasit adalah segala sesuatu yang dianggap “menumpang” pada diri manusia sebagai inang. Manusia tak pernah melihat diri mereka sendiri sebagai parasit yang menumpang pada inang yang lebih besar (alam, lingkungan, hewan, dan tumbuhan). Ini karena, mereka “menumpang hidup” pada tumbuhan, binatang, dan alam, tapi tak memberi apa pun sebagai balasannya, dan mereka tak pernah mengakui itu.

Piliang mengatakan (2020: 160), manusia “menumpang hidup” pada manusia lain secara fisik, psikis, sosial, politik, ekonomi, dan kultural. Manusia “mengambil” dari manusia lain – harta, kebesaran, popularitas, ketenaran, karisma, tanda, atau simbol tanpa pernah “memberi” sebagai imbalannya.

Lebih lanjut, Serres di dalam The Nature Contract mengatakan, parasit mengambil semuanya dan tak memberi apa pun; inang memberi semuanya dan tak mengambil apa pun.  Hak-hak penguasaan dan kepemilikan jatuh ke tangan parasitisme. Sebaliknya, hak-hak simbiosis ditentukan jika ada timbal-balik: berapa banyak pun alam memberi manusia, manusia harus memberi kepada alam sebanyak itu, yang kini menjadi subjek hukum.”

Atas dasar itulah Serres membedakan secara tegas antara “Parasit” dan “Simbiosis”. Ringkasnya, parasit bergerak satu arah, sedangkan simbiosis bergerak dua arah. Yang terjadi hari ini (seperti contoh kasus di atas) yang terjadi adalah parasitisme, bukan simbiosisme.

Semua lebih jelas bila kita mengambil contoh relasi sosial antara “media massa” dan “massa penonton” dalam masyarakat tontonan sebagaimana yang digambarkan Debord, maka sesungguhnya yang kita temukan bukan relasi simbiosis, melainkan “parasit”. Relasi parasit ini akan lebih terlihat dan temukan bila kita memahami arti kata “massa” yang sesungguhnya.

Menurut Baudrillard, massa itu “mayoritas yang diam” (the silent majorities). Massa dimanipulasi oleh media, yaitu dikuras energi, pikiran, persepsi, ketidaksadaran, dan hasratnya demi keuntungan dan akumulasi kapital media kapitalistik, tetapi tak memberikan apa-apa pada mereka sebagai balasannya. Serupa yang dikatakan Piliang, seakan-akan media membangun kekuatan massa, padahal ia menguras energi, pikiran, perhatian, waktu, dan kesadaran demi keuntungan mereka. Dan kita (subscriber/follower) tidak lain adalah yang disebut massa itu.

Mungkin para artis itu bisa mengatakan dia memberi informasi, edukasi, dan memberi motivasi bagi pemirsanya, nyatanya, tidak. Kita adalah massa yang diam itu. Kita tidak mendapat apa pun kecuali hal menyenangkan yang semu dan sesaat. Kita adalah massa yang mabuk dengan semua itu. Kita tak berdaya atas itu semua. Ini sebuah konsekuensi mutlak bila kita masuk dan melihatnya.

Simbiosisme tidak benar-benar terjadi. Semua berjalan satu arah. Yang paling umum terjadi, dalam kasus endorse barang, semua jelas terlihat, kita sebagai pengikut akun tertentu, dibuat seperti mesin pabrik tanpa perawatan yang menghasilkan pundi uang bagi para artis atau selebgramnya. Kita dimanfaatkan dengan jelas oleh parasit-parasit itu. Apa yang kita dapatkan dari melihat skincare, kaos, dan makanan yang dipromosikan artis? Kita tidak mendapat apa pun kecuali tontonan. Sementara di satu sisi, hal lebih besar diperoleh mereka.

Kita tidak pernah mendapatkan sama dengan apa yang telah parasit dapatkan. Bahkan, parasit tidak akan pernah memberi apa pun. Untuk waktu yang akan datang, kita juga akan menjadi seperti mereka, semua hanya menunggu kesempatan dan waktu saja.

Atas semua itulah, sungguh tidak berlebihan bila pada akhirnya manusia memang parasit bagi manusia lainnya. Kita tidak lain adalah inang dari parasit-parasit seperti itu. Kita dibentuk, didesain, disiapkan, dan digerakkan atas dasar kebutuhan parasit. Manusia hari ini tidak lebih dari penonton yang diam sampai mati tertawa atau mati karena perut yang buncit.

Alfian Bahri

Alfian Bahri adalah seorang guru bahasa Indonesia. Ia menulis antologi cerpen Bau Badan Yang Dilarang (2018). Ia juga menulis di berbagai media daring seperti sanglah institute dan buruan.co.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.