Tujuh tahun setelah mengeluarkan gagasan cemerlangnya dalam The Critique of Pure Reason, Kant kemudian menerbitkan karya sejenis yang lebih pendek, yaitu Critique of Practical Reason. Di dalam karya ini, Kant kembali menyoal Tuhan yang sebelumnya tidak bisa didiskusikan, karena tidak tergolong dalam kategori-kategori. Buku ini merupakan bagian etika dari sistem Kant. Di sini Kant tidak lagi mencari dasar-dasar metafisis bagi persepsi, namun mencari dasar-dasar tersebut bagi moralitas. Apa yang Kant cari ialah hukum moral yang fundamental.
Kant meyakini kemungkinan adanya sebuah hukum dasar. Tetapi dia melakukan hal tersebut dengan menyingkirkan sesuatu yang dianggap oleh sebagian besar sebagai pernyataan manusia. Kant menekankan bahwa yang ia cari adalah landasan moralitas dan bukannya isi moralitas tersebut. Untuk maksud ini, sebagaimana yang ia lakukan dalam The Critique of Pure Reason, maka dalam Critique of Practical Reason berlaku landasan yang sama, yaitu diperlukan serangkaian prinsip apriori semacam kategori-kategori.
Bagi Kant ada 12 macam kategori yang akan mempersepsikan segala hal dari luar: (1) kesatuan; (2) pluralitas; (3) totalitas. Ketiga hal ini disebut aspek kuantitas, sedang untuk aspek kualitas juga ada tiga kategori: (4) realitas; (5) negasi; (6) pembatasan. Adapun untuk aspek relasi, ada tiga kategori: (7) substansi dan aksidensi; (8) sebab akibat; (9) komunitas. Pada aspek modalitas, juga ada tiga kategori lagi: (10) kemungkinan-kemustahilan; (11) eksistensi dan non eksistensi; dan (12) keniscayaan-kontingensi.
Moralitas sendiri bagi Kant disamping menyangkut sebagai baik dan buruknya manusia sebagai manusia, juga harus mengenai yang baik pada dirinya sendiri, di mana yang baik pada dirinya sendiri adalah kehendak baik yang bukan lahiriah. Misalnya, bisa saja seseorang nampak melakukan kebaikan seperti memberikan sumbangan bagi korban kerusuhan atau berderma untuk tempat ibadah. Tapi hal ini bukan menjamin, bahwa itu perbuatan moralis apabila tujuan yang menyertainya, misalnya untuk mendapatkan pujian atau menarik simpati kelompok tertentu.
Perbuatan secara moral dikatakan baik, apabila mewadahi kehendak baik sebagai realitas batin. Kehendak baik menurut Kant baru baik apabila mau memenuhi kewajibannya. Sehingga, kehendak baik adalah kehendak yang mau melakukan apa yang menjadi kewajibannya, murni demi kewajiban itu sendiri. Kant dalam hal ini nampak tidak peduli terhadap materi berupa tujuan atau akibat suatu tindakan moral, melainkan melalui bentuknya apakah tindakan itu wajib atau tidak. Prinsip inilah yang kemudian dikenal dengan deontologi.
Pembedaan Kant tentang nilai etis suatu perbuatan yang dilakukan demi tujuan dan perbuatan yang dilakukan demi kewajiban, membawa kita pada formulasi Kant tentang ide perintah moral. Perintah moral dimaksud yaitu: imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Yang pertama adalah perintah moral yang menyuruh kita melakukan suatu tindakan hanya atas dasar pengandaian bahwa kita mau mencapai tujuan tertentu.
Yang kedua, yaitu perintah yang berlaku mutlak tanpa kecuali karena apa yang diperintahkan olehnya, merupakan kewajiban pada dirinya sendiri, dan tidak tergantung pada tujuan selanjutnya. Imperatif kategoris yang dikemukakan oleh Kant ini menjadi sebuah prinsip tunggal, yakni kategori yang tidak bisa dihindari. Inilah landasan apriori bagi semua tindakan moral, yakni premis metafisikanya.
Secara ringkas, etika Kant dirumuskan bahwa perbuatan baik tidak dinilai berdasarkan wujud lahir, melainkan sikap batin berupa kehendak baik; di mana kehendak itu baru baik apabila murni memenuhi kewajibannya. Lalu apa kewajiban yang harus ditunaikan manusia? Kant dalam hal ini tidak memberikan jawaban material, melainkan formal berupa prinsip penguniversalisasian, yang berbunyi: “Berbuatlah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, patokan-patokan, dan maksim-maksim yang dapat dikehendaki sebagai undang-undang umum.” Misalnya, perbuatan yang semata-mata didasarkan kewajiban dan bukan tujuan lain ataupun pelampiasan dorongan hati, bagi Kant merupakan tuntutan otonomi moral manusia, yaitu suatu ketaatan yang dilakukan dengan suatu kesadaran yang penuh.
Ajaran Kant tentang imperatif kategoris memuat beberapa prinsip tindakan; pertama, prinsip hukum umum; kedua, prinsip yang memuat ajaran manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri; dan prinsip terakhir, yaitu otonomi manusia, yang ia pertentangkan dengan heteronomi. Prinsip ini kemudian membawa Kant pada suatu keyakinan bahwa, kita seyogyanya bertindak sesuai dengan kewajiban-kewajiban kita, bukannya menurut perasaan-perasaan kita; sebuah simpulan yang dalam pandangan umum sangat sulit untuk diterima.
Umpamanya Kant menyatakan bahwa, nilai moral dari suatu tindakan selayaknya tidak ditentukan menurut akibat-akibat yang ditimbulkannya, namun hanya didasarkan pada sejauh mana tindakan itu selaras dengan kewajiban yang melatarbelakanginya.
Sistem etika Kant ini menggiringnya untuk percaya bahwa kita seharusnya sama sekali tidak boleh berbohong, tak peduli apapun akibatnya. Ia betul-betul sadar konsekuensi dari argumen ini, tapi toh ia tetap ngotot dengan pendapatnya itu. “Membohongi seorang pembunuh yang sedang mengejar-ngejar seorang teman yang sedang menumpang di rumah anda adalah kejahatan.”
Menarik, Kant sendiri sebenarnya juga tidak begitu konsisten dengan pandangannya ini, pada suatu ketika tatkala Frederick William II yang agak kolot naik tahta, Kant pernah dituntut untuk bersumpah bahwa dirinya tidak akan mengajar atau menulis masalah-masalah religius lagi, dan ia menyatakan untuk mematuhi perintah tersebut.
Namun, setelah sang raja meninggal, Kant kembali menulis dengan semangat menggebu-gebu kembali menulis masalah religius, dan menganggap dirinya telah bebas untuk tidak lagi memenuhi janjinya. Di sini Kant nampak memandang tindakan berbohong adalah sesuatu yang lumrah pada saat situasi tertentu memang mendukungnya.
Lalu bagaimana dengan postulat rasio praktisnya Kant?
Rasio Praktis bagi Kant adalah rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan; atau dengan kata lain, rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita. Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperatif kategoris. Kant kemudian bertanya, bagaimana keharusan itu mungkin? Apakah memungkinkan keharusan itu?
Prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini ialah: kalau kita harus, maka kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil, jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa kita lakukan. Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat dimaksud itu ialah: pertama kebebasan kehendak; kedua imortalitas jiwa; dan ketiga adanya Allah.
Pada prinsipnya apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis, harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Kebebasan kehendak, imoralitas jiwa, dan adanya Allah, kita tidak mempunyai pengetahuan praktis. Menerima ketiga postulat ini, menurut Kant disebut “glaube” atau kepercayaan. Maka kemudian, Kant dengan filsafat bermaksud memperteguh keimanannya, keimananan kristianinya.
Kebebasan bagi Kant, merupakan kemampuan untuk diatur oleh budi. Kemampuan ini disebut Kant kebebasan kehendak. Ia mempertentangkannya dengan tindakan-tindakan yang muncul dari emosi, keinginan, atau pilihan. Menyoal tindakan, bagi Kant bisa dirujuk pada dua macam tindakan: tindakan karena kecenderungan dan tindakan karena kewajiban. Tindakan pertama, berdasarkan selera atau pilihan, sedang tindakan kedua adalah apa yang harus dikerjakan apapun kecenderungan saya.
Kant dalam hal ini dengan tegas menolak suatu moralitas yang menekankan kecenderungan saja. Menurutnya, moralitas berkaitan erat dengan tugas dan kewajiban seseorang, dan tergantung pada keberadaannya sebagai pelaku bebas yang tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu.
Imortalitas jiwa dimaksudkan sebagai eksistensi tak berkesudahan dari pusat kesadaran yang ditunjuk dari kata aku. Fakta imortalitas jiwa manusia secara eksistensi dilandasi oleh hakikat jiwa yang tunggal (karenanya tidak dapat dibagi ke dalam bagian-bagian) dan rohani (karenanya hanya menuju kehidupan kekal).
Martabat moral manusia menuntut suatu kehidupan kekal untuk memecahkan ketegangan antara komitmen-komitmen moral dan immoral dengan ganjaran dan hukuman. Dan imortalitas jiwa ini menurut Kant bisa diafirmasi berdasarkan tuntutan akal praktis (alasan moral).
Adanya Allah bagi Kant sangat berkaitan dengan keinginan manusia untuk hidup yang bermoral. Kant mengemukakan dalam bukunya Critique of Practical Reason bahwa untuk menjalani kehidupan bermoral manusia membutuhkan seorang pengatur yang akan membalas perbuatan baik dengan kebahagiaan.
Dalam perspektif ini, pengaitan Tuhan dengan sistem etika merupakan sebuah kebetulan saja. Inti agama bukan lagi misteri tentang Tuhan, tetapi manusia itu sendiri. Tuhan telah menjadi sebuah strategi untuk memampukan kita berfungsi secara lebih efisien dan bermoral, bukan lagi sebagai sebab bagi semua wujud.
Kant percaya bahwa tidak mungkin membuktikan eksistensi Tuhan, karena ia berada di luar jangkauan indera, dan karenanya tidak dapat diakses pikiran manusia. Alasan rasionalis Kant satu-satunya untuk membuktikan bahwa tanpa Tuhan dan tanpa kemungkinan dunia akhirat, maka akan sulit bagi kita untuk menjelaskan alasan kenapa kita harus bertindak secara moral.
Dari sini kita tahu bahwa di antara kritikan atas Kant yang layak untuk diapresiasi antara lain dari Hegel dan MacIntyre. Menurut Hegel, pemahaman rasio Kant melulu sangat formal dan direduksi tuntutan universalitas. Di samping itu Kant juga tidak memberi isi dari kewajiban moral. Di sini Hegel melihat bahwa isi kewajiban itu sendiri diberikan oleh praktek kelompok masyarakat. Moralitas Kant sangat individual, padahal individu merupakan bagian dari masyarakat tertentu.
Kant dalam hal ini tidak melihat manusia dari konteksnya, individu dianggap berkembang sendiri dan tidak melibatkan komunitasnya, sehingga manusia dilepaskan dari sejarahnya. Adapun kritikan dari MacIntyre bahwa upaya pembenaran rasionalitas yang otonom telah gagal, karena menghilangkan tiga unsur otonomi moral, yaitu: subyek, konteks, dan tujuan. Pada ketiga aspek ini, Kant cenderung lemah. Di samping itu, Kant melupakan pengalaman keberagamaan. Barangkali ini, merupakan satu fenomena lumrah, karena pencerahan memang lupa asal usul ilahiyah.
Terlepas dari banyaknya orang yang tidak setuju dengan pandangan Kant, tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Kant terhadap filsafat sangatlah besar. Ia menolak setiap usaha untuk mengklaim suatu bentuk absolutisme pengetahuan yang berusaha bebas dari pengalaman, dan tekanannya pada keunggulan budi telah mempunyai pengaruh besar terhadap filsafat Barat. Konsep yang ia kemukakan mengenai etika juga tak kalah menariknya.
Menurutnya etika itu tidak bersifat rasional maupun teoritis. Bahkan bagi Kant, itu bukanlah urusan rasio murni. Justru, apabila manusia menggunakan nalarnya dalam berusaha merumuskan etika, ia dengan sendirinya tidak sampai pada etika yang sesungguhnya. Di samping akan berselisih satu sama lain mengenai mana baik dan mana buruk, etika yang bersifat rasional sudah bukan lagi etika, melainkan bisa terjebak ke dalam perhitungan untung rugi. Dengan kata lain, perbuatan etis dapat menghasilkan keuntungan bagi pelakunya, tetapi juga dapat mengakibatkan kerugian baginya.Kant mengatakan sebagaimana dipaparkan sebelumnya, bahwa etika adalah urusan nalar praktis. Artinya, pada dasarnya nilai-nilai moral itu telah tertanam pada diri manusia sebagai sebuah kewajiban (imperatif kategoris). Kecenderungan untuk berbuat baik, misalnya sebenarnya telah ada pada diri manusia. Manusia pada intinya hanya menunaikan kecenderungan diri dalam setiap perbuatannya. Dengan kata lain, perbuatan etis bersifat deontologis dan berada dibalik nalar. Wallahu a’lam.
Salman Akif Faylasuf
Santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo.
satu Respon