Jean Baudrillard: Simulakra dan Hiperrealitas Masyarakat Postmodern

Jean Baudrillard
Jean Baudrillard

Jean Baudrillard lahir di Reims, Prancis 20 Juni 1929 dan wafat 6 Juni 2007. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga petani yang kemudian pindah ke Paris dan bekerja sebagai pegawai di Dinas Pelayanan Masyarakat. Keluarganya bukan berasal dari kelas borjuis yang berpendidikan tinggi. Bersama saudara-saudaranya, Baudrillard hidup dalam suasana keluarga petani urban yang sederhana. Dari saudara-saudaranya, dialah orang pertama yang meraih pendidikan tinggi yang kemudian bekerja secara serius sebagai ilmuwan. Baudrillard, kemudian bekerja keras untuk memperoleh gelar aggregation de philosophie.

Baudrillard adalah seorang pakar teori kebudayaan, filsuf kontemporer, komentator politik, sosiolog dan fotografer asal Prancis. Lebih dari empat puluh tahun Baudrillard menulis berbagai genre buku yang berkaitan bukan saja filsafat, melainkan juga ekonomi, sosiologi, seni, antropologi, arsitektur dan fotografi. Awal karirnya dalam ranah filsafat dimulai sejak tahun 1966 saat selesai menyelesaikan tesis Ph.D-nya dengan judul Le Systèmedes objek atau Sistem Objek-Objek di bawah arahan  Henri Lefebvre. 

Simulacra Dan Simulasi      

Term simulakra secara harfiah dalam The Oxford English Dictionary berarti “aksi menirukan dengan maksud menipu”. Selanjutnya muncul pemahaman lain yakni penampilan palsu, tiruan dari sesuatu, atau sesuatu yang mirip. Konsep simulakra digunakan oleh Baudrillard untuk menjelaskan realitas dunia era postmodern.

Simulacra that are natural, naturalist, founded on the image, on imitation and counterfeit, that are harmonious, optimistic, and that aim for the restitution or the ideal institution of nature made in God’s image; simulacra that are productive, productivist, founded on energy, force, its materialization by the machine and in other whole system of production; a Promethean aim of a continuous globalization and expansion, of an indefinite liberation of energy (desire belongs to the Utopias related to this order of simulacra); simulacra of simulation, founded on information, the model, the cybernetic game – total operationality, hyperreality, aim of total control”.         

Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, p. 118

Pernyataan Baudrillard ini menunjukan proses lahirnya simulakra. Simulacra bukan sesuatu yang alami, yang naturalis. Simulacra lahir dari sistem teknologi, informasi dan globalisasi yang terus mengalami keberlanjutan. Simulakra lahir dalam tata dunia yang sudah dipenuhi dengan model-model dan game cybernetic yang memiliki fungsi operasional total. Simulacra didirikan di atas dasar imitasi, citra, dan duplikasi dari sesuatu yang sudah ada. Yang sudah ada kemudian diduplikasi ulang sesuai dengan bentuknya yang asli. Proses lahirnya simulakra ini berlangsung dalam arena sosial masyarakat.

Dalam arena sosial masyarakat, konsekuensi logis hadirnya simulakra adalah terjadinya silang-sengkarut, terjadinya pembauran, terjadinya percampuran antara yang asli dan yang palsu, yang benar dan yang salah, yang fakta dan yang bukan fakta, yang riil dan yang imajiner, serta yang penanda dan yang petanda. Akibatnya, masyarakat tanpa sadar berada dalam dua realitas yakni realitas yang riil dan realitas imitasi atau tiruan. Dua realitas ini hadir dalam ruang dan waktu. Sehingga, kadang kala masyarakat tidak mampu membedakan mana realitas yang riil dan mana realitas yang tiruan.

Simulacra dalam pemikiran Baudrillard terdiri atas tiga tingkat. Tiga tingkat simulakra ini hadir dengan ciri khasnya masing-masing. Keberadaan tiga tingkat simulakra ini berlangsung dalam rentang waktu yang lama yang disesuaikan dengan kondisi kemajuan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Medhy Aginta Hidayat dalam bukunya: Menggugat Modernisme Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard (2012), menjelaskan tiga tingkat simulakra ini sebagai berikut.

Simulacra Tingkat Pertama,  dimulai sejak masa Renaisans-Feodal hingga permulaan Revolusi Industri. Di era ini, hukum alam dengan ciri ketertiban, keselarasan, hierarki alamiah dan bersifat transenden dipandang sebagai sebuah realitas yang sesungguhnya. Tanda-tanda pada era ini  adalah tanda yang diproduksi berdasarkan keutuhan fakta dan citra secara  seimbang dan serasi. Prinsip simulasi pada tingkat pertama adalah representasi bahasa objek dan tanda adalah tiruan dari realitas yang alamiah yang dibentuk secara linear dan tunggal, yang mana representasi tersebut masih memiliki jarak dengan objek aslinya.

Simulakra Tingkat Kedua, dimulai bersamaan dengan Revolusi Industri. Revolusi industri memberikan efek positif bagi pertumbuhan ekonomi, namun sekaligus di satu sisi memberikan efek negatif bagi kebudayaan. Prinsip utama simulasi pada era ini adalah logika produksi. Hal ini karena logika produksi melahirkan teknologi mekanik yang sifatnya telah melewati ambang batas realitas. Baudrillard berpendapat objek-objek alamiah telah kehilangan sifat transendensi yang diakibatkan reproduksi teknologi. Oleh karena itu, objek kini bukan lagi tiruan dari objek asli, melainkan sama persis dengan yang asli.

Simulacra Tingkat Ketiga, di tingkat ini, segala unsur kebudayaan mengalami perubahan mendasar. Perubahan itu berakar pada perkembangan ilmu dan teknologi informasi, komunikasi global, media masa, konsumerisme dan kapitalis di era pasca Perang Dunia II. Karena itu, tanda, citra, kode, dan subjek budaya tidak merujuk pada referensi dan realitas yang ada. Prinsip utama pada era ini adalah hukum struktural. Artinya tanda membentuk struktur dan memberi makna realitas. Di tingkat ketiga ini Baudrillard menyebutnya sebagai era simulasi.

Ketiga tingkat simulasi ini secara tersirat menggambarkan adanya proses penandaan atau semiologi. Dalam konteks ini berlaku relasi Semiologi Saussure penanda-petanda dengan ketiga tingkat simulakra tersebut. Tingkat pertama simulakra tentang proses imitasi alamiah menggambarkan relasi langsung antara penanda-petanda. Tingkat kedua simulakra tentang proses produksi menggambar relasi tak langsung penanda-petanda, dan tingkat ketiga simulakra tentang proses struktural menggambarkan relasi tak langsung antara penanda-penanda tanpa petanda.

Analisis Baudrillard dalam hubungannya dengan masyarakat postmodern berada pada tingkat ketiga simulakra. Di tingkat ketiga simulakra tidak ada relasi antara penanda-petanda. Melainkan, yang ditemukan adalah relasi tak langsung antara penanda-petanda. Relasi tak langsung antara penanda-petanda hadir sebagai konsekuensi logis kemajuan teknologi dan informasi. Maka, dalam kaitannya dengan objek konsumsi, barang (penanda) yang dikonsumsi bukan lagi untuk pemenuhan kebutuhan (petanda), sesuai dengan fungsi aslinya, melainkan dialihfungsikan untuk pemenuhan keinginan yang sifatnya semu.

Sifat hakiki dan kekhasan simulakra tingkat ketiga adalah penolakan terhadap realitas yang riil. Penolakan itu didasarkan pada kerja simulakra yang mengaburkan dan menghilangkan referensi asli atau realitas yang asli. Simulacra mengedepankan yang imitasi sebagai sesuatu yang benar, maka yang tampak imitasi itulah kebenaran ontologis. Kenyataan ini kemudian mencerminkan diri sebagai salah satu budaya yang dihidupi oleh masyarakat postmodern. Akibatnya masyarakat hidup dalam dua dunia yakni antara yang asli atau imajiner, antara yang palsu dan yang asli.

Sebagai salah satu cerminan budaya postmodern, simulakra di tingkat ketiga diumpamakan oleh Baudrillard seperti sebuah peta. Realitasnya, peta adalah representasi dari sebuah wilayah, namun dalam simulasi yang terjadi adalah sebaliknya, wilayah mendahului peta. Analogi ini berarti bahwa dalam simulasi, bukan realitas yang menjadi landasan/cerminan utama melainkan model-model yang ditawarkan media teknologi dan informasi. Model-model itu kemudian dianggap sebagai sesuatu yang nyata, sebagai dunia yang sungguh riil.

The simulacrum is never what hides the truth – it is truth that hides the fact that there is none. The simulacrum is true.”

Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, p. 1

Simulasi dipandang Baudrillard sebagai sesuatu yang benar ada dalam realitas. Karena itu, dalam simulasi, masyarakat digiring pada realitas yang palsu yang disebut realitas semu (hyper-reality). Realitas seperti ini tercipta oleh jenis-jenis media yang dijadikan acuan referensi untuk masyarakat pada umumnya. Dengan media, dunia imajinasi terbentuk dan disuguhkan oleh simulator dan pak akhirnya menggiring masyarakat pada suatu kesadaran palsu yang diciptakan oleh simulator tersebut. Keadaan seperti inilah yang dikatakan oleh Baudrillard sebagai ruang simulakra.

Dalam ruang simulakra, masyarakat ada dalam realitas tanpa otonomi yang jelas. Masyarakat hidup dalam suatu ruang fiksi yang faktual. Pada akhirnya, realitas-realitas simulakra menjadi landasan bagi masyarakat untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan eksistensi dirinya. Melalui model-model yang ditawarkan oleh media massa dan media elektronik, hal itu kemudian membangkitkan sekaligus membentuk kesadaran individu untuk mewujudkan jati diri dan eksistensinya. Sebab, ruang simulakra tidak saja berbicara tentang tanda dan simbol melainkan tentang kekuasaan dan hubungan sosial dalam masyarakat.

Karena medium simulakra berlangsung dalam teknologi, informasi, dan komunikasi, maka seringkali makna pesan yang ditampilkan oleh media massa jauh dari makna aslinya. Hal ini menyebabkan konstruksi budaya masa kini selalu ada dalam citra simulasi-simulasi. Citra-citra simulasi tersebut pada akhirnya menciptakan suatu realitas baru yang tanpa historisitas kebenaran, suatu realitas yang berbeda dengan realitas yang riil. Realitas itu yang kemudian disebut oleh Baudrillard sebagai hiperrealitas.

Hiperrealitas

Diskursus pertama mengenai hiperrealitas dikemukakan oleh Marshall Mcluhan dalam bukunya The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962).Bukunya menguraikan, peralihan teknologi mekanik ke teknologi elektronik membawa perubahan fungsi teknologi sebagai perpanjangan badan manusia, dalam ruang menuju perpanjangan sistem saraf. Pemikirannya berbasis pada proses dan akibat Revolusi Gutenbergdengan sebuah pernyataan bahwa medium is a message. Pernyataan itu membuka suatu asosiasi baru bahwa teknologi mekanik (percetakan) merujuk pada era modernitas dan teknologi elektronik merujuk pada era postmodernisme.

Bagi Mcluhan media elektronik dalam bentuknya yang paling mutakhir dan masif telah mereduksi kandungan pesan media itu sendiri dan menggantikannya dengan permainan bahasa tanda yang bersifat simbolik. Artinya, media dilihat sebagai perpanjangan badan manusia, namun tanpa pesan, makna, dan kedalaman. Pesan itu sendiri tidak lebih dari media-media yang lain. Perkembangan media teknologi memungkinkan semua individu untuk hidup dalam suatu dunia, yang disebut dengan global village. Di sini segala sesuatu disebarluaskan, diinformasikan, dan dikonsumsi dalam dimensi ruang dan waktu tanpa batas.

Selanjutnya, implikasi dan konsekuensi logis dari adanya global village dikemukakan oleh Baudrillard. Implikasinya itu didasarkan pada beberapa asumsi hubungan manusia dan media yang disebutnya sebagai realitas media space. Media space adalah realitas ruang maya yang tidak dipahami lagi sebagai perpanjangan badan manusia sebagaimana menurut Mcluhan, melainkan menurutnya, media telah menjadi ruang bagi manusia untuk membentuk identitas dan eksistensi dirinya.

Dengan pemikiran yang nihilistik, Baudrillard menarik garis pemikiran Mcluhan sampai batasnya yang paling terjauh yakni menganalisis konsep media sebagai perpanjangan badan manusia dan global village ke dalam konteks budaya masyarakat postmodern. Analisisnya itu menghasilkan suatu tesis bahwa media sebagai perpanjangan tangan manusia dan global village telah menjelma menjadi apa yang ia sebut sebagai hipereal village atau hiperealitas. Gagasan hiperrealitas memiliki relasi dengan gagasan simulakra, yaitu sesuatu yang menggantikan realitas dengan representasi-representasinya.

Sebagaimana simulakra, asumsinya tentang hiperrealitas didasarkan pada perkembangan sistem teknologi dan informasi yang begitu mutakhir. Kemutakhiran sistem teknologi dan informasi membuat manusia menciptakan suatu realitas yang baru. Wujud dari realitas yang baru adalah hasil imitasi terhadap realitas yang riil. Realitas yang baru dihadirkan melalui proses simulasi dan duplikasi terhadap fakta dan kenyataan dalam masyarakat. Pada akhirnya, model realitas yang baru disamakan dengan realitas asli sehingga seringkali dominasi realitas yang baru membuat masyarakat tidak mampu mengenal realitas yang asli.

Hiperrealitas menurut Baudrillard merupakan keadaan runtuhnya realitas, yang diambil alih oleh rekayasa model-model (citraan, halusinasi, dan simulasi), yang dianggap lebih nyata dari realitasnya asli, sehingga perbedaan antara keduanya menjadi kabur. Maka, dalam hubungannya dengan semiologi, awal dari era hiperrealitas ditandai dengan lenyapnya petanda, yang diambil oleh duplikasi dari dunia fantasi. Akibatnya, penanda sudah tidak lagi merepresentasikan sesuatu karena petanda tidak lagi menampilkan makna yang hakiki. Karena itu, dalam media-media massa, penanda-penanda yang ditawarkan senantiasa diterima, diserap, dan dijadikan oleh masyarakat sebagai role model.

Implikasi Bagi Masyarakat Postmodern

Dalam kehidupan masyarakat postmodern, hiperrealitas membuat kehidupan masyarakat saling campur aduk, interaksi saling silang menyilang, tumpang tindih dan menciptakan situasi masyarakat konsumtif yang carut marut. Sebab, hiperealitas yang dihasilkan oleh teknologi telah mengalahkan realitas yang riil dan bahkan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Dalam hiperrealitas, citra lebih dominan menyakinkan dibandingkan fakta, dan mimpi lebih diyakini daripada kenyataan sehari-hari. Hiperrealitas adalah realitas yang lebih nyata dari yang nyata, semu dan meledak-ledak. Dan bahkan hiperrealitas menjadi penentu bagi eksistensi masyarakat masa kini.      

Disneyland is a perfect model of all the entangled orders of simulacra. It is first of all a play of illusions and phantasms: the Pirates, the Frontier, the Future World, etc. This imaginary world is supposed to ensure the success of the operation. But what attracts the crowds the most is without a doubt the social microcosm, the religious, miniaturized pleasure of real America, of its constraints and joys.

Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, p. 10

Baudrillard mencontohkan model Disneyland yang ada di Amerika sebagai model hiperealitas yang paling sempurna. Disneyland merupakan representasi dari simulasi-simulasi yang sifatnya penuh ilusi dan fantasi. Disneyland sebagai model hiperealitas menarik masyarakat untuk merasakan kegembiraan dan kebahagian yang sifatnya semu. Di Disneyland dapat ditemukan keadaan yang silang-sengkarut, campur baur, tanpa ada batasan yang otonom. Karena itu, Disneyland adalah representasi dari dunia imitasi sebagai akibat langsung dari kemajuan globalisasi teknologi, informasi dan komunikasi yang tidak ada sebelumnya.

Sebagaimana Disneyland, bentuk lain hiperrealitas dapat ditemukan dalam beragam model yang ada di kehidupan masyarakat saat ini. Kemajuan sistem teknologi, informasi, dan komunikasi memungkinkan segalanya dapat menjadi hiperrealitas. Beragam media komunikasi virtual, iklan dalam berbagai shopping online atau e-commerce dapat membuat masyarakat melupakan realitas yang asli. Tayangan iklan dalam berbagai shopping online, yang ditayangkan berulang-ulang sebenarnya jauh dari realitas yang sesungguhnya. Tayangan-tayangan itu akhirnya membentuk komunikasi masa dan itu diterima dan diakui sebagai realitas yang asli.

Referensi

Jean Baudrillard, Simulacra And Simulation, trans by Sheila Faria Glaser (Mighigan:1981)

William Pawlett, Jean Baudrillard, (London: Routledge, 2007)

Hidayat, Medhy Aginta, Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012)

Radiansyah, Rifi Rifani, “Konsumerisme Hingga Hiper-Realitas Politik Di Ruang Publik Baru Era Cyberspace (Antara Kemunduran Atau Kemajuan Bagi Pembangunan Negara Indonesia Yang Demokratis”dalam Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Vol. 3, No. 2, 2019.

Dhery Ane
Dhery Ane

Lulusan Fakultas Filsafat Unwira Kupang. Calon Imam Katolik dan staf pengajar di lembaga pendidikan SMKS Katolik. St. Pius X Insana, Kefamenanu, NTT.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.