Seperti menatap cermin, lalu menertawakan semua yang luka di wajah kita. Sambil pikiran kita, menggiring semua ingatan untuk kembali. Sehingga perasaan kita kembali kepada sensasi-sensasi yang tidak semestinya hadir untuk sekedar menambah beban saja. Ketika kita mulai menyadari, bahwa tidak ada lagi pilihan selain bertahan. Maka, menertawakan diri sendiri adalah alternatif untuk menambah tenaga, sejenak melupa atau sekedar istirahat. Sebagaimana Karyamin, tokoh utama dalam cerpen yang berjudul “Senyum Karyamin”. Tahu batasan tubuh, tak berarti menjadi alasan untuk berhenti memikul batu-batu sungai, untuk dikumpulkan di tepian, lalu dijual kepada tengkulak dengan harga yang sangat murah. Sedang di rumah, istrinya yang masih muda, menjadi bahan canda sederhana bagi kawan-kawannya atas ironi bahwa Karyamin yang tua, kurus dan rapuh, beristri seorang wanita muda dan gemuk.
Ia tersenyum saat kawan-kawannya tertawa, keduanya sah-sah saja. Untuk hal yang mesti dijalani sebagai satu-satunya yang tersisa, rupanya menjadi hal memalukan untuk ditangisi. Daripada menangis, orang-orang seperti mereka lebih memilih tersenyum dan tertawa. Apa yang mereka tertawai? Semua tingkah laku mereka dan segenap susah-payah untuk membayar hutang-hutang yang akan ditagihkan, di antaranya mereka mencari celah untuk tetap bisa tertawa. Ya, tertawa yang benar-benar tulus, tertawa yang bukan sekedar simbol untuk terlihat bahagia dan baik-baik saja. Dalam kondisi mereka menerima sepenuhnya yang ada, apa adanya, lalu menertawainya, sepertinya bukan hal yang biasa bagi kita yang masih punya seribu cara dan tipu muslihat untuk bertahan. Tapi tidak untuk Karyamin dan kawan-kawannya.
Ketika Karyamin memutuskan pulang karena perut lapar, dan mata berkunang-kunang. Dua sepeda penagih hutang, sudah parkir di depan rumahnya. Ditagihlah iuran beras untuk Afrika itu. Konon, beras untuk Afrika adalah program pemerintah untuk memberikan bantuan beras bagi penduduk Afrika yang kelaparan. Lalu bagaimana dengan Karyamin? Dia bukan orang Afrika, bahkan bila disodorkan peta dunia, besar kemungkinan Karyamin tak bisa menunjukkan di mana lokasinya. Kita kembali dipertemukan dengan ironi yang lain, setelah kehidupan personal Karyamin yang penuh ironi kemudian, semua yang dunia tuntutkan kepadanya pun berupa ironi. Bagaimana mungkin seorang lapar mampu mengenyangkan perut orang lapar yang lain? Di akhir kisahnya, Karyamin hanya tersenyum lebar sekali, kemudian tertawa besar. Karyamin yang kemudian pingsan, tubuhnya jatuh ke jurang.
Begitulah kisah hidup Karyamin dalam cerpen “Senyum Karyamin” karya Ahmad Tohari. Hidup di tengah ironi yang begitu pelik, lalu menertawainya. Tawa Karyamin bersama kawannya, yang muncul secara alami dan organik, secara langsung telah menjadi simbol kemenangan atas hidup. Ya kemenangan atas hidup. Lalu, apakah hidup ini kemudian soal penaklukan? Ya, untuk Karyamin, hidup adalah penaklukan. Penaklukan atas dunia yang terus mencoba menggilas ia dan kawan-kawannya sampai habis dan tanpa ampun.
Kita, Karyamin dan kawan-kawannya tidaklah benar-benar berbeda. Karyamin dan kawan-kawannya adalah orang-orang yang direpresi oleh sistem. Malah, kalau kita mau mengakuinya. Hidup kita sekarang ini, jauh lebih tragis dari kisah hidup Karyamin. Manusia yang hidup di era industri dihadapkan pada ironi yang tak kalah pelik bukan? Kita dihadapkan dengan banyak pilihan, sebut saja pilihan jasa, kemudahan akses, kebutuhan dan sebagainya. Namun di satu sisi, tidak semuanya adalah hal ihwal yang benar-benar kita butuhkan. Melalui kebijakan-kebijakan tertentu kita dipaksa untuk membutuhkannya. Membutuhkan yang tidak benar-benar kita butuhkan. Secara tidak sadar kita pun berada dalam kondisi yang direpresi. Hanya saja, represi yang dihadapkan kepada kita sangat lembut, mulus dan terselubung.
Seperti diungkapkan oleh Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man, …”Sebab-sebabnya tetap tidak teridentifikasi, tidak muncul, tak tertangkap oleh publik, telah surut sebelum ancamannya terlihat jelas”[1]. Lalu bentuk represi seperti apakah yang sebab-sebabnya tidak tampak dan luput dari perhatian tersebut. Dijelaskan bahwa represi ini ada dalam bentuknya yang berbeda dari sebelumnya. Sebagai contoh, kini manusia seluruhnya di bawah penguasaan teknologi. Masyarakat industri kini dikontrol oleh proses produksi, berikut terjebak dalam cengkeraman masyarakat konsumsi. Produktivitas bukan lagi dipandang sebagai tools namun berubah menjadi purpose. Kebutuhan masyarakat kini diciptakan bukan untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya. Namun untuk menelan hasil produksi yang melimpah. Lewat kebijakan-kebijakan industri dan investasi serta kebijakan-kebijakan tenaga kerja. Kita adalah manusia seperti Karyamin yang direpresi dan dihadapkan pada ironi, jika represi dan ironi Karyamin adalah tengkulak dan program beras untuk Afrika. Sedangkan kita adalah sistem politik-ekonomi dan perkembangan industri.
Catatan :
[1] Lihat Marcuse, Herbert, “One Dimensional Man,” dalam “The Paralysis of Criticism: Society without Opposition”, hal.7
Referensi
Herbert Marcuse, 2002. “One Dimensional Man,”. London : Routledge Classic
Berasal dari Yogyakarta. Bermasalah dengan tempat baru dan sering tersesat. Terkadang menulis cerpen dan puisi. Lebih sering menulis paper teknis dan membantu teman mengerjakan skripsi.