Berbicara mengenai individu dan komunitas merupakan suatu perbincangan yang sama kunonya dengan peradaban manusia. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat manusia sejak kelahirannya, secara bersamaan bersifat individual sekaligus sosial. Namun, kenyataan di samping sejatinya merupakan masalah yang kompleks.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa keadaan sosial mempengaruhi baik itu pandangan tentang diri dan perilaku individu, terlepas dari besar atau kecilnya pengaruh tersebut. Misalnya, House dan Mortimer menyatakan bahwa individu yang lahir dari strata sosial yang inferior, cenderung merasa dirinya tidak layak untuk menjadi superior. Senada dengan penemuan di samping, Du Bois (1868-1963) menunjukkan bahwa rasisme di Amerika Serikat membawa dampak buruk bagi warga kulit hitam. Warga kulit hitam menyadari dan memikirkan dirinya sendiri sebagaimana orang kulit putih berpikir tentang mereka. Karenanya, muncullah kesadaran ganda (double-consciousness) pada mereka, yang membuat mereka merasa dan bertindak selayaknya [sejatinya] mereka adalah budak. Dalam konteks yang lebih kecil, kehidupan bertetangga juga mempengaruhi individu terkait, seperti sikap kedermawanan karena adanya standar sosial untuk membantu tetangga yang lebih membutuhkan.
Beberapa pemikir, untuk menyebut sebagian kecilnya, seperti John Rawls (1921-2002), Will Kymlicka (1962), Michael Sandel (1953-), Alasdair Chalmers McIntyre (1929-), dan lainnya memiliki intensi dan saling beradu argumen tentang hal tersebut. Misalnya, apakah manusia itu sejatinya seseorang yang [terpengaruh secara] sosial atau sepenuhnya individual. Jika ia adalah, seperti yang Aristoteles pikir, makhluk sosial (zoon politikon atau animal civile), maka sejauh mana pengaruh sosial itu memengaruhi individu tersebut; adakah ruang bagi otonomi individu dalam konsepsi demikian? Atau, jika watak alami manusia itu individual, maka bagaimana caranya menjelaskan fenomena bahasa ibu (mother tongue); atau, dalam kasus yang lebih ekstrem, mengapa bayi, anak, bahkan hingga manusia mencapai usianya yang matang, memiliki ikatan dengan ibunya? Jika betul bahwa ia memegang kendali atas dirinya sendiri secara mutlak, mengapa ia tidak memutuskan hubungannya dengan ibunya sedari kecil?
Pertanyaan-pertanyaan di atas bukan berarti persoalan yang nir makna. Ia menjadi penting sebab, pemahaman tentangnya membawa kepada sikap manusia dalam menjalani kehidupan, membuat keputusan, dan menyelesaikan masalah. Bahkan, pada skala yang lebih besar, berpengaruh terhadap kebijakan politik suatu negara. Misalnya, bilamana suatu negara itu mengedepankan otonomi individu, maka pemerintah akan membuat kebijakan yang melindungi hal tersebut. Sebaliknya, jika negara menekankan pentingnya keberadaan komunitas-komunitas yang ada dan merekognisinya, maka kebijakan yang terbentuk juga menyesuaikan pandangan terkait. Contoh konkret untuk pandangan yang terakhir, yaitu beberapa provinsi di Kanada dan beberapa negara di Australia membolehkan para penganut Sikh untuk tidak memakai helm saat berkendara (mereka menggunakan patka)—kendati ada syarat dan ketentuan yang berbeda. Akan tetapi, mengarah ke manakah perdebatan tersebut?
Liberalisme merupakan momok di balik gagasan bahwa individulah yang menentukan dirinya sendiri. Sedangkan untuk posisi sebaliknya, yakni komunitarianisme yang menyatakan bahwa komunitas atau masyarakatlah yang membentuk (menentukan) individu kita. Kedua aliran tersebut memiliki posisi epistemologis dan ontologisnya yang berbeda. Itulah mengapa mereka sampai kepada kesimpulan yang berbeda tentang pandangan diri (self) dan tentang apa yang seharusnya negara rancang dan atur untuk warga negaranya. Akan tetapi, masalahnya tidak berhenti di sini. Perseteruan tersebut terus berlanjut menyangkut netralitas negara: kepada siapakah negara harus berpihak? Apakah negara harus mengenali dan mengakomodasi kebutuhan tiap-tiap komunitas sosial, yang artinya keberpihakan; atau negara cukup memandang semuanya sebagai satu, individu?
Latar belakang di atas menjadi dasar bagi tulisan ini untuk menelaah, setidaknya, dua hal. Pertama, menyangkut ide-ide komunitarianisme, dan kedua, tentang netralitas negara. Namun mengingat perdebatan antara liberalis dan komunitarianis cukup panjang, saya membatasi diri pada komunitarianisme saja. Bila memungkinkan, saya cukup menambahkan beberapa gagasan liberalisme, namun tidak utuh. Selain itu struktur epistemologis dan ontologis dari komunitarianisme juga tidak luput pada bagian mendatang. Kemudian, saya akan menerangkan dan menganalisis konsep umum dari aliran tersebut, beserta implementasinya terhadap negara. Sehingga, saya tidak berfokus pada pemikiran tokoh tertentu, tapi lebih ke pola umumnya. Dan, sebagai penutup, saya akan memaparkan konsekuensi daripada komunitarianisme terhadap netralitas negara.
John Goodwyn Barmby (1820-1881) menjadi orang pertama yang memperkenalkan istilah ‘komunitarianisme’ pada tahun 1841. Menurutnya, komunitarianisme adalah filosofi publik yang menitikberatkan pada pengembangan komunitas secara sengaja dan eksperimental. Sedangkan perkembangan komunitarianisme mengalami musim seminya sekitar 1980-an, yang dikenal dengan momentum ‘perdebatan liberal-komunitarian.’ Lahirnya magnum opus Rawls yakni A Theory of Justice (1971) menjadi pemantiknya. Pada dasarnya, komunitarianisme muncul sebagai respon terhadap karya tersebut. Perdebatan itu merujuk kepada tulisan para pemikir, seperti Sandel, Charles Taylor (1931), dan Michael Walzer (1935-). Contohnya, Sandel dalam pengantar Liberalism and the Limits of Justice mengatakan bahwa buku tersebut hadir untuk mengkritik A Theory of Justice-nya Rawls. Tidak berhenti sampai sini, tahun 1990-an menjadi fase baru bagi ‘komunitarianisme politis’, di mana mana beberapa cendekiawan berusaha untuk menerapkan ide komunitarianisme terhadap kondisi politik yang riil.
Kendati demikian, cukup sulit untuk melacak tokoh manakah yang mengklaim diri sebagai seorang komunitarianis. Umumnya orang yang menyebut bahwa tokoh A, B, C, adalah komunitarianis merupakan hasil penafsiran terhadap gagasan tokoh terkait, jika bukan hanya sedikit orang yang memproklamirkan diri (sebagai komunitarianis). Akan tetapi, persoalan di samping tidak mengganggu analisis pada bagian mendatang, sebab gagasan umum daripada komunitarianisme-lah yang menjadi pokok bahasan. Sebagai catatan, saya akan menggunakan istilah seperti ‘liberalisme’ dan ‘libertarianisme’ secara bergantian, namun merujuk pada satu objek yang sama, yakni sasaran kritik komunitarianisme. Adapun soal penting yang hendak saya jawab, adalah ‘apakah negara seharusnya bertindak netral—sehubungan dengan ide komunitarianisme?’
Tentang diri
Satu soal yang perlu dipecahkan sebelum melangkah lebih lanjut adalah ‘siapa diri kita sebenarnya?’; atau, untuk lanskap yang lebih luas, ‘apa atau siapakah masyarakat itu (who is society)?’ Jawaban terhadapnya menjadi pondasi utama (dasar ontologis) bagi bangunan konseptual komunitarianisme—begitu pun liberalisme. Lebih jauh, dasar ontologis itu nantinya berkembang menjadi persoalan yang rumit, seperti hak, kebebasan, dan kebutuhan bersama (common goods). Semisal, jika yang riil hanya individu, maka apa properti yang ia miliki; kontras dengannya, jika masyarakat itu riil adanya, maka bagaimana watak alamiahnya? Selanjutnya, jika individu itu memiliki hak dan sebagainya, maka apa yang seyogyanya negara bisa upayakan untuknya: sebaliknya, jika masyarakat itu mempunyai kebutuhan bersama, maka kebutuhan masyarakat mana atau seperti apa yang perlu negara wujudkan?
Apa yang menjadi intensi awal komunitarianisme dalam mengonsepsi ‘diri’ adalah menyanggah konsep diri itu sendiri, konsepsi yang mendasari liberalisme. Lantas apa itu ‘diri’ menurut Liberalisme? Unencumbered Self (Diri yang Tidak Terkungkung) merupakan prinsip dasar dari liberalisme, setidaknya versi Rawls. Menurutnya, ‘diri’ itu ibarat kanvas kosong yang menunggu untuk diwarnai sedemikian rupa berkat kebebasannya sendiri. Atas dasar inilah, individu tersebut memiliki kendali sepenuhnya bagi dan untuk dirinya sendiri: apapun pilihannya, itulah dia. Artinya, Rawls memahami bahwa individu itu sama sekali lepas dari kungkungan konteks sosialnya. Sehingga masyarakat tidak menjadi standar atau ukuran bagi kehidupan yang baik.
Konsep Unencumbered Self itulah sasaran kritik komunitarianisme. Sandel, demikian komunitarianisme umumnya, mengajukan Constituted Self (Diri yang Dibentuk) sebagai kontra argumen terhadapnya, Apa maksud ‘dibentuk’ di situ? Komunitarianisme menolak Unencumbered Self berdasarkan dua hal. Pertama¸ kita tidak bebas secara mutlak dari kungkungan sosial kita, sehingga kungkungan tersebut membentuk kita secara parsial. Dan, kedua, prinsip liberalisme itu secara langsung mengabaikan signifikansi (pengaruh) daripada lingkungan sosial. Sehingga maksud daripada Constituted Self adalah diri kita itu dibentuk oleh faktor sosial yang ‘mendarah daging’. Karenanya, identitas masyarakat yang di dalamnya mencakup [identitas] individu pula, dibentuk oleh tradisi, nilai-nilai umum, dan ide tentang kehidupan yang baik.
Saya sendiri pun mengajukan keberatan terhadap Unencumbered Self. Jika Unencumbered Self itu benar adanya, maka bagaimana caranya kita menjustifikasi bahwa pilihan A itu lebih baik dari yang lain. Mengingat pertimbangan kita untuk memilih hidup yang begini dan bukan yang begitu, merupakan hasil dari perbandingan diri kita terhadap yang lain. Selain itu, corak self-determinate dalam liberalisme juga mengandung kerancuan. Apa tolok ukur bahwa seseorang itu telah atau sedang mendeterminasi dirinya sendiri? Jika sebuah kesadaran kognitif seketika menyatakan kepada kita bahwa ‘ya, kamu bebas’, maka kesadaran semacam itu hanya muncul bilamana kita bersentuhan dengan individu yang lain, dengan kata lain, masyarakat.
Film ‘The Red Turtle’ memberikan ilustrasi tentang seorang pria yang terdampar dan hidup sendirian di pulau terpencil—setidaknya sebelum ia bertemu sosok ‘kura-kura merah’. Film tersebut menunjukkan bahwa pria ini tidak mengalami kesadaran kognitif bahwa dia bebas. Dan, dia juga tidak menilai bahwa hidup sendirian itu lebih baik daripada hidup bersama, atau vice versa. Apa yang ia lakukan sehari-hari, bukanlah mengevaluasi pilihan hidup manakah yang lebih baik. Tidak. Ia menjalani hari hanya untuk bertahan hidup, selesai. Naasnya, dia justru baru mengenal kesepian ketika kura-kura merah meninggalkannya. Artinya, kehadiran individu lain memberikan makna hidup bagi dirinya, dan menurutnya itulah pilihan hidup yang baik, yakni hidup bersama membangun keluarga. Film itu sebetulnya menjadi kontra narasi terhadap gagasan Unencumbered Self.
Sekarang bagaimana jika Unencumbered Self itu membentuk suatu komunitas, atau masyarakat liberal yang berisikan individu yang sama-sama meyakini bahwa dirinya itu tidak terkungkung oleh apapun. Akan tetapi, model masyarakat liberal seperti itu juga masuk ke dalam konsep masyarakat. Namun, seorang liberalis masih bisa membantah. Bahwa menurut mereka, masyarakat liberal seperti itu memegang teguh prinsip kebebasan. Sehingga, mau bagaimanapun keadaan sosial masyarakat liberal, individu tersebut tidak akan terpengaruh atau memiliki tujuan bersama. Michael McDonal dengan nada retoris mengajukan pertanyaan “individu dianggap bernilai karena mereka pemilih atas dirinya sendiri dan memiliki keinginan. Tapi, di saat yang sama, komunitas juga membuat pilihan dan memiliki nilai. Kenapa tidak memperlakukan komunitas sebagai suatu unit yang fundamental dan memiliki nilai juga?” Mengingat kumpulan individu liberal itu memiliki dasar yang sama, yakni kebebasan yang menjadi nilai yang berharga. Tidakkah, masyarakat yang liberal itu juga mempunyai nilai bersama (shared values)yang disebut kebebasan? Tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa masyarakat liberal semacam itu tidak memiliki dasar bersama (common ground)yang menjadi nilai hidup mereka.
Terang bahwa Constituted Self menjadi konsep dasar yang melandasi kerangka konseptual komunitarianisme. Bahwa diri itu tidak sepenuhnya otonom atau asosial dari sekitarnya: tidak, ia tidak terisolasi. Masyarakat sebagai pembentuk diri itu juga menjadi unsur penting dalam memahami komunitarianisme. Artinya, komunitarianisme mengakui keberadaan masyarakat sebagai sesuatu yang riil. Tidak seperti Robert Nozick (1938-2002) yang sama sekali mengakui individu yang riil, individu yang berbeda-beda; tidak ada entitas yang bernama masyarakat.
Bagian ini sebetulnya menerangkan posisi ontologis dari komunitarianisme, yakni strukturalis. Di mana komunitas itu merupakan struktur daripada individu-individu yang termuat di dalamnya—hal ini nampak jelas dalam Constituted Self. Sehingga intensi individu di situ betransposisi menjadi aktivitas sosial, yang mereka lakukan secara sukarela. Posisi strukturalis hendak menyatakan bahwa komunitas itu ada secara objektif atau sebagai sesuatu yang independen. Sebaliknya, komunitas merupakan dunia sosial subjektif yang hanya dapat dipahami sebagai sesuatu yang terstruktur secara sosial. Jika, demikian halnya itu dasar ontologis komunitarianisme, maka apa dasar epistemologisnya—lebih tepatnya aspek metodologis?
Universalisme vs partikularisme
Rawls mendaku bahwa teori keadilannya itu benar secara universal, sedangkan komunitarian beranggapan bahwa standar keadilan itu bergantung pada kehidupan dan tradisi dari masyarakat tertentu (partikular), dan, karenanya, akan berbeda pada tiap-tiap konteks. Dakuan pertama mengindikasikan kalau teori tersebut akan berlaku dan benar, secara bersamaan, di mana saja dan kapan saja. Sementara, dakuan kedua menekankan relasi kebergantungan (relative conditions). Pemaparan ini memberikan gambaran umum mengenai posisi metodologis dari masing-masing aliran. Di satu sisi, liberalisme berarti universalisme; di lain sisi, komunitarianisme berarti partikularisme.
Dalam konteks etika—pun dalam kajian liberalisme dan komunitarianisme, universalisme berarti kewajiban untuk memperlakukan semua orang secara setara (equal) dan imparsial (tidak terkait dengan identitas tertentu) sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Hal ini sama saja dengan menganggap ‘semuanya setara dengan satu’. Berkat imparsialitas di situ, orang perlu bertindak secara sama dengan siapapun dengan mengesampingkan latar belakang pribadinya. Misalnya, tradisi Jawa menganggap berjalan membungkuk di depan orang yang lebih tua merupakan bentuk kesopanan; sedangkan, di daerah yang lain, tidak demikian halnya. Maka, tanpa memperhatikan latar belakang lawan bicara kita, kita tidak perlu untuk membungkuk di depan orang yang lebih tua. Apa yang cukup kita lakukan, hanyalah menghormatinya.
Daniel Callahan, seorang peneliti yang juga pembela (proponent) universalisme, berpendapat demikian. Universal berarti nilai, aturan, prinsip, atau pandangan moral yang valid di bawah situasi dan kondisi tertentu untuk sebagian besar orang. Ia menambahkan ‘sebagian besar’ untuk membuka ruang bagi kemungkinan pengecualian. Dan adanya ‘kemungkinan’ itu sendiri tidak cukup untuk menggugurkan pandangan universalisme. Kendati demikian, pendapatnya tidak adekuat. Jika konsepsinya tentang ‘universal’ itu benar, konsekuensinya adalah contradictio in terminis. Bagaimana Callahan menyebut sesuatu itu universal jika terdapat pengecualian di dalamnya—mengingat term ‘universal’ bermakna keseluruhan.
Sementara, partikularisme berarti kewajiban untuk memperlakukan seseorang dengan mempertimbangkan preferensinya. Artinya, sikap kita terhadap yang satu akan berbeda dengan yang lain. Sehingga selalu ada penyesuaian antara ruang lingkup yang berbeda. Misalnya, kebiasaan sungkem (mencium tangan) dalam tradisi Jawa menjadi hal yang lumrah dan sopan untuk dilaksanakan. Namun, dalam tradisi yang lain, sangat mungkin sungkem tersebut tidak berlaku. Sehingga, ketika saya berada dalam lingkungan yang tidak menerapkan sungkem, saya tidak perlu melaksanakan hal tersebut; beda halnya, jika saya berada di lingkungan Jawa.
Perbandingannya adalah, dalam universalisme, orang tidak melakukan kode etis bukan karena ia tidak mau, namun semata-mata karena prinsip kesetaraan dan imparsialitas. jadi, partikularisme, tidak melakukan kode etis karena kode tersebut memang tidak berlaku di kondisi yang lain (preferensial). Sehingga, dalam partikularisme, ketidaksetaraan (inequalities) menjadi sesuatu yang inheren—toh tidak setara bukan berarti tidak adil, bukan? Namun, apa yang sebenarnya bermasalah dan universalisme itu? Bukankah, adalah sesuatu yang baik jika seseorang memperlakukan semuanya secara setara tanpa memandang suku, agama, dan ras, misalnya? Jika semuanya dihitung secara sama dengan satu, maka apakah setiap orang mau diperlakukan dengan setara? Terlebih lagi, perlakuan macam apakah yang universalisme sebut sebagai setara? Standar seperti apa yang menjadi tolok ukur dari kesetaraan?
Crime and Punishment karya Fyodor Dostoyevsky memberikan ilustrasi menarik tentang motif Raskolnikov dalam membunuh Alyona. Raskolnikov membayangkan dirinya sebagai seorang Napoleon ketika ia membacok perempuan tua itu. Sebelumnya, ia sempat mempertanyakan bagaimana bisa seseorang seperti Napoleon, Muhammad, Solon, Lycurgus, dan Orang-Orang Agung lainnya (Great Man) melakukan suatu tindakan yang umumnya (common sense) immoral, justru menjadi tindakan yang heroik jika Orang Agung yang melakukannya. Jika asumsi imparsialitas dan kesetaraan universalisme itu benar, maka bagaimana mereka merespon tindakan Raskolnikov itu? Raskolnikov baru berani dan mendapatkan justifikasinya ketika ia merefleksikan tindakan Orang-Orang Agung itu. Bukankah, kisah di samping menunjukkan jika implementasi universalisme itu membawa kita kepada kekacauan (chaos)? Jika universalisme masih bersikukuh bahwa prinsipnya benar, maka tindakan immoral, pada akhirnya, menjadi tindakan moral (baik)—sebagai akibat dari tidak adanya standar moral yang menyangkut ruang dan waktu tertentu.
Berada pada posisi yang lebih lunak, partikularisme menjadi alternatif dari universalisme. Partikularisme tidak ingin mengatakan bahwa prinsip A itu lebih benar daripada prinsip B, C, dan seterusnya. Alih-alih, yang penting daripadanya adalah ‘bagaimana kamu berdiri di posisiku?’ Artinya, tidak ada satu standar utuh dan mutlak yang menjadi kriteria kebenaran, dalam arti moral. Keterlibatan dan relasi komunitas dengan sosial menjadi faktor penentu di sini. Akan tetapi, bagaimana jika terdapat satu tindakan yang sama persis, namun di satu waktu ia dianggap baik, dan di waktu yang lain ia dianggap buruk—dalam kasus pencurian, misalnya? Jika seseorang berdebat mengenai kasus pencurian, apakah hal tersebut baik atau buruk secara moral. Mereka tidak dapat meninjau kasus tersebut melalui piranti rasional, dalam pengertiannya yang universal. Apa yang perlu mereka lakukan, adalah berusaha melihat kasus itu sebagaimana dia melihat kasus tersebut. Dengan demikian, persetujuan moral didapatkan bukan melalui proses deduksi rasional, melainkan induksi intuitif—pengambilan kesimpulan dari beragam kasus partikular yang secara intuitif baik atau buruk.
Kendati demikian, seseorang mungkin mengajukan bantahan bahwa komunitarianisme sedang membantah dirinya sendiri dalam metodologi partikularismenya. Jika yang valid adalah partikularisme, maka ia sebetulnya universalisme dengan pakaian yang berbeda. Akan tetapi, bantahan seperti tidak merobohkan metodologi komunitarianisme itu. Partikularisme tidak mengklaim bahwa segala-galanya bersifat partikular. Intensi partikularisme terletak pada caranya memandang realitas, bukan mereduksi realitas menjadi kenyataan yang fragmentaris.
Konsisten dengan Constituted Self, metodologi partikularisme ini juga menjadi salah satu piranti komunitarianisme dalam bangunan konseptualnya. Diri yang terbentuk melalui interaksi antar individu yang mengejawantah dalam komunitas itu memiliki pegangan nilai yang partikular. Artinya, komunitarianisme membuka ruang selebar mungkin bagi perbedaan dan pengakuan atasnya. Karenanya, posisi komunitarianis menjadi alternatif yang fleksibel nun berguna bagi kehidupan sosial yang konkret—tidak melulu teoritis.
Netralitas Negara
Perdebatan antara liberalisme dan komunitarianisme tidak berhenti di ranah teoritis atau etis saja. Persoalan yang hadir dewasa ini mencakup dimensi praktis atau politis dari perdebatan tersebut. Karenanya, kini problematika yang perlu mereka selesaikan, adalah ‘apa dan bagaimana implementasinya; serta apa konsekuensinya?’ Salah satu klaim umum komunitarianisme, adalah negara tidak dapat netral—tidak memihak siapapun. Namun, apa maksud dari ‘netralitas’ itu sendiri? Netral berarti tidak ikut campur atau memihak kepada siapapun baik saat sedang beradu argumen atau perang. Netral di sini praktis dapat berarti dua hal, menghindari konflik atau langkah preventif, yang tujuannya tidak lebih dari menjaga stabilitas suatu hubungan, baik itu politik atau sosial.
Sejalan dengan pengertian di atas, liberalisme (pun libertarianisme) menyatakan bahwa ‘netralitas’ menjadi unsur penting dari suatu negara. Sebab, hanya dengan itulah negara dapat menjamin dan menjaga kebebasan suatu individu. Selain itu, libertarianisme mendaku jika individu harus menentukan apa yang menjadi kebutuhan dan kebaikan bagi dirinya sendiri. Karenanya, individu memiliki beragam kebutuhan dan kebaikan. Dan apabila negara memilih untuk memenuhi kepentingan yang satu, maka tindakan negara mengandung presumsi atau prasangka untuk memperlakukan individu yang lain dengan sama (same)—yang mana hal ini melanggar kebebasan individu itu sendiri. Dengan demikian, sangat mungkin bagi negara untuk bertindak dengan tidak setimpal, sebab ia telah terkontaminasi dengan prasangka tentang apa yang ‘baik’ bagi warganya, sedangkan menurut keinginan individu yang lain tidak demikian halnya. Akan tetapi, terdapat satu hal yang luput dari konsep netralitas a la libertarianisme itu. Mereka lupa bahwa, selain terdapat keinginan individu, kebutuhan bersama juga ada.
Taylor pun turut mengajukan keberatan terhadap gagasan ‘negara harus netral’. Salah satunya, adalah netralitas itu mustahil. Sebagai contoh dalam kasus keluarga. Keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Namun, komposisi itu bisa kita pecah lebih kecil lagi, yakni orang dewasa dan anak-anak. Jika pretensi libertarianisme itu benar, bahwa negara harus netral, maka bagaimana negara akan menjaga kebebasan seorang anak sebatang kara yang juga yatim? Tidakkah negara menjadi semacam instansi asuransi kebebasan bagi warganya? Jika jawabannya adalah benar, maka negara harus ikut campur untuk menangani anak yatim tersebut. Dalam hal ini, negara telah melakukan tindakan yang secara moral baik, dan, karenanya, negara sudah tidak netral. Dan dalam banyak kasus lainnya, misalnya kemiskinan, tenaga kerja, kependudukan, dan semacamnya, negara tidak mungkin bersikap netral. Memberikan hak atau privilese terhadap warga negara sendiri dibandingkan warga asing juga menjadi bukti, sekali lagi, negara tidak mungkin netral.
Seorang liberalis mungkin masih bisa mengajukan bantahan terhadap pandangan Taylor. Stewart berargumen bahwa persis di situlah, seperti kemiskinan, pengasuhan anak yatim, dan sejenisnya, merupakan praktik dari netralitas negara. Sebab, menurutnya, tindakan negara itu netral sejauh ia menyediakan keamanan bagi ruang privat individu dan kebebasan politis, dan pelbagai proyek pelayanan sosial, seperti edukasi dan/atau kesehatan. Akan tetapi, dalam konteks ini, negara sebenarnya sudah menggunakan kacamata konseptual ‘publik’ atau ‘masyarakat’ dalam melayani warganya. Artinya, kendati demikian adanya, negara tidak memandang warganya semata sebagai individu yang sepenuhnya sama dan setara dalam hal kebutuhannya. Sangat sulit membayangkan kebutuhan bersama, semisal dalam konsep Unencumbered Self, mengingat mungkin saja beberapa individu tidak membutuhkan layanan pendidikan, atau pelayanan sosial lainnya. Satu-satunya tolok ukur yang pasti bagi individu liberal, adalah kebebasan, selesai—tidak lebih dari itu. Karenanya, satu-satunya proyek negara liberal yang mungkin bernilai netral, adalah penjaminan kebebasan. “Tidak ada jalan untuk menjadi netral. Liberalisme netral adalah suatu pandangan yang melangit (angelic view), yang tidak terhubung dengan dunia nyata di mana demokrasi berfungsi,” demikian ungkap Taylor.
Berbeda dengan liberalisme, komunitarianisme memiliki pendirian bahwa suatu negara mustahil netral dan, karenanya, ia (negara) membutuhkan kebutuhan bersama dan tidak berarti mengabaikan aspek liberal dari individu di dalamnya. Konsisten dengan Constituted Self dan partikularisme-nya, negara dalam pengertian ini seharusnya bersikap secara tidak setara terhadap warganya. Namun, negara perlu menyesuaikan dengan kebutuhan bersama itu. Akan tetapi, keberatan mungkin diajukan. Persoalannya adalah komunitas manakah yang menjadi prioritas atau standar bagi kebijakan suatu negara? Oposisi dari komunitarianisme akan menjawab: mayoritas. Bahwa komunitarianisme sama dengan mayoritarianisme (majoritarianism). Bahwa mayoritas melulu yang menarik perhatian pemerintahan. Lalu bagaimana nasib kelompok-kelompok kecil dan marjinal? Satu fakta yang pasti bahwa mengedepankan nilai-nilai yang mayoritas usung, tidak berarti membiarkan yang minoritas terpinggirkan begitu saja. Justru nilai-nilai mayoritas itu membantu negara untuk melacak kebutuhan bersama manakah yang masyarakat inginkan. Selain itu, komunitarianisme juga mengakui kebutuhan yang lain (minoritas) juga sama berartinya dengan mereka yang mayoritas.
Sebagai penutup, saya kembali pada persoalan utama tulisan ini, haruskah negara bertindak netral? Jawabannya jelas, tidak. Mengamini gagasan netralitas negara sama saja dengan merangkul kerancuan. Bagaimana cara pemerintah untuk menyediakan kebutuhan bersama, semacam fasilitas umum atau fasilitas sosial bilamana ia tidak memandang warganya sebagai suatu fragmen (komunitas) yang memiliki kebutuhannya yang tidak sama dengan yang lain? Sehingga bersikap tidak netral dan tidak setara tidak mengakibatkan ketidakadilan. Tidak seperti yang dibayangkan Rawls bahwa keadilan haruslah berupa kesetaraan [kesempatan] —komunitarianisme membuktikan sebaliknya, bahwa ketidaksetaraan justru membawa kepada keadilan yang responsif dan kontekstual. Karena alasan di samping, saya mengakui bahwa komunitarianisme memiliki posisi yang adekuat.
Indonesia kiranya menjadi contoh nyata bagaimana komunitarianisme berhasil teraplikasikan. Mengingat beragamnya suku, budaya, dan agama—tentunya lapisan masyarakat pula—yang ada di Indonesia, pemerintah berhasil memenuhi kebutuhan mereka. Misalnya, Indonesia memberikan kekuasaan otonomi khusus (daerah semi-otonom) bagi daerah-daerah tertentu yang memiliki nilai dan tradisi yang telah lama berkembang di daerahnya, seperti di Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah Indonesia memberikan privilese kepadanya berupa kebolehan menerapkan hukum Islam di Provinsi Aceh. Atau, contoh lainnya, Indonesia juga memberikan hak khusus terhadap Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memberlakukan sistem kesultanan di daerahnya. Dan dua daerah lainnya, seperti Provinsi Papua dan Papua Barat; serta Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kesemuanya itu diatur secara legal formal dalam perundang-undangan negara. Selain itu, pendirian Departemen Agama, atau Kementerian Agama juga menjadi bukti bahwa Indonesia mengakui keberadaan komunitas religius yang ada. Kendati dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur dan menyatakan secara eksplisit bahwa Indonesia merupakan negara komunitarian, namun melalui penjelasan pada bagian pembahasan, Indonesia selaras dan sesuai dengan ide-ide komunitarianisme.
Referensi
Abbey, Ruth, dan Charles Taylor. “Communitarianism, Taylor-Made: An Interview with Charles Taylor.” The Australian Quarterly 68, no. 1 (1996): 1–10. https://www.jstor.org/stable/20634713.
Bell, Daniel. “Communitarianism.” Dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy, disunting oleh Edward N. Zalta dan Uri Nodelman. Metaphysics Research Lab, Stanford University, 2024. https://plato.stanford.edu/entries/communitarianism/.
Callahan, Daniel. “Universalism & Particularism Fighting to a Draw.” The Hastings Center Report 30, no. 1 (2000): 37–44.
Cambridge Dictionary. “neutral.” Dalam Cambridge Dictionary. Cambridge University Press & Assessment 2024. Diakses 6 Juli 2024. https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/neutral.
———. “mother tongue.” Dalam Cambridge Dictionary. Cambridge University Press & Assessment 2024. Diakses 5 Juli 2024. https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/mother-tongue.
Chang, Ya Lan. “Communitarianism, Properly Understood.” Canadian Journal of Law & Jurisprudence 35, no. 1 (20 Februari 2022): 117–39. https://doi.org/10.1017/cjlj.2021.21.
Dancy, Jonathan. “Ethical Particularism and Morally Relevant Properties.” Mind 92, no. 368 (Oktober 1983): 530–47. https://www.jstor.org/stable/2254092.
Dixon, John, Rhys Dogan, dan Alan Sanderson. “Community and communitarianism: A philosophical investigation.” Community Development Journal 40, no. 1 (Januari 2005): 4–16. https://www.jstor.org/stable/44258925.
Dostoyevsky, Fyodor, George Gibian, dan Jessie Coulson. Crime and Punishment. Edisi Ketiga. W. W. Norton & Company, 1989.
Dryzek, John S., Bonnie Honig, dan Anne Phillips. “Introduction.” Dalam The Oxford Handbook of Political Theory, disunting oleh Goodin Robert E., 3–44. New York: Oxford University Press, 2006.
Etzioni, Amitai. “A Moderate Communitarian Proposal.” Political Theory 24, no. 2 (Mei 1996): 155–71. https://www.jstor.org/stable/192113.
———. “Communitarianism revisited.” Journal of Political Ideologies 19, no. 3 (2 September 2014): 241–60. https://doi.org/10.1080/13569317.2014.951142.
Frug, Gerald E. “Why Neutrality?” The Yale Law Journal 92, no. 8 (Juli 1983): 1591–1601. https://www.jstor.org/stable/796188.
Gewirth, Alan. “Ethical Universalism and Particularism.” The Journal of Philosophy 85, no. 6 (Juni 1988): 283–302. https://doi.org/10.2307/2026720.
Gooding-Williams, Robert. “W.E.B Du Bois.” Dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy, disunting oleh Edward N. Zalta dan Uri Nodelman. Metaphysics Research Lab, Stanford University, 2024. https://plato.stanford.edu/archives/sum2024/entries/dubois/.
Harruma, Issha, dan Nibras Nada Nailufar. “Daerah-daerah Khusus dan Istimewa di Indonesia.” Kompas.com, 16 Februari 2022. https://nasional.kompas.com/read/2022/02/16/01150071/daerah-daerah-khusus-dan-istimewa-di-indonesia.
Herry-Priyono, B. Kebebasan, Keadilan, dan Kekuasaan: Filsafat Politik and What It Is All About. Disunting oleh Karlina Supelli dan Angga Indraswara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2022.
House, James S., dan Jeylan Mortimer. “Social Structure and the Individual: Emerging Themes and New Directions.” Social Psychology Quarterly 53, no. 2 (Juni 1990): 71–80. https://www.jstor.org/stable/2786671.
Kymlicka, Will. “Liberalism and Communitarianism.” Canadian Journal of Philosophy 18, no. 2 (Juni 1988): 181–203. https://www.jstor.org/stable/40231605.
Lasch, Christopher. “The Communitarian Critique of Liberalism.” Soundings: An Interdisciplinary Journal 69, no. 1/2 (1986): 60–76. https://www.jstor.org/stable/41178365.
Levine, Amir, dan Rachel Heller. Attached: The New Science of Adult Attachment and How It Can Help You Find—and Keep—Love. New York: Penguin Group, 2010.
Mayer, Susan E., dan Christopher Jencks. “Growing up in Poor Neighborhoods: How Much Does it Matter?” Science 243, no. 4897 (1989): 1441–45. https://www.jstor.org/stable/1703125.
Merwe, W.L. van der, dan C. Jonker. “Liberalism, Communitarianism and the Project of Self.” South African Journal of Philosophy 20, no. 3–4 (28 Januari 2001): 271–90. https://doi.org/10.4314/sajpem.v20i3.31328.
Mulhall, Stephen, dan Adams Swift. Liberals and Communitarians. Edisi Kedua. Blackwell Publishing, 1996.
Neal, Patrick, dan David Paris. “Liberalism and the Communitarian Critique: A Guide for the Perplexed.” Canadian Journal of Political Science 23, no. 3 (September 1990): 419–39. https://www.jstor.org/stable/3228644.
Rawls, John. “Justice as Fairness: Political not Metaphysical.” Philosophy & Public Affairs 14, no. 3 (1985): 223–51. https://www.jstor.org/stable/2265349.
Rotenstreich, Nathan. “Universalism and Particularism in History.” The Review of Metaphysics 37, no. 1 (September 1983): 21–36. https://www.jstor.org/stable/20127960.
Sandel, Michael J. Liberalism and the Limits of Justice. Edisi Kedua. Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
Spennemann, Dirk H. R. “Turbans vs. Helmets: A Systematic Narrative Review of the Literature on Head Injuries and Impact Loci of Cranial Trauma in Several Recreational Outdoor Sports.” Sports 9, no. 12 (20 Desember 2021): 172–87. https://doi.org/10.3390/sports9120172.
Wellman, Christopher Heath. “Liberalism, Communitarianism, and Group Rights.” Law and Philosophy 18, no. 1 (1999): 13–40. https://www.jstor.org/stable/3505062.
Wit, Michael Dudok de, dan Pascale Ferran. The Red Turtle. France, Japan: Wild Bunch, Toho, 2016.
- Muhammad Hakim Muhyiddin#molongui-disabled-link