Abad pertengahan sebagian besar dianggap sebagai periode stagnasi dalam bidang sains. Sains abad pertengahan pernah dipandang sebagai sesuatu yang tidak pantas untuk dipelajari secara serius. Periode abad pertengahan sains dianggap sebagai budak teologi. Dalam rentang waktu itu, manusia dipaksa untuk mempelajari teologi yang tak banyak manfaatnya. Munculnya gerakan pencerahan memberikan angin segar bagi perkembangan sains. Namun, perlu diketahui bahwa kiranya tidak adil dan tidak tepat mengatakan serta menyimpulkan bahwa periode abad pertengahan adalah periode kegelapan. Pernyataan tersebut memberikan kesimpulan secara tidak seimbang. Dengan kata lain, hal tersebut mengungkapkan dan menampilkan sebagian saja dari sejarah pemikiran abad pertengahan. Tidak tepatlah kiranya mengangkat dan memperlakukan sebagian sebagai keseluruhan.
Sekitar pertengahan abad ke-20, Alistair Crombie menulis sebuah buku yang bertujuan untuk mengoreksi kesalahpahaman umum bahwa Abad Pertengahan merupakan masa kelam bagi sains dan penyelidikan alam. Penelitian Crombie telah meyakinkannya bahwa banyak hal yang telah dicapai pada abad-abad awal milenium kedua daripada yang diakui oleh para sejarawan dan ilmuwan lain pada umumnya. Apa yang disebut sebagai zaman kegelapan sebelum kelahiran ilmu pengetahuan modern, menurut Crombie, merupakan awal dari Zaman Pencerahan. Yang paling penting, menurutnya, adalah filosofi dan metodologi ilmiah yang dikembangkan di Universitas Oxford oleh matematikawan brilian Robert Grosseteste. Menurut Crombie, pada abad ke-13, mazhab Oxford, dengan Robert Grosseteste sebagai pendirinya, menandai dimulainya tradisi sains eksperimental modern (Eastwood, 1992).
Sejarawan lain membantah pendapat Crombie. Penilaian yang lebih baru oleh David Lindberg menganggapnya sangat ekstrem. “Tidak ada sarjana yang saya kenal yang menerima klaim Crombie bahwa Grosseteste adalah pendiri sains eksperimental,” tulis Lindberg (Lindberg, 2010). Crombie sendiri mengakui dalam tulisan-tulisan selanjutnya bahwa ia telah melebih-lebihkan kasusnya: “Beberapa ungkapan yang saya gunakan tentang sejauh mana kontribusi abad pertengahan terhadap struktur dan metode penelitian sains eksperimental modern sekarang menurut saya berlebihan.” Namun, Crombie tidak salah ketika mengatakan bahwa pencapaian intelektual pada awal abad pertengahan Eropa telah diabaikan dan bahwa usaha ilmiah pada Abad Pertengahan lebih kuat dan canggih daripada yang digambarkan secara umum. Sebagaimana disetujui oleh Lindberg, Crombie juga tepat sasaran dalam menyatakan bahwa Grosseteste adalah seorang “superstar” sains abad pertengahan, meskipun bukan penemu metode modern. Bagi mereka yang mengenalnya, Grosseteste adalah tokoh legendaris yang lebih besar dari kehidupan. “Sungguh, Grosseteste adalah salah satu pemikir ensiklopedis terbesar di dunia,” tulis penulis biografinya, Francis Seymour Stevenson, pada abad ke-19 (Siegfried, 2019).
Grosseteste dianggap sebagai seorang ahli di hampir semua bidang pengetahuan. Ia menulis risalah yang berpengaruh tentang suara, panas, komet, pelangi, dan optik. Ia juga seorang kosmolog awal yang mengusulkan skenario untuk menciptakan seluruh alam semesta Aristoteles, seperti serangkaian bola konsentris yang membawa planet-planet dan bintang-bintang di sekitar bumi (yang kemudian diyakini berada di pusat kosmik). Dalam mengusulkan mekanisme untuk membangun kosmos, Grosseteste juga tanpa disadari menguraikan skema yang mampu menciptakan multisemesta. Seperti halnya para ahli teori pada akhir abad ke-20 yang menyusun penjelasan tentang asal-usul kosmik yang mengimplikasikan adanya banyak alam semesta, upaya Grosseteste dalam menyusun teori asal-usul alam semesta versi abad ke-13 juga mengungkapkan cara untuk menciptakan banyak alam semesta yang berbeda.
Kehidupan Robert Grosseteste
Grosseteste lahir dari keluarga Anglo-Norman yang sederhana di daerah Suffolk, Inggris. Ia pertama kali muncul dalam catatan sejarah sebagai saksi piagam Uskup Lincoln, yang ditulis antara tahun 1189 dan 1192. Gelarnya sebagai Master of Arts (MA) menunjukkan bahwa ia telah memperoleh pembelajaran yang cukup untuk berhak mengajar. Gerald dari Wales memuji Grosseteste atas kemampuan membaca dan keahliannya yang luas dalam bidang bisnis, hukum, kedokteran, dan seni liberal. Para ahli telah mengajukan berbagai hipotesis berbeda mengenai kehidupan Grosseteste antara tahun 1200 dan 1230. Menurut beberapa para ahli, seperti Daniel Callus, Crombie dan McEvoy, dari sekitar tahun 1200 kemungkinan Grosseteste mengajar seni di Oxford, dan pada tahun 1209 belajar teologi di Prancis (McEvoy, 2000).
Grosseteste menjadi salah satu dari sedikit pemikir di Barat Latin yang menguasai bahasa Yunani. Berkat kemampuannya itu, ia banyak mengerjakan proyek-proyek penting, seperti menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Latin. Proyek pertama, yang dimulainya adalah menerjemahkan karya-karya teolog Yohanes dari Damaskus (1235). Kemudian, pada akhir tahun 1230-an dan awal 1240-an, Grosseteste beralih ke tulisan-tulisan Pseudo-Dionysius. Ia menyelesaikan terjemahan baru dari karya-karya Pseudo-Dionysius dan memberikan beberapa komentar. Selain itu, Grosseteste, pada tahun 1240-an menerjemahkan karya-karya Aristoteles. Ia menerjemahkan Nicomachean Ethics ke dalam bahasa Latin dan memberikan sedikit komentar atasnya. Grosseteste juga menerjemahkan bagian penting dari De Caleo karya Aristoteles dan komentar Simplicius tentangnya. Grosseteste meninggal pada Oktober 1253. Orang-orang Inggris sezamannya mengenangnya sebagai seorang yang saleh. Tiga upaya dilakukan untuk membuatnya dikanonisasi, yang terakhir pada tahun 1307, semuanya gagal (Crombie, 1961).
Karya-karya Grosseteste
Karya-karya filosofis: On Light (De Luce). Dalam karya ini, ia mengembangkan apa yang disebutnya sebagai metafisika cahaya. Bodily Movement and Light (De Motu Corporali et Luce). Karya ini memiliki hubungannya dengan On Light. Karya filosofis pendek lainnya adalah Tentang Potensi dan Aktus (De potentia et Actu), Tentang Penghentian Penyebab (De Statu Causarum), Tentang Keberlangsungan Sesuatu (De Subsistentia Rei), dan Tentang Proposisi Kebenaran (De Veritate Propositionis), Tentang Ketidakterbatasan Gerakan dan Waktu (De Finitate Motus et Temporis, 1230-an).
Karya-karya filosofis-teologis. Karya yang paling penting dan substansial dari Grosseteste adalah On Free Decision (De Libero Arbitrio) tentang argumen-argumen yang menentang eksistensi keputusan bebas (liberum arbitrium). Karya-karya lain yang lebih pendek adalah Tentang Kebenaran (De Veritate) dan Tentang Pengetahuan Allah (De Scientia Dei). Sebuah karya pendek lain adalah On the Order of the Emanation of Caused Things from God (De Ordine Emamandi Causatorum a Deo). Melalui karya ini, Grosseteste menyerang argumen bahwa suatu wujud yang abadi hanya dapat menciptakan makhluk yang abadi. Dalam sebuah suratnya kepada Adam Rufus Grosseteste menjelaskan bagaimana Allah adalah wujud dari segala sesuatu dan menjelaskan hubungan antara tubuh dan jiwa, serta keberadaan para malaikat. Karya lainnya adalah Tentang Bentuk Unik Segala Sesuatu (De Unica Forma Omnium) dan Tentang Kecerdasan (De Intelligentiis).
Karya-karya ilmiah. Tulisan-tulisan ilmiah Grosseteste yang mungkin ditulis selama dua dekade pertama abad ke-13 mencakup: On the Liberal Arts (De Artibus Liberalibus), On the Generation of Sounds (De Generatione Sonorum), dan On the Sphere (De Sphaera). Kemudian, Grosseteste menulis sejumlah karya ilmiah pendek termasuk Tentang Komet (De Cometis), Tentang Garis, Sudut, dan Angka (De Lineis, Angulis et Figuris), Tentang Sifat Tempat (De Natura Locorum), Tentang Pelangi (De Iride), Tentang Warna (De Colore), Tentang Perbedaan Lokal (De Diferentiis Localibus), dan Tentang Pergerakan Benda-benda Langit (De Motu Supercaelestium). Karya-karya On the Heat of the Sun (De Calore Solis), On the Tides (De Fluxu et Refluxu Maris), On the Generation of the Stars (De Generatione Stellarum), dan On the Impressions of the Air (De Impressionibus Aeris), yang disunting oleh Baur pada tahun 1912, kemungkinan besar tidak otentik. Dalam diskusi terbaru mengenai penanggalan karya-karya ilmiah Grosseteste, para ahli berpendapat bahwa dua karya pertama dari karya-karya tersebut kemungkinan ditulis oleh Adam dari Exeter, penerima surat pertama Grosseteste.
Karya-karya teologis: Tentang Penghentian Hukum Upacara (De Cessatione Legalium), Tentang Sepuluh Perintah Allah (De Decem Mandatis) dan Hexaæmeron. On the Cessation of the Ceremonial Laws (Tentang Penghentian Hukum Upacara) berargumen bahwa Inkarnasi akan terjadi bahkan tanpa kejatuhan manusia pada dosa. Sementara, On the Ten Commandents memberikan beberapa wawasan ke dalam pemikiran Grosseteste tentang etika, dan Hexaæmeron, karya teologisnya, mempertimbangkan secara rinci masalah keabadian dunia. Tentu saja, masih banyak karya-karya Grosseteste lain yang belum diuraikan dalam tulisan ini, seperti Khotbah-khotbah, Surat-surat, Komentar-komentar.
Kosmologi Cahaya
Grosseteste memahami narasi kosmologi bukan sebagai seorang astronom, yang tertarik untuk menyelidiki fenomena-fenomena alam, tetapi sebagai seorang filsuf alam. Para filsuf seperti Aristoteles telah mencari penjelasan fisika tentang gerak benda-benda langit, sementara Grosseteste mengambil langkah lebih jauh. Grosseteste mencari tahu bagaimana semuanya terjadi. Aristoteles memahami bahwa alam semesta itu kekal dan abadi, tanpa awal dan akhir. Grosseteste bekerja dalam kerangka teologi Kristen. Ia menjelaskan narasi kosmologi penciptaannya sendiri, yang dibangun di atas gagasan tentang cahaya sebagai prinsip pertama. Grosseteste beranggapan bahwa cahaya yang dipancarkan pada suatu titik akan memancar ke segala arah secara penuh. Cahaya, pada dasarnya memiliki sifat menyebarkan dirinya ke segala arah sedemikian rupa sehingga sebuah titik cahaya akan menghasilkan bola cahaya dengan ukuran berapapun secara instan, kecuali jika ada objek buram yang menghalanginya. Sifat cahaya itu menunjukkan kepadanya sebuah ide yang memiliki kemiripan dengan teori Big Bang tentang kelahiran alam semesta.
Dasar dari pemahaman Grosseteste tentang alam semesta adalah metafisika cahaya. Istilah “metafisika cahaya” dikemukakan oleh Clemens Baeumker pada tahun 1916 dan telah digunakan secara luas. Istilah ini merujuk pada keseluruhan lingkaran tema, arus pemikiran filosofis dan religius yang mengalir di seluruh budaya Eropa dari zaman kuno hingga ke zaman Renaisans. Aliran ini mencakup gagasan bahwa alam semesta fisik terdiri dari cahaya, sehingga semua karakteristiknya, termasuk ruang, waktu, makhluk tak hidup dan makhluk hidup, bola langit, dan bintang, adalah bentuk-bentuk berbeda yang diambil dari energi utama tunggal. Intuisi filosofis ini mengilhami penulisan Tractatusde Luce (Risalah tentang Cahaya) karya Grosseteste. Karya singkat ini berisi sebuah narasi kosmologi, yaitu sebuah penjelasan teoretis tentang bagaimana alam semesta fisik muncul dan mengambil bentuk seperti yang sekarang ini, atau seperti yang dipikirkan oleh Grosseteste. Dari ketiadaan, Yang Ilahi menciptakan satu titik yang darinya seluruh tatanan fisik berasal melalui perluasan atau ekspansi. Titik pertama yang tak berdimensi itu adalah cahaya. Ia adalah satu dan sederhana, yang mengandung materi implisit. Cahaya itu mengembang dengan cara memancarkan dirinya sendiri.
Apa yang disebut Grosseteste sebagai metafisika cahaya bertumpu pada penjelasan hylomorphic (bentuk-materi) tentang susunan metafisik benda-benda. Grosseteste menafsirkan filsafat alam Aristoteles dalam kaitannya dengan teori ini. Aristoteles secara standar dipahami sebagai pengusung gagasan tentang materi pertama dan bentuk pertama (first matter and first form). Grosseteste memperlakukan tubuh sebagai komposit dari materi pertama dan bentuk pertama. Bentuk ini, yang disebut ‘corporeity’, adalah bentuk yang menjadi dasar dari sesuatu sebagai tubuh. Grosseteste menganggap tubuh sebagai materi yang sederhana secara metafisik. Selain itu, tubuh juga memiliki bentuk-bentuk substansial. Dalam On Light, Grosseteste menganggap cakrawala atau bola langit terluar sebagai tubuh yang paling sederhana, karena hanya terdiri dari materi pertama dan bentuk pertama (Lewis, 2021).
Keaslian pemikiran Grosseteste tidak terletak pada penyajian doktrin tentang bentuk pertama dan materi pertama. Letak orisinalitas pemikiran Grosseteste pada identifikasi tentang bentuk pertama sebagai cahaya (Lux). On Light dibuka dengan argumen untuk mengidentifikasikan ini. Grosseteste menegaskan bahwa bentuk pertama dan materi pertama pada dasarnya adalah substansi yang sederhana. Grosseteste menyimpulkan bahwa cahaya adalah bentuk pertama. Cahaya memiliki kekhasan, yakni ia secara instan melipatgandakan dan menyebarkan dirinya ke segala arah, dengan demikian memperluas materi bersamaan dengan penyebaran dirinya itu. Kekhasan ini bertolak dari sifat cahaya itu yang pada dasarnya suka menggandakan dan menyebarkan dirinya ke segala arah. Sebuah bola cahaya dihasilkan secara instan dari sebuah titik cahaya. Berdasarkan teori ini, Grosseteste mengembangkan kosmologinya.
Pada awal waktu, Grosseteste menegaskan bahwa Yang Ilahi menciptakan bentuk pertama atau cahaya dalam materi pertama. Bentuk pertama dan materi pertama itu sendiri tidak dapat dibagi dan sederhana. Menurut Grosseteste, perkalian yang terhingga dari sesuatu yang sederhana tidak menghasilkan sesuatu yang memiliki ukuran (kuantum). Akan tetapi, perkalian tak terhingga (infinite) dari sebuah benda sederhana akan menghasilkan sebuah kuantum yang terhingga. Dengan demikian, melalui perkalian tak terhingga dari bentuk pertama dalam materi pertama, benda-benda yang diperluas, dan dengan demikian alam semesta fisik, dihasilkan. Untuk menjelaskan benda-benda dengan ukuran yang berbeda, Grosseteste menyatakan bahwa ada ketidakterbatasan dengan ukuran berbeda yang berada dalam rasio yang berbeda, numerik dan non-numerik (numerical and non-numerical). Menurut Grosseteste, cahaya dengan perkalian tak terhingga, dari dirinya sendiri memperluas materi ke dalam dimensi yang lebih besar dan lebih kecil yang berdiri satu sama lain dalam semua rasio, numerik dan non-numerik.
Grosseteste menggunakan gagasan tentang cahaya untuk menjelaskan asal-mula kosmos Aristoteles sebagai sistem bola langit berjajar yang mengelilingi empat bola sublunar. Menurut Grosseteste, penggandaan diri yang tak terbatas dari titik awal cahaya memperluas materi pertama yang diinformasikannya ke dalam bentuk bola, karena cahaya mendifusikan dirinya secara penuh. Bagian terluar dari materi bola yang dihasilkan, kemudian diperluas dan dijernihkan secara maksimal, sehingga membentuk bola terluar (atau yang pertama) yang disebut dengan, cakrawala. Karena cahaya pada dasarnya memiliki sifat suka melipatgandakan dirinya sendiri, sehingga tidak mengherankan jika cahaya dalam bola terluar mengalami hal yang sama, yakni terus melipatgandakan dirinya sendiri.
Sekarang, setelah menyebarkan dirinya ke luar, cahaya itu kembali lagi ke dalam menuju pusat dari semua bagian bola terluar. Hal ini terjadi karena ia telah menyebarkan dirinya ke luar sejauh yang ia bisa. Pada dasarnya, cahaya, sebagai bentuk substansial, tidak dapat eksis terpisah dari materi. Karena itu, cahaya yang diarahkan ke dalam ini menarik dengan sendirinya apa yang disebut Grosseteste sebagai spiritualitas materi dari bola terluar (the spirituality of the matter of the outermost sphere), dan dengan demikian lumen (Lumen, produk dari Lux) suatu tubuh, serta spiritualitas materi ini, bergerak ke dalam. Dalam proses bergerak ke dalam, lumen memusatkan materi yang ada di bawah bola terluar, sebuah bola kedua yang terdiri dari materi yang bagian-bagiannya akan diterangi/dijernihkan. Pada gilirannya, bola ini akan menghasilkan lumen, yang bergerak ke dalam dan memusatkan materi di bawahnya, serta menjernihkan/menerangi bagian terluar dari materi ini sehingga menghasilkan bola ketiga. Proses ini akan terus diulang hingga menghasilkan sembilan bola langit. Perlu diketahui bahwa setiap bola terdiri dari materi yang bagian-bagiannya tidak mampu diterangi lebih lanjut. Dengan kata lain, pada akhirnya, cahaya tidak mampu menghasilkan lebih banyak bola. Cahaya dari bola terdalam, yang berisi bulan, ternyata tidak memiliki kekuatan fisik yang cukup untuk menciptakan bola lain yang sempurna. Namun, cahaya itu menghasilkan api yang memberikan cahaya, yang darinya elemen-elemen lain, seperti udara, air, dan tanah, kemudian terbentuk. Semua materi yang tersisa ini, yang menciptakan Bumi sebagai bola pusat, ada dalam keadaan yang tidak sempurna. Semuanya tunduk pada perubahan, kecuali sembilan bola tersebut. Kesembilan bola tersebut tidak mengalami perubahan, dan tahan terhadap kerusakan.
Selain itu, Grosseteste juga menggunakan teori cahaya sebagai bagian dari penjelasannya tentang gerak benda-benda langit. Ia menjelaskan bahwa benda-benda langit hanya dapat bergerak dengan gerakan melingkar karena lumen di dalamnya tidak mampu melakukan penjernihan atau pengembunan, akibatnya tidak dapat memiringkan bagian-bagian materinya ke atas (untuk menjernihkannya) atau ke bawah (untuk mengembun). Pada dasarnya, bola-bola langit hanya dapat menerima gerakan dari sebuah kekuatan intelek, yaitu sebuah kecerdasan, yang dalam melemparkan pandangan pikirannya kembali ke dalam dirinya sendiri memutar bola-bola dengan sebuah rotasi fisik. Di sisi lain, dengan adanya elemen-elemen utama yang dapat dijernihkan dan dipadatkan, maka dapat mencondongkan lumen dalam dirinya sendiri, yakni menjauhkan dari pusat alam semesta, sehingga dapat menjernihkannya, atau ke arah pusat untuk memadatkannya, dan ini menjelaskan sifat alamiah dari benda-benda langit untuk bergerak ke atas dan ke bawah.
Grosseteste telah menceritakan sebuah narasi yang bagus tentang permulaan alam semesta, namun dari sudut pandang modern, narasi ini kurang spesifik secara kuantitatif. Hal ini tidak berarti, ia mengabaikan peran matematika, melainkan ia adalah salah satu ilmuwan abad pertengahan yang paling awal dalam menggunakan penerapan matematika pada penelitian fenomena alam. “Semua fenomena alam harus dinyatakan dengan menggunakan garis, sudut, dan angka, sebab jika tidak, akan sangat sulit untuk memahami penjelasannya,” tulisnya. Pemahaman akan cahaya (Lux) sebagai prinsip pertama membuatnya menganggap optik sebagai ilmu yang paling mendasar, dan optik hanya dapat dipahami melalui matematika, geometris, garis, dan sudut. “Konsepsi Grosseteste tentang sifat realitas fisik,” tulis Crombie, “membawanya pada keyakinan bahwa alam dapat dipahami dengan baik hanya melalui matematika.”
Implikasi Lebih Lanjut: Sebuah Refleksi
Di atas telah diuraikan secara gamblang narasi kosmologis Robert Grosseteste. Lantas, kita bertanya, sejauh mana kontribusi pemikiran kosmologis Grosseteste bagi dunia saat ini? Sebagaimana yang telah dibahas di atas bahwa dasar dari pemahaman Grosseteste tentang alam semesta adalah metafisika cahaya. Ia memahami cahaya sebagai prinsip pertama segala sesuatu. Grosseteste, seperti halnya kaum phusikoi selalu mencari arkhe segala sesuatu. Tujuannya adalah agar kita mengetahui dari mana kita berasal, bagaimana kita hidup, dan ke mana kita akan pergi. Selain itu, agar kita memiliki pegangan atau dasar ketika bertanya bagaimana dan mengapa semuanya ini terjadi. Dengan kita menetapkan prinsip pertama segala sesuatu, seperti cahaya dalam pemahaman Grosseteste, kita tidak perlu lagi bertanya tentang diri kita sendiri dan alam semesta ini. Tugas kita sekarang adalah memberikan interpretasi baru, sekaligus mengembangkannya sesuai dengan konteks zaman di mana kita hidup. Dengan demikian, kosmologi memberikan landasan reflektif tentang makna dan orientasi manusia di dunia. Karena itu, kita perlu mengetahui narasi alam semesta, dalam semua resonansi dan maknanya. Narasi alam semesta telah dinarasikan dengan berbagai cara oleh manusia di Bumi, dari periode awal hingga saat ini (Berry dkk, 1994).
Implikasi penting dari pemikiran Grosseteste adalah mendorong kita untuk memahami posisi dan orientasi hidup kita di dunia melalui narasi alam semesta. Ada dua implikasi penting ketika kita memahami orientasi hidup kita di dunia. Pertama, kita akan mengetahui dari mana kita berasal. Mengetahui asal-usul merupakan bagian penting dari perjalanan manusia di kosmos ini. Grosseteste telah menguraikan kepada kita bahwa prinsip segala sesuatu adalah cahaya. Grosseteste menggunakan gagasan tentang cahaya untuk menjelaskan asal-mula segala sesuatu. Dengan mengetahui dari mana kita berasal dapat membantu kita dalam menemukan posisi dan orientasi hidup selanjutnya.
Implikasi kedua, kita akan mengetahui bagaimana kita akan hidup di dunia ini. Setelah mengetahui dari mana kita berasal, selanjutnya, bagaimana kita memosisikan diri di dunia ini. Hal ini menyangkut relasi kita antara ciptaan lain. Perlu diketahui bahwa manusia hanyalah salah satu spesies dari sekian banyak spesies di jagat raya ini. Karena itu, tidak ada kesempatan bagi manusia untuk menyombongkan dirinya dan bersikap egois. Sikap antroposentrisme perlu dihindarkan. Manusia dipanggil untuk menumbuhkan kepekaan sakramental terhadap alam dan tanggung jawab partisipatif. Alam tidak dipahami hanya sebagai sumber daya material, tetapi juga dipahami sebagai rumah sejati yang menyediakan kondisi penting bagi evolusi kehidupan, dan pemeliharaan moralitas, serta menumbuhkan kepekaan akan Yang Ilahi. Yohanes Paulus II dan Patriark Ekumenis, dalam pernyataan bersama, menyatakan bahwa, “Orang-orang Kristen dan semua orang percaya lainnya memiliki peran khusus untuk mewartakan nilai-nilai moral dalam mendidik orang-orang dalam kesadaran ekologis, yang tidak lain adalah tanggung jawab terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap ciptaan.” Pemikiran kosmologis Grosseteste, kiranya mendorong kita untuk membangunkan kembali relasi antara manusia dan ciptaan lain sebagai tempat sakramental manifestasi diri Yang Ilahi. Selain itu, dapat mendorong transformasi menyeluruh cara pandangan terhadap dunia, identitas manusia, dan sikap manusia terhadap ciptaan lainnya.
Referensi
Eastwood, Bruce S. “On the Continuity of Western Science from the Middle Ages: A. C. Crombie’s Augustine to Galileo.” Isis 83, no. 1 (1992).
Siegfried, Tom. The Number of the Heavens: A History of the Multiverse and the Quest to Understand the Cosmos. Harvard University Press: Cambridge, Massachusetts London, England 2019.
Lindberg, David C. The Beginnings of Western Science: The European Scientific Tradition in Philosophical, Religious, and Institutional Context, Prehistory to A.D. 1450, Second Edition 2nd Edition. Chicago: University of Chicago Press; 2nd edition, 2010.
McEvoy, James. Robert Grosseteste: The Great Medieval Thinkers. Yew York: Oxford University Press, 2000.
Crombie, Alistair C. Robert Grosseteste and The Origins of Experimental Science 1100 – 1700. Oxford: The Clarendon Press, 1961.
Lewis, Neil. “Robert Grosseteste”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2021 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/fall2021/entries/grosseteste/>.
Thomas Berry dan Swimme, Brian. The Universe Story: From the Primordial Flaring Forth to the Ecozoic Era – a Celebration of the Unfolding of the Cosmos. San Francisco, Calif.: Harper San Francisco, 1994.
“The Common Declaration of Pope John Paul II and Ecumenical Patriarch Bartholomew (June 2, 2002),” dalam,http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/speeches/2002/june/documents/hf_jp-ii_spe_20020610_venice-declaration_en.html, diakses pada, 28 Januari 2023.