Di Indonesia pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto, term pembangunan selalu digaungkan sebagai salah satu bentuk langkah pemerintah memajukan bangsa dan negara. Proses pembangunan ini kemudian masih terus-menerus dilanjutkan oleh setiap pemerintahan yang berkuasa di Indonesia sampai sekarang. Seringkali proses pembangunan tersebut dijadikan sebagai program strategis nasional supaya proses pembangunan dapat berjalan dengan lancar.
Tulisan ini sederhana ingin meninjau ulang tentang konsep pembangunan yang digunakan pemerintah dan secara kritis. Kita akan mencoba mempertanyakan ke manakah arah pembangunan kita. Kita juga akan mempertanyakan proses modernisasi yang menggeser nilai dan tatanan kehidupan masyarakat atas nama pembangunan.
Makna Pembangunan
Pembangunan dalam setiap situasi dan kondisi sering diartikan sebagai usaha untuk membangun sesuatu yang bersifat fisik atau infrastruktur, seperti pembangunan jalan raya, jembatan, gedung, dan lain-lain. Pada tahap ini kita tentu telah menyempitkan makna dari pembangunan itu sendiri. Padahal makna dari pembangunan itu universal.
Oleh karena pembangunan pada dasarnya tidak hanya persoalan fisik itu maka, kiranya penting bagi kita untuk menyelaraskan pertumbuhan kemajuan negara, meski makna pembangunan yang dipahami secara umum tersebut tidaklah salah. Jadi secara umum makna pembangunan adalah setiap usaha mewujudkan hidup yang lebih baik sebagaimana yang didefinisikan oleh suatu negara “an increasing attainment of one’s own cultural values” (Tjokrowinoto, 1996: 1). Merujuk pada konsepsi kenegaraan kita, tujuan akhir pembangunan bangsa Indonesia adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, pembangunan sangat berkaitan dengan nilai, dan acap kali bersifat transendental, suatu gejala meta-disiplin, atau bahkan sebuah ideologi (the ideology of developmentalisme). Oleh karenanya, para perumus kebijakan, perencana pembangunan, serta para pakar selalu dihadapkan nilai (value choice), mulai pada pilihan epistemologi-ontologi sebagai kerangka filosofisnya, sampai pada derivasinya pada tingkat strategi, program, atau proyek.
Pokok pikiran pembangunan tertuju pada cita-cita keadilan sosial. Untuk itu, pembangunan butuh proses dan tahapan terukur. Tahapan itu harus dapat menyentuh berbagai bidang, yakni pertama ekonomi sebagai ukuran kemakmuran materi. Kedua adalah tahap kesejahteraan sosial. Ketiga adalah tahap keadilan sosial.
Kritik Pembangunan
Bagi saya, konsep pembangunan di era modern itu selalu hadir dengan dua sisi yang berbeda sekaligus saling bertolak belakang (ada pro dan kontra). Pembangunan itu di satu sisi menguntungkan, dan di sisi yang lain juga merugikan. Misalkan, dibangunnya gedung-gedung bertingkat atau hadirnya perusahaan-perusahaan industri tentu menguntungkan bagi kelompok tertentu, namun pada saat yang sama ada kelompok masyarakat yang tergusur tempat tinggalnya, kehilangan lahan, tereksploitasi alamnya, dan hak-hak mereka sebagai warga negara ditindas.
Kita bisa melihat kenyataan itu pada kasus Rempang serta kasus-kasus lain persoalan konflik lahan sebagai bukti kacaunya prospek pembangunan kita di Indonesia. Bahwa konflik lahan atau bahasa lain konflik agraria biasanya terjadi karena ada suatu aktivitas atas nama pembangunan. Konflik agraria bermula dari adanya perampasan lahan, tanah, atau sumber daya alam lainnya. Di Indonesia, dalam tiga tahun terakhir, kasus-kasus konflik agraria yang terdokumentasi paling banyak berasal dari “daratan”, dalam artian objek yang paling kerap dirampas berasal dari sektor-sektor seperti perkebunan, kehutanan, properti, dan infrastruktur yang merampas tanah, lahan, atau hutan.
Perampasan tanah, lahan, dan hutan sebagai obyek agraria yang diperebutkan merupakan awal dari pelanggaran hak, karena objek tersebut merupakan sumber kehidupan yang beririsan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak atas tanah, hak atas pangan, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas kebudayaan, hingga hak sipil dan politik seperti hak untuk hidup, hak atas kepemilikan suatu barang, dan hak atas harga diri manusia (Abdo, 2015; dalam Tura, 2017). Ketika konflik agraria meletus, pemenuhan hak untuk hidup layak dengan rasa aman pun juga terlanggar dengan ancaman kekerasan.
Seringkali persoalan konflik agraria terjadi pada masyarakat bawah. Tentu persoalan ini membuat masyarakat bawah selalu menerima dampak negatif dan dirugikan. Ketika persoalan tersebut itu terjadi maka negara gagal dalam menjalan tugas berupa melindungi warga negara, mensubsidi rakyat, memproteksi pelayanan pelayanan kebutuhan dasar sosial dan ekonomi. Jika negara tidak dapat memenuhi tugasnya, untuk apa negara dengan susah payah kita dirikan dan kita langgengkan?
Pada fenomena ini, mesti ada jalan alternatif sebagai bentuk ikhtiar dari negara atau pemangku kebijakan untuk memperkecil ruang akan terjadinya kerugian yang dialami masyarakat atas nama pembangunan. Pembangunan yang dilakukan harusnya melibatkan masyarakat secara langsung untuk turut serta dalam proses pembangunan yang dimaksud atau menjadi subjek dari pembangunan, bukan hanya dijadikan objek.
Negara dalam hal ini harus membaca apa yang menjadi tawaran menarik dari Mansour Fakih dalam bukunya Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Tawaran tersebut adalah bahwa negara perlu melakukan kajian dalam bentuk penelitian partisipasi (participatory research) agar interaksi dengan masyarakat terjadi selama proses pembangunan itu berjalan. Dengan begitu konsep pembangunan itu dapat mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara historis dan sosio-kultural.
Penelitian partisipatif bersandar pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki pembawaan lahir untuk mampu menciptakan pengetahuan (Mansour Fakih, 2002: 53). Dengan demikian hal ini dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk terlibat dan mengontrol pembangunan di setiap ruang dan waktu.
Modernisasi vs Tradisional
Pembangunan tentu dilakukan dengan prinsip untuk mencapai kemajuan, pembaharuan atau dengan istilah lain yakni “modernisasi”. Modernisasi berkaitan dengan perubahan masyarakat dengan segala pola kehidupannya menuju ke tatanan yang lebih modern. Perubahan ini seringkali menggeser kehidupan masyarakat yang masih tradisional dengan dalil tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Menanggapi terjadinya benturan antar term tradisional dan modern, beberapa intelektual melihat bahwa dalam mengkaji masyarakat perlu pembagian paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Misalkan, Jurgen Habermas seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman abad 20-an, generasi kedua dari mazhab frankfurt (Mansour Fakih, 2002: 59) yang membagi paradigma ilmu-ilmu sosial menjadi tiga paradigma, diantaranya:
Pertama, paradigma positivisme adalah tradisi ilmu sosial yang mengambil pendekatan ilmu alam dalam melihat cara kerja alam. Pengikut paradigma ini percaya bahwa ilmu sosial harus didekati dengan metode ilmiah yaitu objektif dan bebas nilai. Kedua paradigma interpretatif, paradigma ini berasal dari tradisi filsafat yang lebih menekankan minat untuk memahami masyarakat. Ketiga paradigma kritis, paradigma ini lebih dipahami sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap ketidakadilan.
Dalam rangka melanggengkan agenda modernisasi untuk menggeser pengetahuan masyarakat yang masih tradisional, maka masyarakat harus dipaksakan untuk modern mulai dari paradigma mereka sampai kepada gaya hidup sehari-hari. Proses modernisasi semacam ini berangkat dari asumsi bahwa masyarakat akan berjalan dari tradisi menuju modern. Hal demikian merupakan paradigma yang sangat positivistik. Paradigma semacam ini melihat tradisi sebagai suatu penghalang modernisasi dan masalah yang harus dipecahkan.
Hubungan antara modernisasi dan tradisi pada dasarnya merupakan hubungan yang menempatkan tradisi dan masyarakat adat sebagai objek untuk dimodernkan. Kebanyakan orang sudah terhegemoni dengan paradigma barat. Sehingga seringkali kebanyakan orang berpikir kalau yang berbau tradisi dan adat itu adalah sesuatu yang sudah ketinggalan zaman, masyarakatnya dilihat sebagai masyarakat yang masih primitif.
Mansour Fakih dalam bukunya Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (2002) menegaskan bahwa ideologi modernisasi yang banyak dianut oleh gerakan pembangunanisme di Indonesia sebetulnya telah tiba pada titik yang rapuh sekaligus mengerikan. Sebab, indikator tentang “modern” atau “maju dan berperadaban” adalah tentang Barat. Para penganut ideologi modernisasi dengan arogan menempatkan komunitas yang digerakkan oleh nilai-nilai leluhur (seperti masyarakat adat) sebagai masyarakat yang masih berada di tahapan perkembangan paling buntut. Dengan demikian, masyarakat adat selalu dipandang sebagai masyarakat “terbelakang” yang perlu ditransformasi atau disesuaikan dengan yang “modern”.
Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi kelangsungan pembangunan kita dan masa depan kehidupan masyarakat. Kekhawatiran serupa dirasakan oleh Hans Sachs (1949-1976) seorang seniman dan penyair asal Jerman bahwa bukanlah kegagalan developmentalism atau kegagalan modernisasi yang harus dikhawatirkan, melainkan justru keberhasilannya. Karena keberhasilan modernisasi yang diyakini Sachs akan membawa pada suatu dunia tunggal, dunia dari perspektif barat.
Referensi
Fakih, M. 2002. Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta. Penerbit: Pustaka Pelajar.
Fakih, M. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta. Penerbit: Pustaka Pelajar.
Tjokrowinoto, M. 1996. Pembangunan, Dilema, dan Tantangan. Jakarta. Penerbit: Pustaka Pelajar.
Tura, H. A. 2017. Linking Land Rights and the Right to Adequate Food in Ethiopia: Normative and Implementation Gaps. Nordic Journal of Human Rights, 35 (2), 85-105.