5–8 minutes

Melihat Kecemasan Status Sosial di Indonesia bersama Alain de Botton

Diperlukan kesunyian untuk merefleksikan diri sendiri dalam dunia yang makin riuh dan cepat ini. Diperlukan pula kesadaran, baik personal maupun struktural, agar hidup tak terjerembab pada kecemasan yang tak berkesudahan.

Ilustrasi Masyarakay - Artikel Ainu Rizqi

Keriuhan di media sosial terkait keadaan negara seakan tak pernah berhenti. Sampai-sampai saya pernah menjumpai seseorang yang mengenakan kaos bertuliskan, “Kabar buruk setiap hari dikirim oleh negara.” Tak cukup itu, survei kesehatan mental dari I-NAMHS (2022) juga menyatakan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental.

Bahkan Kompas (2025) menurunkan artikel yang menyatakan bahwa gangguan kesehatan mental atau kejiwaan diperkirakan akan meningkat beberapa tahun ke depan. Peningkatan tersebut bisa terjadi akibat kecanduan terhadap judi online (judol) serta ketidakstabilan ekonomi yang menyebabkan tekanan finansial. Merebaknya fenomena judol dan ketidakstabilan ekonomi itu jika ditarik lebih jauh merupakan konsekuensi dari sistem hari ini dan kehidupan sosial yang tak sehat.

Kehidupan yang makin kompetitif, gaya hidup yang telah terstandarisasi oleh standar yang rapuh & semu, serta melihat keadaan negara yang makin tak menentu—seperti korupsi, arogansi pejabat, perampasan ruang hidup, dan keadilan yang tak menemukan titiknya—membuat masyarakat di Indonesia rentan disergap kecemasan. Tak salah jika filsuf Alain de Botton dalam karyanya Status Anxiety (2004) menyebutkan bahwa ada suatu fenomena terkait ini yang ia sebut dengan kecemasan status sosial.

Kecemasan Status sosial: Konsep dan Akar Masalah

Menurut Alain de Botton (2004), kecemasan status sosial adalah perasaan gelisah yang muncul ketika kita khawatir tidak dihargai atau dianggap “kurang” oleh masyarakat. Alain de Botton juga mendedah bahwa sumber-sumber dari kecemasan status sosial berasal dari ketiadaan cinta, ekspektasi masyarakat yang tinggi, meritokrasi, snobisme—sikap atau perilaku seseorang yang menetapkan nilai hanya berdasarkan satu aspek dangkal, seperti pekerjaan, kekayaan, gelar, atau jabatan—dan yang terakhir ialah ketergantungan seseorang pada pendapat orang lain untuk membentuk harga diri.

Perasaan yang kerap membandingkan diri dengan orang lain atau merasa harus berkompetisi dengan orang lain, terutama dalam hal status sosial, dapat menimbulkan rasa cemas. Kecemasan status sosial tersebut pada gilirannya akan membuat seseorang mengupayakan apa saja, bahkan menghalalkan beragam cara agar ia dapat mendapatkan status yang baik menurut standar umum.

Jika kita eksplorasi lebih jauh, fenomena kecemasan status sosial ini bukan hanya persoalan personal, melainkan juga sistemik-struktural. Mengapa demikian? Kita tahu bahwa korupsi di Indonesia seakan telah membudaya. Selain itu gaya hidup pejabat yang elit dan bermewah-mewahan, sistem yang tidak adil, di mana kesuksesan seseorang bergantung pada koneksi dan cara-cara yang tidak etis—bukan karena kualitas seseorang. Hal tersebut merupakan faktor-faktor yang menyebabkan kecemasan status sosial dapat merebak pada masyarakat.

Dalam masyarakat kiwari yang menekankan meritokrasi—gagasan bahwa kesuksesan bergantung pada kemampuan pribadi—manusia kerap merasa bertanggung jawab atas status kita masing-masing.

Namun, ketika sistem sosial dan pemerintahan yang diwarnai ketidakadilan serta sistem yang korup, maka narasi meritokrasi ini gagap. Korupsi, kolusi, hingga nepotisme menciptakan ketimpangan. Segelintir orang akan menikmati kekayaan dan kekuasaan melalui cara-cara yang tidak etis. Sementara itu, kebanyakan merasa tertinggal meski telah bertungkus-lumus bekerja. Hal ini yang memicu kecemasan semakin menjadi-jadi karena kesuksesan tak lagi berkaitan dengan kejujuran maupun kompetensi, melainkan kecurangan dan kecurigaan.

Alain de Botton menjelaskan bahwa kecemasan status sosial ini diperparah lagi dengan budaya konsumerisme dan media yang secara gamblang memamerkan gaya hidup mewah sebagai keberhasilan. Dalam konteks Indonesia tentu tak asing lagi bagaimana para pejabat hidup bermewah-mewahan. Bahkan banyak pula influencer yang memiliki gaya hidup sedemikian mewah. Hal ini menyebabkan masyarakat merasa tertekan untuk mengejar standar keberhasilan yang semu dan tak realistis tersebut.

Ironisnya, masyarakat juga kehilangan kepercayaan pada institusi yang seharusnya menjamin keadilan dan kesejahteraan. Sebagai akibatnya, maka rendah diri, keputusasaan, dan iri dengki menjadi lumrah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebab kita tahu, bahwa sistem yang ada hari ini tidak mendukung atau bahkan jauh panggang dari api untuk segala usaha mereka.

Melihat Indonesia dan Kecemasan Status Sosialnya

Secara mudah kita dapat menemukan fenomena-fenomena ini di Indonesia, terutama pada generasi muda di perkotaan. Media sosial juga tak kurang-kurang menampilkan gaya hidup pejabat hingga influencer yang tidak mencerminkan realitas mayoritas. Sementara itu, berita juga tak henti-hentinya memberitakan tindak korupsi, penyelewengan dana publik, hingga gaji pejabat yang terbilang fantastis, benar-benar menciptakan kesan bahwa kesuksesan besar hanya mungkin didapatkan melalui cara-cara yang tidak etis.

Tak heran jika banyak masyarakat yang tergiur mendapatkan kekayaan dengan cara instan pula, seperti judi online, menipu, atau meleburkan diri pada pinjol tanpa mempertimbangkan keadaan. Mirisnya lagi, keadaan tersebut membuat banyak generasi muda yang makin pesimis pada kehidupannya di hari esok. Survei dari ISEAS-Yusof Ishak Institute (2025) menuturkan bahwa anak muda di Indonesia paling pesimistis terhadap situasi politik dan ekonomi negaranya dibanding anak muda ASEAN lainnya.

Hal itu tak lain dan tak bukan disebabkan oleh pola pemerintahan yang tak menjunjung tinggi integritas dan kejujuran serta sistem sosial yang timpang. Perasaan pesimistis itu juga sebuah konsekuensi logis dari kecemasan status sosial yang telah menggurita pada masyarakat. Dengan demikian diperlukan upaya-upaya bersama, baik struktural maupun personal, guna mengupayakan kehidupan bersama lebih baik ke depannya.

Sepercik Solusi dari Alain de Botton dalam Konteks Indonesia

Kendati kecemasan status sosial ini telah nampak mewabah di Indonesia, bukan berarti hal itu tak dapat diredam dan disembuhkan. Alain de Botton dalam hal ini menawarkan beberapa cara untuk meredakan kecemasan status sosial tersebut.

Pertama, filsafat. Dalam kecemasan status sosial yang bersumber dari banyak hal, di antaranya ketergantungan terhadap pendapat orang lain, ekspektasi, hingga rasa tidak dicintai, filsafat cukup ampuh untuk meredakan keadaan tersebut. Epictetus, misalnya, ia mengajarkan bahwa nilai seseorang itu tidak berasal dari pujian orang lain, tetapi dari kebenaran dan kebebasan dari rasa takut. Filsafat juga mengajak kita untuk mengkritisi sistem nilai yang hari ini telah mapan.

Kedua, seni. Melalui seni, kecemasan status sosial dapat diredakan karena seni mengangkat martabat orang biasa. Kita lihat, betapa banyak karya seni yang mengangkat orang-orang biasa. Dalam lukisan kita tahu karya-karya dari Djoko Pekik; dalam sastra kita dapat menemui karya-karya dari Pramoedya Ananta Toer, Sindhunata, Eka Kurniawan, dan banyak lainnya. Seni juga menunjukkan bahwa pencapaian sosial itu suatu hal yang amat rapuh, bahkan tragis. Oleh karenanya seni memberi tempat dalam sejarah bagi siapa saja yang tergilas oleh sejarah. Melalui seni kita tak merasa sendirian dalam menghadapi penderitaan.

Ketiga, politik. Bagi banyak orang, politik merupakan suatu yang kotor dan berlumur darah. Namun, dalam hal ini bukanlah politik yang demikian. Politik, dalam hal cara meredakan kecemasan status sosial, mengingatkan bahwa sistem adalah buatan manusia. Dari politik juga kita dapat mengetahui bahwa masalah status sosial acap kali bukanlah problem pribadi, melainkan struktur sosial-lah yang membentuknya. Dengan demikian, melalui politik memungkinkan kita memiliki ruang untuk melawan sistem yang tidak adil.

Keempat, agama. Bagi Alain de Botton, agama dapat berfungsi sebagai pereda kecemasan status sosial. Hal itu dikarenakan agama mengajarkan bahwa semua manusia setara di hadapan Tuhan. Agama juga memiliki sistem penghakiman bahwa yang berhak menilai manusia itu hanya Tuhan, bukan manusia.

Kelima, bohemia. Kecemasan status sosial acap kali menjadi-jadi dikarenakan tatanan sosial yang memiliki standar yang cukup tinggi. Bohemia sendiri merupakan gaya hidup yang menolak norma-norma sosial arus utama. Dalam konteks ini, bohemia merupakan dunia bagi para seniman, penyair, filsuf pinggiran, aktivis, serta mereka yang gandrung pada kebebasan untuk keaslian, kreativitas, dan kebebasan batin. Dalam konteks Indonesia, bohemia semacam ini dapat kita temukan dalam komunitas-komunitas seni, literasi, teater, atau lingkar kolektif yang jarang terjamah media arus utama.

Melalui pandangan Alain de Botton, agaknya kita bisa mulai meraba-raba diri sendiri. Apakah kita telah terjangkiti kecemasan status sosial? Jika sudah, lantas dari mana kita harus meredamnya? Diperlukan kesunyian untuk merefleksikan diri sendiri dalam dunia yang makin riuh dan cepat ini. Diperlukan pula kesadaran, baik personal maupun struktural, agar hidup tak terjerembab pada kecemasan yang tak berkesudahan. Maka, bagaimanakah kita harus bersikap?

Comments

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Baca Juga