Beberapa waktu yang lalu di dusun Sumbergentong, Desa Klepu, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang telah terjadi perkelahian. Pertikaian tersebut terjadi di antara kalangan masyarakat Madura yang kerap dikenal sebagai carok. Mengutip berita dari jawapos.com, perkelahian itu mengakibatkan dua orang meninggal dunia. Dua korban tersebut merupakan ayah dan anak yang tengah membersihkan kebun tebu. Perkelahian itu dilatarbelakangi oleh sengketa tanah bengkok oleh kepala dusun lama dengan yang baru. Para pelaku kini telah diproses secara hukum.
Peristiwa tersebut seakan menciptakan sebuah pertanyaan tentang apakah gunanya carok, jika hanya menimbulkan korban jiwa. Guna menjawab pertanyaan tersebut kita dapat merujuk pada tulisan A. Latief Wiyata dalam bukunya Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Pada kajiannya tersebut Latief menerangkan bahwa carok diartikan sebagai pembunuhan antar laki-laki, pelecehan harga diri seseorang khususnya berhubungan dengan perempuan, perasaan malu, dan perasaan bangga bagi pemenang duel tersebut.
Dalam sebuah artikel tirto.id yang mengulas karya Latief, diterangkan bahwa carok merupakan kebudayaan yang baru dikenal pada abad ke-18. Kebudayaan tersebut muncul karena letak Madura yang jauh dari pusat pemerintahan VOC di Surabaya. Hal ini menyebabkan penegakkan aturan yang ada tidak optimal. Jadilah setiap orang menyelesaikan masalahnya sendiri dan carok menjadi salah satu opsi.
Budaya carok seiring waktu menimbulkan anggapan tidak baik dari masyarakat non-Madura. Pernyataan tersebut merujuk pada kajian dari Muwaffiq Jufri dalam jurnalnya berjudul Nilai Keadilan Dalam Budaya Carok. Budaya carok dianggap sebagai perilaku yang menyimpang dan biadab karena dianggap tidak memperhatikan sikap kemanusiaan. Padahal carok sendiri merupakan langkah terakhir dalam menyelesaikan masalah. Sebelum itu pihak-pihak yang terlibat melakukan musyawarah baik dengan pihak keluarga maupun dengan lawan. Jikalau musyawarah tersebut tidak membuahkan hasil barulah carok diadakan. Ketika jalan carok telah dipilih berarti pihak-pihak yang terlibat telah melewati tahap-tahap mediasi yang dan paham akan konsekuensinya.
Guna memahami budaya carok kita sedapat mungkin untuk melihat tahapan-tahapannya secara utuh. Hal tersebut berguna untuk menghindarkan kita dari penilaian sepihak. Carok sendiri harus diakui merupakan salah satu cara orang Madura dalam mengekspresikan identitas kelompoknya. Dengan begitu carok adalah sebuah kebudayaan yang kaya akan makna-makna sosial. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa budaya carok berkontradiksi dengan hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Pernyataan tersebut merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bab VI tentang Perkelahian satu lawan satu pasal 184 ayat dua dan tiga.
Permasalahan carok pada masyarakat agar tidak menimbulkan korban jiwa lagi dibutuhkan sistem preventif khusus. Hal ini merujuk pada kajian dari W.P. Djatmiko berjudul Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal. Mengoptimalkan peran ulama ulama atau kiai guna menjunjung tinggi ajaran agama Islam yang syarat akan kedamaian. Sebenarnya mereka merupakan faktor penentu perubahan budaya di masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi karena masyarakat Madura meyakini konsep bapa’ babhu’ ghuru rato. Konsep tersebut mengharuskan orang Madura untuk patuh pada kedua orang tua, ulama, dan sistem birokrasi yang berlaku.
Selain memaksimalkan peran kiai guna menjadi agen budaya agar tidak ada korban yang berjatuhan. Sangat penting untuk juga menggiatkan mediasi lewat Lembaga Musyawarah Adat. Lembaga informal seperti ini dapat menjadi salah satu opsi masyarakat yang hendak mencari keadilan namun terkendala belum adanya elemen penegak hukum di daerahnya. Lembaga Musyawarah Adat sangatlah efektif apabila ditempatkan di daerah rawan konflik. Tentunya lembaga ini sudah sangat memahami proses penyelesaian masalah dalam masyarakat yang masih tradisional (Djatmiko,2019).
Peran pendidikan sangat vital bagi upaya rekulturasi budaya carok. Pendidikan berfungsi memberikan pemahaman yang utuh pada generasi muda agar dapat berpikiran terbuka. Salah satu contoh yang dapat kita telaah adalah lewat kajian Zainuddin Syarif dalam jurnalnya berjudul Rekulturasi Pendidikan Islam di Tengah Budaya Carok di Madura. Beliau melakukan penelitian di Desa Bujur, Kecamatan Batumarmar, Kabupaten Pamekasan, Madura. Dalam kajiannya tersebut diterangkan bahwa lembaga pendidikan Islam banyak diminati di daerah itu melebihi lembaga pendidikan umum .
Dominasi dari lembaga pendidikan Islam pada akhirnya membentuk generasi muda untuk memiliki preferensi lebih baik berkaitan dengan budaya kekerasan. Hal tersebut tergambar dari orientasi lembaga pendidikan Islam apabila ditinjau dari visi dan misi yang tertera. Jikalau dicermati secara garis besar orientasi lembaga pendidikan Islam adalah membentuk generasi yang memiliki akhlak mulia, paham terhadap aturan agama, serta insan yang bertanggung jawab. Namun proses internalisasi nilai-nilai keteladanan bukan hanya tugas lembaga pendidikan saja , melainkan juga dibutuhkan peran orang tua. Pola komunikasi lembaga pendidikan Islam dan orang tua pada anak juga harus dua arah. Hal ini untuk menjadikan nilai-nilai yang diajarkan dapat diterima dengan optimal baik dari pengajar maupun murid (Syarif Zainuddin,2014).
Terakhir penulis hendak mengingatkan kembali untuk dapat lebih bijak dalam menilai sebuah kebudayaan. Dengan begitu kita dapat mengambil pelajaran positif dari kebudayaan yang ada sebagai dasar perbaikan ke depannya.
Daftar Pustaka
Antara.2021. “Dua Tewas akibat Carok, Polres Malang Tangani Kasusnya”. https://www.jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/29/01/2021/dua-tewas-akibat-carok-polres-malang-tangani-kasusnya/. Dikutip 11 Februari 2021
Djatmiko, W. P. “Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal.” Jurnal Hukum Progresif 7.1 (2019): 40-63.
Jufri, Muwaffiq. “Nilai Keadilan dalam Budaya Carok.” Jurnal YUSTITIA 18.1 (2019).
Syarif, Zainuddin. “Rekulturasi Pendidikan Islam di Tengah Budaya Carok di Madura.” KARSA: Journal of Social and Islamic Culture 22.1 (2015): 114-136.
Wibisono Nuran.2016.”Masih Ada Carok di Madura”. https://tirto.id/masih-ada-carok-di-madura-b5l2. Dikutip 11 Februari 2021
Wiyata, A. Latief. Carok; Konflik Kekerasan & Harga Diri Orang Madura. Lkis Pelangi Aksara, 2002.
Dion Faisol Romadhon
Mahasiswa Antropologi Universitas Airlangga