Stoikisme adalah pandangan filsafat yang berkembang pada zaman Helenistik. Stoikisme memfokuskan diri kepada pengajaran filsafat sebagai tingkah laku hidup. Tujuan utama Stoikisme adalah mencapai ketentraman hidup atau ataraxia. Untuk mencapai ketentraman hidup ini, Stoikisme menganjurkan suatu latihan dasar mengenai pembedaan atas apa yang tergantung kepadaku dan apa yang tidak tergantung padaku. Dengan rasionalitasnya, manusia diharapkan bisa bersifat teliti dalam membedakan mana yang memang merupakan kenyataan dan mana yang merupakan representasi tidak-tidak yang mereka buat. Manusia diharapkan bisa bersifat indifferent menerima secara siap hal-hal yang akan ataupun sudah ia hadapi. Kebahagiaan yang diajukan Stoikisme ini menuju kepada perasaan tenang dan bebas dari masalah. Stoikisme mengajarkan kita untuk tidak terlekat kepada representasi maupun emosi berlebih yang jelas dapat membuat kita menjadi kecewa. Dengan melihat penjelasan singkat mengenai Stoikisme di atas, lantas kita akan bertanya-tanya bagaimana pandangan Stoikisme terhadap cinta? Bukankah cinta merupakan keterikatan emosi yang bukan merupakan wujud representasi logis? Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian mengenai cinta dalam Stoikisme.
Stoikisme sering disalah artikan sebagai suatu ajaran yang bersifat dingin dan sama sekali tidak mempunyai emosi. Namun, Stoikisme sebetulnya mengakui bentuk-bentuk emosi positif. Salah satunya adalah cinta. Untuk memahami cinta dalam Stoikisme, kita harus mengerti mengenai permasalahan mendasar mengenai cinta. Menurut Becker, ada dua permasalahan mendasar untuk memahami cinta Stoik. Pertama-tama cinta sering dikaitkan dengan suatu jenis mekanisme pelepasan cepat yang direkomendasikan oleh Epictetus[1]. Epitectus merekomendasikan untuk mengganti istri dan anak-anak yang hilang, seperti halnya seseorang mengganti cangkir teh yang pecah. Dalam artian ini, orang bijak seharusnya bisa melepaskan orang luar dengan cepat sehingga kesedihan atau penderitaan karena kehilangan tidak menjadi masalah. Stoik mengajarkan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai pembebasan semacam ini adalah dengan sedikit banyak terpisah dan tidak mencintai dari awal. Hal ini akan membuat orang berpandangan bahwa Stoa merupakan orang yang menolak suatu hubungan aspek eksternal. Karena hubungan dengan aspek eksternal ini merupakan aspek mendasar pada cinta, orang-orang juga berpendapat bahwa Stoa menolak apa yang kita sebut sebagai cinta.
Masalah kedua adalah dengan mencocokkan “gagasan cinta pada umumnya” dengan gagasan Stoik mengenai cara pemantauan emosi secara intelektual.[2] Perlu diingat bahwa seorang Stoik harus memastikan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan representasi apapun. Mereka harus memandang dua arah mengenai apa yang pada dasarnya memang berharga atau nyata dan respons afektif apa yang pantas dilakukan. Respons afektif yang dilakukan ini masih harus dalam area yang sehat secara psikologis, namun juga konsisten dengan representasi kita mengenai apa itu yang benar.
Stoikisme tetap menganggap hubungan sosial dengan orang lain itu penting sebagaimana hal ini berguna secara fundamental untuk kesehatan psikologis manusia. Hubungan sosial ini terjadi dalam lingkup oikeosis. Oikeosis di sini berguna sebagai suatu wadah bentuk kewajiban kita terhadap orang lain. Bahkan, seorang stoik dituntut peduli dengan orang lain demi kepentingan orang lain, bukan kepentingannya. Stoikisme juga memandang hubungan sosial dengan orang lain sebagai kategori katekon. Hubungan sosial ini memanglah tidak tergantung kepada diriku, tetapi layak dijalani.[3] Hubungan sosial dengan orang lain menjadi hal yang cukup penting dalam Stoikisme. Bahkan dengan adanya suatu kewajiban yang menuntut, kita dapat mengartikan bahwa hubungan sosial dalam stoikisme juga bisa dianggap sebagai salah satu wujud cinta. Tuntutan kewajiban stoikisme ini juga dapat mengartikan pemahaman bahwa cinta stoik ini mengandaikan orang lain ini sebagai bagian yang satu dengan kita.
Untuk mempermudah penjelasan ini, kita dapat mengandaikan seorang bapak yang memiliki istri dan anak. Jika bapak dari keluarga ini adalah seorang Stoik tentunya bapak ini dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarganya secara mutlak meskipun pemenuhan kebutuhan ini tidak memiliki kegunaan pada dirinya (mengingat bapak ini selalu bisa pergi berfoya-foya dan bermain wanita). Dengan segala macam kewajibannya, bapak ini juga harus memikirkan keselamatan atau kebutuhan keluarga layaknya memikirkan keselamatan atau kebutuhan dirinya sendiri. Jika kita berhenti sampai di sini saja, tentunya jelas kita tidak bisa mengatakan bahwa suatu macam kewajiban atau sense of duty unik pada cinta Stoikisme saja. Oleh karena itu, untuk menggali keunikan cinta stoik, kita harus kembali lagi menelaah kedua permasalahan memahami cinta Stoik tersebut secara lebih mendalam.
Untuk menjawab permasalahan pertama, kita harus melihat lagi pernyataan Epictetus secara lebih mendalam. Epictetus hanya menganjurkan kita untuk mengganti kepergian orang yang kita cintai selayaknya menggantikan cangkir teh yang pecah. Kita perlu mengingat bahwa kepergian ataupun kematian merupakan suatu hal yang biasa dan mendasar dalam kehidupan. Kita sering bertemu dengan orang lain dalam kendaraan umum: berpapasan, menyapa, dan segera hilang. Lalu apa salahnya jika kita menggantikan orang yang kita cintai, yang kenyataannya sudah pergi atau hilang bersama orang lain? Merasa kehilangan adalah sesuatu yang wajar, namun kita tidak pernah bisa membuat orang yang kita cintai itu abadi. Maka, pandangan Epictetus tetap mementingkan cinta, tetapi ia juga harus bersiap menghadapi kehilangan. Jika kita yang akan pergi meninggalkan orang yang kita cintai terlebih dahulu, kita juga sudah harus mempersiapkannya. Perlu diingat bahwa Stoikisme mengajarkan kita mencintai orang lain layaknya kita mencintai diri sendiri. Tentu kita juga tidak ingin orang yang kita cintai berduka secara mendalam dan putus asa saat kehilangan kita. Oleh karena itu, selagi masih sempat, kita harus melakukan sesuatu kepadanya. Kita harus memperlakukannya secara mandiri. Kita tidak melulu membuatnya tergantung kepada keberadaan kita terus menerus. Keterikatan diperbolehkan, tetapi bukanlah keterikatan berlebih yang dapat mengakibatkan kekecewaan besar yang hanya membawa pada masalah.
Untuk menjawab permasalahan kedua, kita harus melihat lagi konsep pemahaman representasi yang benar menurut Stoik dan tidak langsung terburu-buru membandingkan dengan konsep cinta pada umumnya. Seorang Stoik harus memandang dua arah mengenai apa yang pada dasarnya memang nyata dan respons afektif apa yang pantas dilakukan. Untuk mempermudah memahami hal ini, mari kita kembali ke contoh bapak dan keluarganya. Misal, bapak ini ternyata menyadari bahwa anaknya menggunakan narkoba setelah bergaul dengan kawan barunya, di mana kawan barunya ini memang terbukti sangat mempengaruhi adiksinya. Anaknya mengalami adiksi yang berlebih sehingga merusak kehidupan sosial dan berpotensi juga pada tubuhnya. Karena bapak ini adalah seorang Stoa, ia harus melakukan representasi yang benar mengenai anaknya. Bapak ini harus mengetahui fakta yang benar-benar terjadi dan tidak melibatkan emosi mengikat apapun. Bapak ini akan mengartikan bahwa anaknya menggunakan narkoba karena ia salah memahami penggunaan narkotika (sebagai obat-obatan) yang baik dan benar. Kedua anak ini menggunakan narkoba setelah berkawan dan terpengaruh oleh kawannya barunya.
Melihat permasalahan seperti ini, orang lain bisa saja marah menggila jika anaknya menggunakan narkoba, menutup-nutupinya karena ia terlalu mencintai, atau menganggapnya sebagai aib keluarga. Namun, sebagai seorang Stoa, bapak ini harus melakukan respons afektif yang pantas berdasarkan kenyataan yang ada. Fakta yang didapat adalah bahwa anaknya secara nyata menggunakan narkoba karena tidak memahami penggunaan narkotika secara baik dan juga salah pergaulan. Maka pertama-tama bapak ini harus menjauhkan anaknya dari kawannya, jika memang kawannya ini bermasalah dan tidak bisa lagi diperbaiki. Kedua, bapak ini berhak untuk marah kepada anaknya sebagai bentuk kekecewaan, namun dengan tujuan jelas, tidak berlebih, dan tetap menghargai pendapat anaknya. Ketiga bapak ini tetap melaksanakan operasional hukum yang berlaku, merehabilitasinya, dan tetap mendampinginya.
Contoh tadi mengambarkan bahwa seorang Stoa harus tetap melakukan representasi yang benar kepada orang yang ia cintai dan melakukan respon afektif yang memang pantas. Respons afektif yang pantas adalah saat respon tersebut sesuai dengan kenyataan. Seorang Stoa tidak akan terburu-buru melakukan tindakan gegabah, melakukan representasi macam-macam, ataupun terlalu mendengarkan omongan orang lain. Seorang Stoa akan memonitor segala emosi mereka dan sebisa mungkin tidak terlibat dalam tarikan emosi tersebut. Sedangkan, non-Stoik (atau yang Becker sebut sebagai romantik) terlihat jarang sekali melakukan peninjauan semacam ini.[4] Perlu diingat bahwa bentuk kebahagiaan Stoa terletak pada tekad keras menjalankan kewajiban sesuai kenyataan, bukan demi perasaan dari representasi yang tidak jelas[5].
Cinta Stoik mengkritisi secara tajam mengenai pandangan umum kita terhadap cinta. Segala permasalahan cinta seperti dalam budaya populer selalu mengambarkan dua insan yang saling terikat satu sama lain. Cintanya digambarkan saling memiliki dan abadi terikat sampai mati. Pandangan cinta semacam ini memang indah dalam kata-kata, namun tidak realistis dalam kenyataan. Buktinya kita sering menemui perceraian dalam rumah tangga ketimbang hubungan keluarga yang harmonis layaknya tidak ada permasalahan sama sekali. Perasaan cinta kita kepada orang lain memang diperlukan, namun perasaan cinta ini tidak seharusnya merampas kewarasan kita. Mengharapkan keberadaan hubungan dengan orang yang kita cintai menjadi abadi adalah konyol dan tidak mungkin. Mengikuti emosi dan membenarkan segala hal demi cinta juga hanya akan membawa masalah.
Stoikisme mengajukan sebuah cinta yang didasari dari kesiapannya untuk mengorbankan segalanya, kecuali kemampuan rasionalitas manusia. Cinta Stoik tetap sadar dan menekankan bahwa apa yang berada di luar diriku itu bersifat tidak bisa diandalkan. Kemampuan rasional diriku adalah kemampuan yang dapat membantu untuk memperoleh representasi yang benar, sehingga diri dapat jauh dari masalah. Stoikisme memberikan pengajaran kepada kita bahwa dalam mencintai, kita harus siap akan kehilangan dan tidak terlalu terikat secara berlebih dalam emosi-emosi. Cinta tetap merupakan sesuatu yang tidak wajib, namun cinta juga masih layak dijalankan.
Daftar Pustaka
Becker, Lawrance. “Stoic Emotion”. In Stoicism: Tradition & Transformations, eds Steven K. Strange and Jack Zupko et al. Cambridge: Cambridge University Press, 2004.
Tjahjadi, Simon Petrus Lili. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Wibowo, A. Setyo. Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
[1] Lawrance Becker, “Stoic Emotion” In Stoicism: Tradition & Transformations, eds Steven K. Strange and Jack Zupko et al, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm 269.
[2] Lawrance Becker, “Stoic Emotion” In Stoicism: Tradition & Transformations, hlm 270.
[3] Setyo Wibowo, Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme, (Yogyakarta: Kanisus, 2019), hlm 190.
[4] Lawrance Becker, “Stoic Emotion” In Stoicism: Tradition & Transformations, hlm 270.
[5] Simon Petrus Lil Thajhadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm 86
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.