Tarian Sufi
Tarian Sufi

Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakhri atau yang familiar dengan sebutan Maulana Rumi atau Rumi dilahirkan di Balkh (sekarang kota ini disebut dengan Afganistan) salah satu kota di daerah Khurasan pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 H (30 September 1207 M). Ayah Rumi bernama Bahauddin Walad tetapi biasa dikenal dengan sebutan Baha’ Walad yang masih mempunyai garis keturunan dari Abu Bakar Ash Shiddiq. Sedang ibunda beliau bernama Mu’mina Khatun yang masih mempunyai ikatan darah dengan kerajaan Khawarizmi.

Ayah dari Rumi ini diketahui sangat sering mengadu argumen dengan para petinggi Khawarizmi, perdebatan mereka tidak berlangsung lama karena sebuah serangan yang dilakukan bangsa Mongol yang mempersempit ruang gerak Baha’ Walad di Khurasan. Akibat serangan  tersebut Baha’ Walad memutuskan untuk berhijrah dan melakukan perjalanan panjang menuju Konya pada tahun 617 Hijriah, seiring dengan gempuran para tentara Mongol di daerah Khurasan. 

Dalam perjalanan tersebut keluarga Walad memutuskan untuk singgah sebentar di kota Naisabur dan mendapatkan sambutan hangat dari Syekh Fariduddin al-Attar, beliau merupakan seorang penyair besar yang berada pada sebuah pasar penjual minyak yang ada di kota tersebut, beliau tinggal dalam sebuah tempat peracikan obat yang saat ini lazim kita sebut dengan sebutan apotek.

Perjalanan Baha’ menuju Konya sampai pada tahun 626 H/1229 M. Kedatangan rombongannya disambut dengan penuh kehormatan oleh kesultanan Seljuk Romawi. Ayah Rumi wafat pada tahun 628 H/1231 M. Sepeninggal ayahnya Maulana Rumi menggantikan posisi ayahnya dalam mengajar ilmu fiqih, memberi fatwah dan mendidik murid-murid beliau. 

Setahun setelah wafatnya sang ayah, datanglah salah satu murid dari almarhum ayah Rumi yang bernama Burhanuddin Muhaqqiq al-Tirmidzi. Kedatangan beliau dengan maksud untuk menemui Guru yang sangat ia muliakan, namun sangat disayangkan bahwa saat itu sang guru telah wafat. Akhirnya Burhanuddin memilih untuk mengajarkan sebuah ilmu yang pertama kali diajarkan oleh Baha’ kepada Rumi. Tak lama berselang Rumi diarahkan oleh Burhanuddin untuk menimba ilmu ke kota Syam guna meningkatkan kapasitas keilmuannya. Kemudian Rumi sampai pada kota Halb, sambil senantiasa dalam pengawasan Burhanuddin, selama ia menemani Rumi ia sudah dianggap sebagai kekasihnya sekaligus menjadi Mursyid. 

Setelah pengembaraannya Rumi memutuskan untuk kembali ke Konya dengan memikul sebuah predikat akan seorang yang sangat alim dan kenyang akan keilmuan-keilmuan dalam bidang agama. Atas predikat yang telah ia sandang itu Maulana Rumi disambut oleh para cendekiawan serta ulama setempat. Pada saat inilah Burhanuddin mendorong Rumi untuk menjadi seorang Mursyid yang agung. Tepat pada tahun 638 H/1241 M Burhanuddin wafat di kota Caesarea. Sedang Maulana Rumi masih terus memberikan materi pengajaran serta tuntunan kepada para murid-murid beliau. 

Bertemu Syamsuddin Tabriz 

Kegiatan pengajaran ilmu agama Rumi terus berlanjut sampai pada tahun 641 H, tepatnya pada hari Senin tanggal 26 Jumaddil Tsani. Rumi bertemu dengan seorang berperawakan tinggi dan besar dengan usia sekitar 60 tahunan. Beliau merupakan seorang sufi pengembara yang telah menimba ilmu dari beberapa Mursyid besar yang ada waktu itu antara lain Abu Bakar as-Asallal atTabrizi dan Ruknuddin as-Syijasi, akan tetapi keduanya dinilai tidak menghilangkan dahaga keilmuan dari seorang Syams. 

Ketidakpuasan Syams ini mengantarkan dirinya pada kota Damaskus tempat di mana seorang Sufi Besar Ibnu ‘Arabi berada. Di kota inilah terjadi sebuah diskusi antara keduanya akibat ketidak puasanya akan sebuah gejolak batin yang ia rasakan selama ini beliau masih terus melanjutkan perjalanan beliau dari satu kota ke kota lainnya sampai pada akhirnya beliau sampai di kota Konya. Sesampainya ia di kota Konya Syamsuddin masih diliputi oleh kebingungan akan kepastian jawaban yang menggelayuti dirinya. Di kota ini Syamsuddin tidak yakin akan menemukan sesosok orang yang mampu menjawab keresahan yang selama ini ia rasakan. Di sini ia menyewa sebuah kamar pada seorang penjual gula sebagai tempat tinggal hingga pada akhirnya ia menemukan sosok Rumi.

Pada pertemuannya dengan Rumi setelah beberapa kali pertemuan, Syam membuat sebuah kesimpulan yang sudah ia duga sebelumnya, yaitu kedangkalan pemikiran dari seorang Rumi. Namun demikian sejak awal pertemuan mereka Syams melihat setitik potensi pada diri Rumi, juga dalam pandangan Rumi sendiri ia melihat sebuah potensi yang dimiliki Syam. Kedatangan Syams digambarkan sebagai petir yang menyambar serta menghancurkan cakrawala pemahaman Rumi sebagai mana yang beliau ucapkan “Apa yang membebaniku dengan keluluhlantahan ini, jika dalam kefanaan ini tersimpan harta karun sang sultan.”

Setelah pertemuan itu semangat mengajar rumi menghilang tak berbekas, ia perlahan mulai beranjak meninggalkan majelis yang selama ini ia pimpin dan lebih memilih untuk melakukan hal yang saat itu dinilai sebagai tindakan yang konyol yaitu menari dan memukulkan telapak kakinya ke tanah, ia seolah-olah tenggelam dalam lantunan lagu Ghazal yang amat mempengaruhi jiwanya. Kejadian ini akhirnya menyulut amarah dari para pengajar keilmuan fiqih setempat yang akhirnya mengucilkan apa yang diperbuat Rumi dan juga menghasut para pengikutnya untuk meninggalkan Rumi. Atas fitnah besar-besaran yang terjadi di kota Konya ini membuat Syams pergi meninggalkan kota Konya tanpa sepengetahuan Rumi juga ia tidak memberitahu Rumi kemana Ia akan menetap setelah ia pergi. Kejadian ini tentu menjadi sebuah pukulan telak pada batin Rumi, sehingga ia semakin gencar untuk menyanyikan lagu ghazal sebagai pelipur lara yang sedang menghantuinya.

Rumi sudah menjadi seorang Sufi hebat berkat pergaulannya dengan sang guru. Kesedihan sepeninggal gurunya yang entah kemana itu turut serta dalam mengembangkan emosi akan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan sang guru, hal itu menjadikannya sebagai seorang penyair yang sulit untuk ditandingi pada masa itu. Demi mengenang kerinduan pada gurunya itu, beliau menulis banyak Syair yang memiliki sebuah perhimpunan yang diberi nama Diwan Syams Tabriz. Selain menulis syair-syair beliau juga membukukan setiap wejangan yang dulu Syams berikan dan dikenal dengan buku Maqalat Syams Tabriz. Kerinduan Rumi terhadap gurunya pada akhirnya sedikit terobati manakala ia mengetahui bahwa saat ini Syamsuddin sedang berada di kota Syam hingga dalam senandungnya ia menyebut kalimat “Waktu subuh mana lagi yang akan muncul jika ternyata ia berada di kota Syam.” 

Nicholson berpendapat bahwa sebuah deskripsi tentang Rumi masih belum cukup untuk menyingkap tabir dari seorang Maulana Rumi. Ia berkata “Jika tidak demikian, mana mungkin kita bisa melihat suatu gambaran yang mencakup segala eksistensi yang ada dengan sangat sempurna yang terpampang di depan mata kita saat ini dan selamanya?” dari ungkapan tersebut dapat kita simpulkan dari seorang kreator yang saat ia menyentuh sebuah barang maka akan tersingkap segala tabir tentangnya.

Konsep Cinta Jalaluddin Rumi 

Manifestasi

Bagaimanakah cara untuk menerangkan sebuah cinta? Akal yang mencoba menjelaskan tentang cinta tak ubahnya seperti seekor keledai dalam payah dan pena yang digunakan untuk menggambarkannya akan hancur berkeping-keping, beginilah kalimat pembuka Rumi dalam kitab Matsnawi:

“Bagaimanakah keadaan seorang pencinta?” Tanya seorang lelaki. Kujawab, “Jangan bertanya seperti itu sobat; bila engkau seperti aku, tentu engkau pun tahu ketika Dia memanggilmu, engkau pun akan memanggil-Nya” (D2733).

Cinta merupakan sesuatu yang Pra-abadi, cinta memiliki sifat layaknya magnet, sejurus lamanya cinta akan menghilangkan jiwa, kemudian ia pun menjadi sebuah perangkap bagi burung- jiwa, yang kepada burung-jiwa inilah cinta akan menawarkan minuman anggur realitas, dan semua ini hanyalah permulaan dari cinta, tak seorang pun dapat menyentuh ujung dari cinta. Rumi sering bercengkrama dengan cinta guna mencari tahu bagaimana rupa dari cinta itu sendiri:

Pada suatu malam kutanya cinta: “Katakan, siapa sesungguhnya dirimu?” Katanya: “Aku ini adalah kehidupan abadi, aku memperbanyak keindahan hidup itu” kataku: “Duhai engkau yang di luar tempat di manakah rumahmu?” katanya: “aku ini bersama dengan api hati, dan di luar mata yang basah, aku ini tukang cat; karena akulah setiap pipi berubah jadi warna kuning, akulah seorang utusan yang meringankan kaki, sedangkan sang pencinta adalah seekor kuda kurusku. Akulah marah padamnya bunga tulip. Harganya barang itu, akulah manisnya meratap, penyibak segala yang tertabiri.” (D1402).

Menurut Rumi yang diciptakan pertama kali oleh Tuhan ialah cinta. Atas dasar inilah Rumi menganggap cinta sebagai kekuatan kreatif paling dasar yang menyusup dalam setiap makhluk dan menghidupkan mereka. Cinta juga yang bertanggung jawab atas terjadinya evolusi alam yang awalnya anorganik yang berstatus rendah menuju level tertinggi pada diri manusia.

Bagi seorang Rumi, cinta merupakan penyebab dari gerakan dalam dunia materi, bumi, dan langit berputar demi cinta. Ia berkembang dalam tumbuhan dan gerakan dalam makhluk hidup, cinta pula yang menyatukan partikel-partikel kecil suatu benda. Berkat cinta tumbuhan dapat tumbuh, juga membuat semua hewan berkembang biak seperti dalam ucapannya: 

Cinta adalah samudra (tak bertepi) tetapi langit menjadi serpihan-serpihan busa; (mereka gelisah) bagaikan perasaan Zulaikha terhadap Yusuf. Ketahuilah langit yang berputar, bergerak oleh deburan gelombang cinta; seandainya bukan karena cinta, dunia akan (mati) membeku. Bagaimana benda mati lenyap (karena perubahan) menjadi tumbuhan? Bagaimana tumbuhan rela mengorbankan jiwanya demi menjadi jiwa (yang hidup)? Bagaimana jiwa mengorbankan dirinya demi nafas yang merasuk ke dalam diri Maryam yang sedang hamil? Masing-masing (dari mereka) akan mengeras menjadi sebagaimana es bagaimana mereka terbang dan mencari seperti belalang? Setiap manik-manik adalah cinta dengan kesempurnaannya dan segera menjulang seperti pohon.

Cinta bagi Rumi bukanlah milik manusia dan makhluk hidup saja melainkan juga semesta seisinya. Cinta yang mendasari segala eksistensi ini disebut “Cinta Universal”, cinta ini muncul saat Tuhan mengungkapkan keindahan-Nya pada semesta yang masih dalam alam potensial.

Keindahan dari cinta tak akan mampu untuk diungkapkan dengan cara apa pun, walaupun kita memujinya dengan seratus lidah. Begitulah kata Rumi, seorang pecinta dapat berkelana dalam cinta dan semakin jauh langkah kaki seorang pencinta maka akan berbanding lurus dengan besarnya kebahagiaan yang ia dapatkan. Karena cinta itu tak terbatas pada Ilahiah dan lebih besar dibandingkan dengan seribu kebangkitan. Kebangkitan itu merupakan sebuah hal yang  terbatas sedangkan cinta tak terbatas.

Tak jarang Rumi menggambarkan cinta sebagai rahasia-rahasia Tuhan yang menjadikan sebuah petunjuk bagi manusia untuk mencari kekasihnya. Karena itulah cinta membimbing manusia kepada-Nya. Dan menjaganya dari gangguan orang lain. Cinta kata Rumi adalah astrolabe misteri-misteri Tuhan. Kapan pun cinta, entah dari sisi duniawi maupun sisi langit-Nya, namun pada akhirnya kita akan membawanya ke sana.

Dalam bayangan Rumi, kadang kala cinta digambarkan sebagai api yang melahap segala yang ada di depannya kecuali sang kekasih. Karena itu cinta Ilahiah dapat menjauhkan kita dari sifat syirik dan mengangkatnya menuju tingkatan tertinggi dari tauhid.

Menurut Rumi cinta adalah sayap yang mampu menerbangkan manusia yang membawa beban berat ke angkasa dan dari kedalaman mengangkatnya ke ketinggian dari bumi ke angkasa. Bila cinta ini menapakkan kakinya di atas gunung maka gunung pun akan bergembira dan menari dengan riangnya.

Cinta merupakan penyakit, tetapi ia mampu membebaskan penderitanya dari segala macam penyakit. Apabila seseorang terjangkit penyakit cinta ini maka ia tidak akan tertimpa penyakit lain lagi, keadaan rohaninya menjadi sehat bahkan nyawa merupakan kesehatan bagi dirinya yang bagi orang lain ingin untuk memilikinya. Demikian beliau menyampaikan pesan lewat syairnya: 

“Perih cinta inilah yang membuka tabir hasrat pencinta; tiada penyakit yang menyamai duka cinta ini; cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah isyarat dan astrolabium rahasia rahasia ilahi. Apakah dari jamur laut atau bumi, cintalah yang pada akhirnya menimbang kita ke sana pada akhirnya; akal akan sia-sia bahkan menggelepar untuk menerangkan cinta, bagai keledai dalam lumpur; cinta merupakan penerang bagi pecinta itu sendiri; bukankah matahari yang menyatakan ia adalah matahari, perhatikanlah ia! Seluruh bukit yang kau cari ada di sana”.

Cinta merupakan sebuah penawar dari kebanggaan dan kesombongan juga pengobat seluruh kekurangan diri. Hanya mereka yang berjubah cinta yang sepenuhnya tidak memperhatikan diri. Sesungguhnya cinta menjadi satu-satunya kesadaran transformasi. Dalam syairnya ia berkata:

Melalui cinta duri jadi mawar, dan melalui cinta cuka menjadi anggur manis, melalui cinta tonggak jadi duri, melalui cinta kealangan nampak seperti keberuntungan, melalui cinta penjara nampak seperti jalanan yang rindang, melalui cinta tempat perapian yang penuh abu layaknya sebuah taman, melalui cinta api yang menyala bagaikan cahaya yang menyenangkan, melalui cinta setan menjadi Houri, melalui cinta batu keras menjadi sebuah mentega yang lembut, melalui cinta duka menjadi kesenangan, melalui cinta hantu makam menjadi malaikat, melalu cinta  sengatan lebah menjadi madu, melalui cinta singa menjadi sejinak tikus, melalui cinta penyakit terasa sehat, melalui cinta sumpah serapah adalah balas kasih”.

Cinta itu layaknya samudra yang tak memiliki tepian, meskipun gelombangnya terdiri dari darah dan api. Sebagai seorang pencinta yang berenang-renang ke sana layaknya seekor ikan yang sedang bersuka ria, seberapa banyak pun ikan itu meminum air di samudra tersebut airnya tidak akan berkurang sedikit pun, karena dalam samudra tersebutlah semua berawal dan berakhir. 

Cinta juga dapat dimaknakan sebagai aliran sungai yang deras sehingga mampu untuk membersihkan segalanya, jika ungkapan di atas cinta dapat membersihkan layaknya api maka cinta pun juga dapat membersihkan layaknya air. Sesungguhnya cinta sangat merindukan jiwa-jiwa yang kotor supaya cinta mampu membersihkan noda-noda yang ada dalam diri mereka. 

Cinta dapat tampil sebagai kekuatan yang feminim, sebab ia adalah ibu yang melahirkan manusia, cinta merupakan Maryam yang pra-abadi yang mengandung ruh suci dari seorang ibu yang merawat anaknya dengan penuh kelembutan. 

Cinta adalah anggur yang sekaligus menjadi pelayan minuman dan meminum racun sekaligus obat penawar ia adalah anggur keras dan membawa manusia menuju keabadian. Akibat anggur seperti itu, “setiap orang akan merasa kepanasan sehingga pakaiannya nampak terlalu ketat dan kemudian ia melepaskan penutup kepalanya dan membuka ikat pinggangnya”. Pecinta akan terisi anggur cinta, bahkan pecinta menjadi botol anggur itu sendiri.

Proses Peningkatan Cinta Rumi 

Menurut Abu al-Shiraj cinta terbagi dalam tiga tahapan. Pertama adalah al-Mahabbah al-Ammah, yaitu cintanya kaum awam, yang berawal dari perilaku baik dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Yang kedua ialah Mahabbah ash-Shadiqin, yaitu cinta yang berasal dari perenungan hati tentang kemandirian, cinta yang mampu menghilangkan sekat antara seorang hamba dan Tuhan dengan menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri lalu memenuhi hatinya dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu akan kehadiran-Nya. Ketiga ialah al-Mahabbah ash-Ahiggin al Al-Arifin, yakni cinta yang timbul akibat pengetahuan tentang sifat keazalian dan kemutlakan cinta Tuhan kepada mereka.

Semenjak kecil Rumi sudah mendapatkan didikan dalam bidang agama yang baik dari ayahnya sendiri yaitu Bahaudin walad juga dari kawan-kawan ayahnya karena ayah Rumi sendiri adalah seorang guru sufi yang cukup terkenal pada waktu itu. Saat usianya masih cukup belia pada waktu itu ia sudah menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap nilai-nilai religius dalam kehidupan, dalam kondisi inilah ia mengalami cinta pada level yang pertama. 

Sepeninggal ayahnya Rumi mengambil peran yang dilakukan sang ayah sebagai seorang guru spiritual di bawah bimbingan Burhanudin murid sang ayah. Rumi yang waktu itu masih berusia dua puluh lima tahun sudah menunjukkan keantusiasannya dalam disiplin keagamaan khususnya sufi. Setelah itu Rumi memutuskan untuk mengajar di Madrasah yang ia pimpin dan mendakwahkan keilmuan Islam kepada murid-muridnya. 

Namun kehebatan yang Rumi miliki belum juga memuaskan dahaga jiwanya yang rindu akan kedamaian. Pada titik ini ia menyadari bahwa keilmuan saja tidak cukup untuk mengubah dan mengembangkan kualitas hidup seseorang. Ia mulai yakin bahwa hukum dan akal hanyalah alat yang mudah mendatangkan keburukan. Pada titik ini Rumi sudah mulai tidak tertarik lagi dengan teologi karena menurutnya teologi hanya akan mempersibuk manusia dengan formalitas sehingga mereka mengabaikan makna dan mengupayakan teologi semata-mata demi memuaskan kaum awam dan menguasai  mereka. Pada fase ini Rumi menyelami peningkatan cinta yang kedua. 

Pada tahun 1244, Rumi bertemu dengan seorang yang bernama Syamsudin Tabriz, pada titik ini dunia spiritual Rumi mengalami evolusi besar-besaran. Syams dinilai sebagai orang yang memberikan didikan spiritual yang melegakan dahaga Rumi, walaupun sudah  sejak lama Rumi mempelajari sufisme namun setelah pertemuannya dengan Syams inilah ia semakin yakin untuk melangkahkan kaki dalam dunia kesufian. Pertemuan dengan Syams ini menjadi tingkatan level ketiga bagi Rumi dalam kitab Matsnawi Rumi menyampaikan pesan dalam Syairnya: “Syams dari Tabriz menunjukkanku jalan kebenaran dan imanku tidak lain adalah anugerah dari-Nya”.

Dalam pengaruh Syams, Rumi mulai menyadari dari pencarian diri sejatinya, dalam Syair di bawah ini Rumi mengisyaratkan intensitas pencariannya dengan hasil yang mengejutkan dirinya karena ternyata selama ini yang ia cari sudah ada dalam dirinya sendiri:

“Salib dari sudut ke sudut telah ku atasi. Aku tidak penganut salib. Rumah berhala telah kukunjungi, kuil kuno; tak ada rasa yang bisa kutangkap; aku mengunjungi pegunungan Herat dan Kandahar; aku lihat dia tidak sedang di kedalaman jurang maupun di atas pegunungan dengan niat ku daki puncak gunung Qaf; di tempat itu tidak ada apa-apa kecuali “Angga”, kualihkan pencarian ku menuju Ka’bah; dia bukan berada di tempat orang tua maupun muda yang mendapat ilham itu. kutanyakan kepada Ibnu Sina tentangnya, dia di luar pengetahuan Ibnu Sina. Aku mengunjungi ruang persidangan; dia tidak ada di pengadilan agung itu aku tilik ke dalam hatiku di sanalah aku menemukannya; dia tidak ada dimana-mana”.

Syair di atas pada intinya menjelaskan bagaimana perjalanan spiritual yang dialami oleh seorang Rumi dari ruang lingkup eksternal agama hingga inti batinnya. Dalam tahapan inilah rumi menyadari banyak kekurangan tentang ha-hal yang ia anggap hakiki selama ini.

Dampak Cinta 

Cinta memiliki banyak sekali pengaruh bagi siapa saja yang sedang mencintai kekuatan cinta sangat luar biasa untuk mengubah segala hal. Seperti kata Rumi dalam Syairnya:

Sungguh cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara berubah menjadi telaga, derita menjadi nikmat dan kemarahan menjadi nikmat. Hanya cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancur leburkan batu karang, membangkitkan hati yang mati dan meniupkan kehidupan padanya, serta menjadikan budak menjadi pemimpin.

Sedemikian besar pengaruh cinta pada diri manusia, dengan cinta pula manusia dapat mempercepat perjalanan menuju Tuhan. Cinta memiliki lima ratus sayap dan setiap sayap mengembang dari langit ke bumi, yang sedang zuhud berlari; kekasih (Tuhan) terbang lebih cepat daripada kilat dan angin ”bebaskanlah dirimu dari dunia dan cara jalan kaki, karena hanya elang sang raja yang menemukan jalannya kepada sang Maharaja”.

Menurut Rumi cinta adalah penyembah bagi kebanggaan dan kesombongan dan pengobat dari segala kekurangan diri. Hanya mereka yang berjubahkan cinta yang sepenuhnya tidak mementingkan diri sendiri. Maka apabila sang pencinta ingin mendapatkan cinta dari kekasihnya ia harus bisa menghilangkan kebanggaan dan kesombongan dari dalam dirinya. Seiring dengan menghilangnya kebanggaan dan kesombongan diri maka akan timbul rasa kesadaran diri. Pada kondisi ini pencinta akan memiliki jiwa yang luhur dan menggantikan jiwa yang kerdil, karena jiwa yang kerdil hanya akan dimiliki oleh orang yang egois dan cinta pada diri sendiri. Maka cinta kepada kekasih akan melenyapkan ego dalam dirinya sehingga kan luhur jiwanya. 

Cinta menumbuhkan kebebasan dan jiwa untuk menjadi cinta. Cinta Rumi kepada Syams membuatnya bebas untuk menemukan jiwanya sendiri yang menemukan saluran melalui puisinya, cinta jiwa dan kebebasan menyatu. Namun pada saat itu terjadi kehidupan Rumi berputar balik setelah menyatakan kebebasannya untuk mencintai jiwanya, Rumi tidak lagi berperilaku selayaknya seorang Syekh yang baik ia menjadi benar-benar bebas hanya memedulikan jiwanya sendiri dan cintanya kepada Tuhan. Rumi berkata: 

“Lagi-lagi aku berada dalam diriku sendiri aku berjalan pergi tetapi kesinilah aku berlayar kembali, kaki di udara jungkir balik. seperti seorang wali ketika dia membuka matanya di tengah doa: sekarang, ruangan, taplak meja wajah-wajah yang akrab”.

Cinta Rumi kepada Ilahi menghendaki “keadaan mabuk” di mana keadaan ini mengisyaratkan tentang keintiman cinta Rumi dengan Ilahi dalam hal ini Rumi menerangkan Simbol-simbol tertentu yang berkaitan dengan kemabukan, seperti anggur dan cawang “Tuhan adalah cawang dan anggur: Dia tahu cinta seperti apa pun situasiku”.

Dalam syairnya Rumi mengekspresikan keadaan ekstasenya yang hebat ketika anggur Ilahi seketika menyentuh jiwanya:  

“Rembulan yang tak pernah disaksikan langit bahkan dalam mimpi, telah kembali. Dan datanglah api yang tak bisa dipindahkan air apa pun. Lihatlah rumah tubuh dan pandanglah jiwaku, ini membuat mabuk dan kerinduan itu dengan cawang cintanya. Ketika pemilik kedai itu menjadi kekasih hatinya, darahku berubah menjadi anggur dan hatiku menjadi kabab. Ketika pandangan dipenuhi oleh ingatan padanya, datanglah suara: Baguslah Wahai Cawang, hebatlah wahai anggur”.

Cinta yang Rumi alami diakibatkan oleh perasaan cinta yang sangat menggelora dalam hatinya kepada sang Ilahi, cinta memiliki kemampuan untuk menyatukan segala daya. Dengan cinta akan mampu memaksimalkan potensi pencinta. Segala upaya akan dilakukan untuk dapat menjangkau yang dicinta dengan indra lahiriahnya. Karena hal inilah hatinya hanya berisi tentang yang dicintai baik dalam kondisi bagaimanapun dan kapanpun sang pencinta akan terus dibuaikan oleh hasrat cinta yang menggebu untuk selalu menghadirkan sang kekasih dalam jiwanya.

Referensi

A. Reza Arasteh, Sufisme dan Penyempurnaan Diri, (Raja Grafindo: Jakarta, 2000)

AnneMarie Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, Terj, Alwiyah Hasan dan Ilyas hasan (Mizan: Bandung, 2016)

Denise Breton dan Christoper Largent, Cinta, Jiwa danKekerasan di jalan sufi: Menari Bersama Rumi. Terj. Rahmani Astuti, (Pustaka Hidayah: Bandung, 2003)

Haidar Baghir, Belajar Hidup Dari Rumi, Serpihan-serpihan Puisi Penerang Jiwa, (Bandung: Mizan, 2015)

Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Terj. Abd Kholiq (yogyakarta: Forum, 2014)

Juliet Mabey, Wasiat Spiritual Rumi, Terj. Ribut Wahyudi, (Penerbit Jendela: Yogyakarta, 2002)

Mulyadhi Kartanegara, Jalal Al- Din Rumi: Guru Sufi dan Penyair Agung, (Teraju: Jakarta, 2004)

Rumi, Yang Mengenal Dirinya yang Mengenal Tuhannya, Aforisme-Aforisme Sufistik Jalalluddin Rumi, Signs off The Unseen: The Discourses of Jalalluddin Rumi, Terj. Anwar Holid, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001)

Seyyed Hosein Nasr, Ensiklopedi Tematis SPIRITUALITAS ISLAM, Terj. Rahman Astuti, (Bandung: Mizan Media Utama, 2003)

Syamsun Ni’am, Cinta Ilahi perspektif Rabiah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, (Risalah Gusti: Surabaya, 2001)

Titus Burckhard, Mengenal Ajaran Sufi, Terj. AzyumArdiazra (Jakarta: Pustaka Jaya 1984)

Abdur Rahmad

Alumnus Pesantren Nurul Jadid

2 Responses

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.