Bisakah puisi mengurangi rasa kesepian kita? Apakah membaca puisi memiliki kekuatan nyata untuk menenangkan atau menyembuhkan hati manusia? Kebanyakan orang menganggap bahwa aktivitas membaca puisi merupakan sebuah pengalaman yang bersifat soliter, pasalnya ia dibaca dalam keheningan. Sehingga, kekuatan puisi untuk membawa kita lebih dekat pada orang lain atau mengurangi rasa kesepian kita tidaklah kentara. Dan bukankah untuk mengurangi rasa kesepian kita, seharusnya kita sejenak menaruh buku yang kita baca dan pergi untuk melihat dunia luar?
Faktanya, mereka yang setuju bahwa puisi mengobati rasa kesepian merujuk pada teori bahwa puisi mencerminkan suatu keadaan emosional seseorang, yang mana disalurkan melalui seni puisi. Puisi membantu seseorang untuk menerima (meresapi) sekaligus memproses apa yang mereka rasakan (dalam konteks ini yakni merupakan rasa kesepian tersebut). Teori ini pun akhirnya mendukung dibentuknya sebuah gerakan bertajuk Poetry therapy movement (Gerakan terapi puisi), di mana setiap individu yang menderita berbagai kondisi kesehatan, mulai sakit kronis hingga gangguan kecemasan, diberi resep “obat” berupa puisi.
Salah satu dari pendukung gerakan ini adalah pendiri dari Forward Prizes for Poetry, sekaligus ketua dari Somerset House Trust, William Sieghart CBE. Beliau menulis sebuah buku yang berjudul The Poetry Pharmacy. Menurutnya, untuk mengurangi rasa kesepian, ia menyarankan kita untuk membaca bait puisi berikut ini:
I wish I could show you
When you are lonely or in darkness,
The Astonishing Light
Of your own Being!
(Andai dapat kutunjukkan padamu
Kala kau rasa sepi atau di dalam gelap,
Suatu cahaya yang mengagumkan
Yang terpancar dari dirimu sendiri!)
Cuplikan puisi ini diambil dari puisi ciptaan penyair Persia bernama Hafez yang berjudul My Brilliant Image. Pilihan puisi ini terbilang menarik karena ia tidak mengkomunikasikan rasa kesepian dari sudut pandang orang pertama melainkan dari perspektif seseorang yang berkomunikasi dengan orang yang tengah merasa kesepian.
***
“Solitude can become loneliness; this happens when all by myself I am deserted by my own self.” (Keadaan menyendiri (solitude) dapat berubah menjadi rasa sepi ketika aku tengah sendiri, namun terasingkan oleh diriku sendiri)
Kalimat di atas merupakan kalimat yang pernah dilontarkan oleh seorang filsuf wanita Perancis, Hannah Arendt. Guna memahami kontradiksi yang tersirat pada kalimat tersebut, maka perlulah kita memahami perbedaan antara rasa kesepian (loneliness) dan keadaan menyendiri (solitude). Rasa kesepian (loneliness) diartikan sebagai sebuah respons emosional negatif yang mengundang efek psikologis dan fisiologis yang negatif pula. Sementara keadaan menyendiri (solitude) dipandang sebagai sebuah kondisi yang lebih positif, yang mana kerap diasosiasikan dengan aktivitas menyepi untuk refleksi diri. Kendati keduanya nampak amatlah berbeda, namun garis yang memisahkan kedua kondisi ini sangatlah tipis adanya.
Sehingga kini pertanyaannya adalah, jika menurut Arendt hukumnya memungkinkan untuk beralih dari keadaan menyendiri menjadi kesepian, jadi apakah memungkinkan pula hukumnya untuk beralih dari keadaan kesepian ke keadaan menyendiri (yang lebih positif)? Dan apakah puisi My Brilliant Image dapat membantu pembacanya untuk menjadi demikian? Jawabannya, bisa jadi. Karena, terlepas dari penggunaan perspektif orang kedua, puisi besutan Hafez tersebut turut membuat pembaca ikut mencerna makna puisi baik dari sudut pandang orang pertama maupun sudut pandang orang kedua, alias memfasilitasi pembaca untuk berdialog dengan dirinya sendiri dan membangun kembali self-companionship yang disiratkan oleh Arendt.
Namun, apakah self-companionship semacam ini menciptakan sebuah pengobatan komplit nan mutakhir untuk rasa kesepian? Saya kira tidak.
Nyatanya, menjalin koneksi dengan diri sendiri (self-addressing/self-companionship) adalah sebuah langkah pertama untuk melepas rasa kesepian walau ia tidak dapat membantu kita untuk terkoneksi dengan orang lain. Puisi secara umum hanya menawarkan rasa senasib sepenanggungan. Seorang penyair, David Constantine, pun berkata bahwa “puisi adalah perlambang hal-hal yang biasa (common); puisi membahas hal-hal yang lumrah untuk dibahas, serta hal-hal yang umum terjadi. Puisi datang dari hal-hal yang sama-sama kita (manusia) rasakan dan alami”.
***
Pada level yang paling fundamental, yang menjadi common ground atas berbagai macam puisi adalah Bahasa. Terlepas dari perbedaan-perbedaan dan idiosinkrasi yang kita miliki, kita saling berbagi Bahasa dengan setiap orang yang kita temui dalam suatu kelompok linguistik tertentu, yang mana setiap individunya memiliki kapasitas yang berbeda dalam memahami apa yang coba untuk diekspresikan oleh satu sama lain.
Ada banyak ruang untuk eror ketika kita bicara soal mengkomunikasikan sesuatu menggunakan Bahasa. Kata-kata bukanlah penanda (signifier) yang statis; mereka secara subjektif telah terkait dengan asosiasi-asosiasi yang dimiliki oleh penutur bahasanya sebelum lebih lanjut dicerna dan diasosiasikan lagi oleh para penerimanya.
Filsuf C.S. Peirce bahkan mengemukakan bahwa kata-kata pada dasarnya tidak memiliki maknanya sendiri; makna suatu kata sejatinya didapatkan dari interpretasi atas kata tersebut. Inilah yang membuat bahasa kerap memiliki risiko dalam menyampaikan makna. Kendati begitu, ia tetap dipandang sebagai sebuah alat krusial bagi manusia untuk saling menjalin koneksi. Kita pun sebagai manusia akan terus mendambakan keinginan untuk mencipta makna dan mengekspresikan diri walau kita sendiri tidak pernah seratus persen yakin apakah kita sudah benar-benar dipahami oleh orang lain.
Dari sini, kita dapat menganalogikan pengalaman kita dalam menggunakan bahasa layaknya loneliness atau rasa kesepian. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, linguistik sebagai jurang pemisah antar individu tidak akan pernah bisa dijembatani, tapi kita masih mendambakan dan berusaha untuk selalu membangun koneksi dengan orang lain melalui bahasa. Jika dilihat dari perspektif yang sama, rasa kesepian juga dapat dipandang sebagai sebuah bagian fundamental dari kondisi manusia, walaupun ia merupakan lawan (kebalikan) dari kebutuhan dasar manusia, yakni membutuhkan koneksi.
Membaca puisi mengenai rasa kesepian atau rasa kesendirian dapat membuat kita nyaman karena kita akan merasa terkoneksi dengan pengalaman kesepian atau kesendirian yang dirasakan dan diekspresikan oleh manusia lainnya. Bahkan, meski secara linguistik kita tidak dapat secara penuh memahami rasa kesepian yang disampaikan, namun kita dapat melihat rasa kesepian atau kesendirian yang kita miliki sebagai sesuatu yang dapat kita bagikan pada orang lain dan dapat dibagi oleh orang lain (as shared and shareable). Sehingga, kita tidak lagi berpikir bahwa rasa kesepian merupakan rasa yang seharusnya kita pendam sendiri.
Filsuf Bertrand Russell, setelah suatu saat pernah mengalami rasa kesepian yang amat mendalam, pun menulis bahwa siapa saja yang mengerti apa itu esensi kehidupan, mesti suatu saat merasakan rasa kesepian yang dirasakan oleh berbagai individu, dan bertemunya rasa-rasa kesepian dari tiap individu tersebut akan menghubungkan setiap insan yang terlibat di dalamnya. Dari situ pula, akan timbul rasa saling mengasihani yang menghangatkan hati, seakan-akan menjadi kompensasi atas segala hal yang hilang (kehampaan) ketika rasa kesepian melanda.
***
Apabila berbagi rasa kesepian merupakan obat dari rasa kesepian yang kita rasakan, maka puisi dengan tema kesepian mana yang akan saya bagikan? Salah satu contoh puisi bertema kesepian terbaik yang seketika muncul dari benak saya adalah karya Claudia Rankine yang berjudul Don’t Let Me be Lonely (Jangan Biarkan Aku Menjadi Kesepian), sebuah karya yang menawarkan meditasi atas rasa kesepian itu sendiri:
Define loneliness?
Yes.
It’s what we can’t do for each other.
What do we mean to each other?
What does life mean?
Why are we here if not for each other?
(Definisikan apa itu rasa kesepian?
Ya.
Ia adalah apa yang tak dapat kita lakukan untuk satu sama lain.
Apa arti kita untuk satu sama lain?
Apa arti dari hidup?
Mengapa kita berada di sini, jika tak untuk saling ada bagi satu sama lain?)
Melalui puisi tersebut, terdapat pemisahan antara orang pertama dan kedua, antara “aku” dan “kamu”, antara ekspresi-diri dalam puisi tersebut dan pembacaan kita terhadap puisi tersebut. Seakan-akan, puisi ini mengingatkan kita bahwa kita tidak gagal sendirian dalam berusaha untuk mencapai hubungan/koneksi dengan orang lain– membuat kita tersadar bahwa kita pun tak sendiri dalam mengalami rasa kesepian kita.
Life is a form of hope?
If you are hopeful.
Maybe hope is the same as breath – part of what it means to be human and alive.
Or maybe hoping is the same as waiting.
It can be futile.
Waiting for what?
For a life to begin.
I am here.
And I am still lonely.
(hidup adalah sebuah harapan,
Bila kamu adalah seorang yang penuh harapan.
Mungkin harapan sama seperti nafas – bagian dari apa yang membuatmu menjadi manusia dan hidup.
Atau mungkin berharap itu layaknya menunggu.
Ia bisa jadi sia-sia.
Menunggu hal apa?
Menunggu agar hidup dimulai.
Dan aku di sini.
Dan aku masih merasa sepi.)
Rankine menyoroti hal-hal yang kita sama-sama alami selaku individu, seperti bernafas, menunggu, dan berharap. Hal-hal tersebut adalah hal yang saya alami sendiri secara personal, namun di satu sisi orang lain pun juga mengalaminya. Sehingga, meskipun saya tidak membagi nafas saya dengan orang lain, namun kita sama-sama saling berbagi atau melakukan satu aktivitas yang sama yakni “bernafas”. Aktivitas menunggu dan berharap yang saya alami atau lakukan juga merupakan milik saya, namun saya tidak sendiri alias bersama-sama menunggu dan berharap seperti orang lain. Ini sama halnya dengan mengalami rasa kesepian sebagai manusia. Mungkin rasa kesepian kita adalah milik kita, namun kita tidaklah satu-satunya orang yang mengalami penderitaan serupa.
Pada akhirnya, Puisi-puisi kesepian ini memiliki suatu kekuatan untuk memperbaiki atau menurunkan ekspektasi kita akan bagaimana manusia semestinya menjalin koneksi dengan orang lain – menerjemahkan kesepian agar menjadi kegiatan untuk menyepi demi introspeksi diri, dan menenangkan hati bahwa rasa sepi adalah suatu rasa yang tak bisa kita hindari.
Artikel ditulis oleh Karen Simecek di IAI TV, Associate Philosophy Professor di University of Warwick dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Karina Puspita Sari.