Aspek paling intens yang menjadi gambaran masyarakat posmodern saat ini adalah intensitas dalam mempertontonkan sisi vulgar sebuah tubuh dan mengkomodifikasi seks dalam arus utama sistem kapitalisme serta media massa. Tubuh menjadi aspek penting dalam budaya komoditas, karena selain menjadi obyek untuk mengonstruksi “citra baik” sebuah iklan, tubuh juga dibidik untuk menggunakan produk-produk yang diperjualbelikan. Semua kebutuhan tubuh dikembangkan sesuai dengan konstruksi peradaban yang melanggengkan hubungan jual beli untuk meningkatkan keuntungan. Sebagai implikasinya, bukan hanya pembuatan produk yang dikembangkan, tetapi juga penciptaan kesadaran masyarakat tentang tubuh. Tubuh sebagai pusat kesadaran ini dikontrol dan diatur dalam ruang media oleh kapitalis, terutama tentang citra tubuh yang “ideal”. Sebagai produsen, kelompok kapitalis memproduksi budaya citra baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dengan kemampuan dan kekuasaan yang dimiliki, mereka secara pandai mendefinisikan dan memersepsikan kenyataan seputar tubuh dan seksualitas manusia. Karena itu, kapitalis sebagai pemilik modal adalah produsen ideologi tubuh, yang menjejalkan “norma-norma keindahan tubuh”, mulai dari bentuk, ukuran, warna dan sebagainya. Di balik gejolak paradigma seksual, dengan scientia sexualis dan erotika yang berlapis-lapis, potensialisasi dan optimalisasi pengumbaran libido yang tanpa batas dalam dunia cyber, pengeksposan tubuh melalui citra media (iklan) yang “tanpa bungkus”, yang terjadi adalah lenyaplah aura sebatang tubuh di dalam wacana seksualitas. Seks karenanya telah menjadi komoditas yang tidak lagi tabu di zaman sekarang. Kapitalisme dengan bantuan media massa telah berhasil menempatkan seks menjadi barang komoditi yang laris terjual. Seksualitas yang tadinya sebagai ruang privat manusia, kini telah berubah menjadi “barang dagangan publik”, sehingga tidak heran jika di zaman ini berbagai media menjajakan alat-alat vitalitas, pose vulgar tubuh perempuan, prostitusi yang terang-terangan dan berbagai aktivitas seks lainnya.
Rangkaian aktivitas seksual dalam dunia cyber (voyeurism, masturbation-voyeurism, interactive-voyeurism, fetishism, virtual sex, teledildonic, dsb), beragam tontonan yang disuguhkan oleh media elektronik kapitalisme (tubuh perempuan dalam iklan, pornografi, dsb), serta gejala praktik seks komersial (free sex, perselingkuhan, prostitusi, dsb), dewasa ini menjadi bukti bahwa masyarakat posmodern sudah dan sedang memasuki satu era seksualitas yang sangat berbeda dengan era-era sebelumnya.
Moralitas yang dipergunakan sebagai “kanopi” untuk melindungi seksualitas agar menjadi “konsumsi ruang privat”, secara konsisten diokupasi serta diintervensi. Okupasi dan intervensi yang dilakukan terhadap seksualitas, bertujuan agar semua libido bisa dilepaskan, memberikan sensasi kenikmatan tanpa batas. Libido menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang tidak memiliki realitas – muncul dimana-mana dalam bentuk simulasi. Ketika individu mendapatkan akses untuk melihat, menonton, melakukan atau bahkan mengekspresikan seksualitas yang awalnya dianggap tabu serta tertutup, ini menandakan bahwa tidak ada lagi yang intim dan rahasia dalam dunia realitas. Kenyataan tentang intimasi seksualitas menjadi kabur dan luntur karena aspek kerahasiaannya sudah menjadi tontonan ruang publik. Tumbuhnya realitas ini menandai bahwa bangunan ruang fantasi serta ilusi seksual menjadi berakhir. Terlebih, dalam realitas ruang kapitalisme, sekat antara tubuh dan semua obyek menjadi menghilang karena melebur dalam komoditas. Kuatnya pengaruh ideologi komoditas digerakkan secara intensif oleh hegemoni libido, atau dalam istilah yang disampaikan oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari diistilahkan dengan “kekuasaan hawa nafsu” – pernyataan tentang kuatnya ideologi komoditas yang digerakkan oleh hegemoni libido mengandung arti bahwa aspek psikologis tiap individu distimulasi atau didorong agar terus mencari berbagai hal yang berhubungan dengan pemuasan nafsu atau libidonya. Mendesaknya kebutuhan libido inilah yang dibaca oleh kapitalis untuk memanfaatkan keberadaan tubuh dan menjual aspek intimnya agar mampu memenuhi hasrat seksual tiap individu. Tentu, untuk bisa mengakses sisi privat sebuah tubuh, tiap individu diwajibkan untuk membayar dengan angka tertentu. Eksistensi hasrat dan desakan libido yang tereproduksi secara terus-menerus inilah yang menjadikan tubuh kehilangan otonominya, serta menjadi “area yang tidak netral”, karena terus dieksploitasi dengan tujuan memenuhi “kebutuhan pasar hasrat”. Akumulasi harga dan transaksi yang terjadi dengan memperjualbelikan tubuh berdasarkan besaran nominal tertentu, menjadikan manusia sebagai “pabrik hasrat yang berjalan”.
Di segala lini, mengalir deras arus libido dan mempengaruhi setiap aspek kehidupan sosial masyarakat. Libido pulalah yang telah menyebabkan kapitalisme menemukan muaranya. Kapitalisme yang berbasis libido, memunculkan fenomena global yang disebut dengan passionate capitalism (kapitalisme yang berlandaskan nafsu). Intensi dari jenis kapitalisme ini yakni berupaya membebaskan passion untuk mendapatkan keuntungan, dengan mengeksploitasi tubuh-tubuh telanjang manusia dan menjadikannya sebagai barang dagangan. Dalam kenyataan kapitalisme yang berbasis pada libido, ditandai oleh adanya ekspansi penciptaan bentuk-bentuk pengumbaran arus libido yang tiada henti, seperti: cybersex, cyberporn, fetishism dan sebagainya. Terlepasnya masyarakat posmodern dari aturan-aturan, kaidah, hukum, tabu, moral dan lain sebagainya, telah mengalihkan perhatian mereka pada norma-norma konkret yang diyakini sinkron dengan citra diri mereka, seperti norma komoditas, informasi, teknologi dan media massa. Oleh masyarakat posmodern, norma-norma tersebut seakan dijadikan gravitasi atau satelit baru, sebuah titik di mana seluruh aspek kehidupan baru berpusat.
Munculnya dominasi dan arus produksi massa yang begitu deras dan masif di era ini, adalah tanda bahwa manusia hidup dalam sebuah realitas yang oleh Guy Debord disebut dengan istilah spectacle society atau “masyarakat tontonan”. Konsep “masyarakat tontonan” memperlihatkan bahwa ada transisi perilaku konsumsi masyarakat, dari proses konsumsi barang beralih pada proses konsumsi tontonan. Iklan, reklame dan berbagai arus informasi yang diperlihatkan melalui media cetak maupun online menjadi aspek konsumsi utama era ini. Karena intensitas konsumsi sudah beralih ke dalam aspek tontonan, maka sistem kapitalisme melakukan overstimulasi untuk mencekoki konsumen dengan berbagai produk pemenuh libido. Aktivitas sensor di era ini, tidak lagi berwujud pada pengurangan atau penghilangan informasi, akan tetapi kegiatan sensor sudah beralih wujud dengan memberikan informasi sebesar-besarnya, tanpa ada yang ditutup-tutupi, agar ekspektasi pemenuhan hasrat menjadi maksimal dan tanpa melewati filter terlebih dahulu. Hal ini jelas menunjukkan bahwa superioritas media massa dan tontonan menjelma menjadi “agama dan Tuhan sekuler”.
Kapasitas tontonan yang begitu besar, ditambah akses untuk mendapatkan tontonan terbuka sangat lebar, maka seks yang dianggap tabu menjadi aspek yang bisa diperbincangkan tanpa malu-malu. Runtuhnya bangunan moral dan aspek tabu pada masyarakat posmodern, melegitimasi bahwa aktivitas seksual dan berbagai kegiatan yang menyerupainya, sangat bebas ditafsirkan serta dipraktikkan. Misalnya, masalah perawan atau perjaka, dipandang bukan lagi hal yang penting dan mutlak untuk dipertahankan. Akan tetapi, ketika hasrat seks ingin diekspresikan, maka domain perawan ataupun perjaka bisa dilakukan dengan orang yang dikehendaki dan yang dianggap layak menerimanya, tanpa harus berpegangan pada aspek pranata heteronomi yang sah. Konteks dan realitas ini bisa kita baca sebagai indikasi lahirnya masyarakat baru yang hedonis, konsumtif dan materialistis. Hedonis, karena masyarakat memprioritaskan untuk mengejar kenikmatan. Konsumtif, karena masyarakat mencari kenikmatan seksual dan segala jenis fantasinya, dengan pola yang sama seperti berbelanja kebutuhan dengan boros. Serta, materialistis karena ada kenikmatan yang ditukarkan dengan akumulasi angka, harga dan nominal tertentu.
Otoritas media serta kekuatan kapitalisme, “memaksa” seks untuk masuk dan menetap di ruang publik. Di ruang publik, seks dikomodifikasi dan menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan melalui transaksi. Fenomena onlyfans pada beberapa kanal menjadi contoh yang relevan untuk menggambarkan situasi hari ini. Orang yang berhasrat memenuhi fantasi seksualnya, harus membayar atau bahkan berlangganan untuk mendapatkan konten-konten intim dan sensitif dari orang-orang yang mengomersialkannya. Ada psikologis yang diaduk-aduk, agar konten yang dibuat menjadi candu. Sehingga, tiap individu memiliki hasrat untuk terus menonton, mengonsumsi, atau bahkan tidak bisa melepaskan diri dari konten tersebut. Akses media sosial dan transaksi yang sangat mudah, memungkinkan masifnya konten-konten serupa di media massa. Melalui bantuan sosial media, individu tidak malu lagi mempertontonkan bagian intim tubuhnya, yang terpenting adalah nominal yang didapatkan dari apa yang mereka suguhkan. Konklusinya adalah, kapitalisme bertransformasi dengan mengambil “wujud baru”, memanfaatkan desakan pemenuhan hasrat, dan memenuhi hasrat tersebut lewat visualisasi tontonan.