Kompleksitas dari apa yang dilakukan manusia menggambarkan bahwa perbuatan manusia itu tidak tunggal. Tindakan mencuri misalnya. Meskipun tidak dibenarkan, namun masih terdapat gradasi pertimbangan hal yang baik dan buruk dalam tercapainya sebuah keputusan. Keputusan untuk mencuri belum tentu merupakan perbuatan mencuri, karena suatu perbuatan itu berkaitan dengan sebuah keputusan dan bagaimana ia berkehendak dalam mengeksekusi suatu tindakan tersebut. Pelaku pencurian mempunyai motif tertentu dalam melakukan tindakan pencuriannya. Jadi dalam tindakan mencuri terdapat banyak sesuatu yang berpartisipasi di dalamnya mulai dari keputusan, perbuatan, tindakan, dan motif.
Karena perbuatan manusia itu kompleks maka dalam penilaian moral baik dan buruk kepada seseorang, kita harus menilainya secara kompleks juga. Orang yang terpaksa mencuri karena dia tidak bisa lagi untuk makan sudah jelas berbeda dengan orang yang mencuri karena rakus, misalnya koruptor yang hasil dari pencuriannya untuk memperkaya dirinya dan untuk berfoya-foya atau untuk membiayai wanita simpanannya. Terdapat motif yang berbeda dalam perbuatan tersebut. Jika orang yang terpaksa mencuri itu untuk bisa makan, maka orang yang mencuri karena sifat rakus itu untuk mendapatkan kekenyangan. Tindakan terpaksa dan rakus pun berbeda jauh, terdapat sebuah keputusan yang telah bulat pula antara sifat rakus dengan yang terpaksa.
Dalam kasus korupsi, secara normatif perbuatan dan tindakan koruptor sudah dikatakan kejahatan dan menyeleweng dari nilai moral. Namun, secara empiris perbuatan korupsi yang tidak henti-hentinya dilakukan oleh orang-orang yang rakus tidak bisa dienyahkan, dan menjadi sebuah tindakan yang membudaya di Indonesia. Terlepas dari persoalan tersebut, apakah nilai dari keburukan perbuatan korupsi itu karena dilarang oleh hukum? Misalnya hukum Tuhan dan ius constitutum, ataukah karena memiliki esensi moral yang buruk? Nietzsche melihat bahwa perbuatan baik dan buruk dalam tingkah laku manusia adalah suatu kuasa yang dimiliki manusia untuk bertindak atau melakukan tindakan.
Korupsi adalah bentuk kerusakan moral
Sering kali dalam kepentingan dari korupsi dan moralitas kerap digantungkan pada ide tentang nilai dan kebahagiaan. Seorang koruptor menganggap bahwa kebahagiaan sebagai kenikmatan dan mengkategorikan nilai dalam kutub enak dan tidak enak. Kebahagiaan yang dimaksud dalam tindakan korupsi adalah kesejahteraan pribadi, di mana uang bisa membuat bahagia dirinya maupun keluarganya. Moral koruptor dikatakan tidak enak ketika ia tertangkap tangan melakukan tindakan korupsi karena mereka akan diberi label buruk, sedangkan sebelum tertangkap tangan pandangan moralitas kepada koruptor enak sekali, karena ia terlihat mempunyai jabatan dan kestabilan ekonomi yang baik di mata orang lain. Akan tetapi, dibalik itu semua tetap saja tindakan korupsi adalah moral yang busuk dan bisa dikatakan mungkin orang yang tersandung korupsi bukanlah orang jahat pada umumnya atau lahir dari lingkungan kriminal.
Faktor utama dari pembentukan moral yang buruk ialah tidak mengerti cara menghormati kehidupan dan kemerdekaannya. Maksudnya, dirinya dikuasai oleh suatu yang materiil dan tidak bisa terbebas dari belenggu yang di luar kendali dirinya. Memahami diri sendiri merupakan pengetahuan moral yang paling dasar agar dapat bertindak dan mengambil keputusan dengan baik.
Mengerti pengetahuan moral tentang baik dan buruk saja tidaklah cukup, karena mengerti nilai-nilai moral tanpa mengaplikasikannya dalam kehidupan hanya menghasilkan orang yang cerdas, tetapi tidak bermoral. Namun, jika orang yang sudah mengetahui perasaan moral, biasanya akan lebih mengerti apa yang harus diambil dalam suatu tindakannya. Perasaan moral merupakan aspek yang harus ditanamkan kepada setiap individu, karena perasaan moral sebagai yang memberi motivasi bagi tindakan moral seseorang.
Ketika kita berhadapan dengan dilema moralitas, kita akan mempertimbangkan secara rasional tindakan yang akan kita ambil, namun secara bersamaan perasaan kita yang muncul dari rasa empati. Dalam situasi demikian, seseorang memutuskan moralnya untuk bertindak, meskipun dia sendiri tidak terikat dalam kewajiban-kewajiban tertentu. Oleh karena itu, baik pengetahuan moral maupun perasaan moral sangat dibutuhkan oleh manusia.
Para koruptor sudah mengerti nilai moral mana yang baginya baik dan mana yang baginya buruk, tetapi dia tidak merasakan moral pada dirinya karena mereka sendiri memiliki kehendak untuk berkuasa (will to power). Menurut Nietzsche (2002), besarnya daya lawan yang dapat ditawarkannya dan besarnya derita dan siksaan yang dapat dipikulnya dan mengetahui cara berkelok ke keuntungannya sendiri, “Saya tidak menunjuk kenistaan dan kenyerian eksistensi dengan jari penegur, tetapi justru memperlihatkan harapan bahwa kehidupan pada suatu hari bisa menjadi lebih buruk dan lebih penuh derita daripada yang pernah terjadi.” Adanya sebuah kemunafikan di sini, yakni penolakan yang secara naif terhadap kehendak untuk berkuasa yang mengatasnamakan moralitas.
Manusia pada dasarnya hidup untuk kesejahteraan dirinya sendiri dengan mencari kenikmatan yang bagi dirinya baik tanpa memikirkan baik di mata orang lain. Sehingga kehendak untuk menguasai hak milik orang lain atau korupsi demi kesejahteraannya tidak perlu secara munafik ditampik, karena setiap manusia memiliki nafsu untuk berkuasa tersebut, termasuk nafsu menguasai hak milik orang lain atau korupsi. Nietzsche beranggapan bahwa nafsu untuk berkuasa, yang dianugerahkan kepada manusia supernya, itu sendiri merupakan hasil dari ketakutan (Russell, 2002). Tidak ada manusia yang menginginkan kehidupannya buruk atau tidak sejahtera. Dalam menuntaskan kehidupan yang tidak sejahtera seseorang perlu untuk menghendaki suatu kuasa. Korupsi merupakan kekuatan suatu kuasa yang di dalamnya baik bagi hidupnya, tetapi tidak baik bagi moralnya. Sesuatu yang telah dikorupsi dikarenakan tidak ada yang memiliki keberanian untuk mendefinisikan unsur khas dalam kebahagiaan sebagai perasaan yang berkuasa.
Moralitas menurut Nietzsche
Konsep kekuasaan yang ada pada Tuhan atau manusia selalu mencakup kemampuan untuk membantu dan mencakup pula kemampuan untuk menyakiti. Pengaruhnya disebabkan oleh keinginan berkuasa, hasrat akan jabatan, balas dendam, dan rasa kepemilikan. Akan tetapi, seharusnya manusia dapat membebaskan dirinya dari hal-hal itu. Jika tidak, mereka tidak bisa menjadi orang baik (Nietzsche, 2020).
Terdapat manusia-manusia yang secara naif dan percaya bahwa kesenangan adalah sesuatu yang diinginkan, sehingga tercipta ekspresi kelemahan pada manusia, yakni intoleransi moral. Hal itu merupakan tanda bahwa mereka takut akan immoralitasnya sendiri dan menyangkal dorongan terkuat yang ada dalam dirinya karena tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. Keinginan yang terdegradasi seolah-olah hanya sebuah motif keinginan yang tidak memiliki nilai baik pada objek maupun pada hal itu sendiri, melainkan hanya sekedar kesenangan.
Dalam pandangan Nietzsche, kehendak untuk berkuasa itu adalah membebaskan diri dari belenggu seperti ketakutan, perhatian terhadap orang lemah, kasih sayang, dan segala macam aturan yang membatasi nafsu dan insting. Moralitas Kristen oleh Nietzsche dianggap sebagai moralitas budak yang lahir dari sentimen yang lemah terhadap yang kuat. Moralitas budak merupakan moralitas orang kecil, orang yang lemah, dan moralitas orang yang tidak bisa bangkit dan menentukan hidupnya sendiri. Oleh karena itu, mereka iri terhadap orang yang bisa dan membuat sentimen terhadap orang yang kuat. Dan yang baik bagi orang yang kuat, seperti kekuatan, keberanian, kekerasan, tekad untuk menentukan sendiri arah kehidupannya dalam moralitas budak yang dilakukan orang yang kuat dianggap bahwa itu semua buruk.
Moralitas budak ini termasuk moralitas kawanan (Herdenmoral), yakni sikap orang yang selalu mengikuti kelompok dan tidak berani bertindak sendiri serta haus akan pujian namun takut untuk ditegur. Padahal terdapat kaitan antara moralitas dan agama yang menjadi sarana utama yang bisa digunakan untuk mengabulkan kehendak apapun yang diinginkan, asalkan seseorang memiliki kelebihan, kekuatan, kreatif, dan dapat menegaskan keinginan seseorang dalam jangka waktu yang lama dan dalam bentuk undang-undang, agama, dan adat istiadat. Dalam fisiologi agama nihilistik terdapat sejarah penyakit sistematis yang menetapkan sistem penamaan atas dasar moralitas keagamaan. Sehingga, agama dihancurkan oleh kepercayaan akan moralitas. Tuhan dari moral Kristen tidak lagi dapat dipertahankan (Nietzsche, 2020).
Nietzsche tidak hanya memasukkan agama Kristen ke dalam moralitas budak, melainkan juga gerakan demokrasi karena menolak kekuasaan diktator dan elite serta gerakan sosialisme yang menurutnya gerakan ini adalah sentimen orang-orang yang lemah berjiwa budak dan iri terhadap mereka yang kuat dan kaya. Untuk melawan moralitas budak itu, Nietzsche menempatkan moralitas tuan. Dalam moralitas tuan, baik adalah sama dengan luhur dan buruk adalah sama dengan hina. Dan yang dianggap hina adalah si penakut, si cengeng, si pencuri untung, si penjilat, si pembohong dan orang yang merendahkan diri. Namun, moralitas tuan membenarkan kekuatan, kekuasaan, dan seluruhnya membenarkan dirinya sendiri karena kehendak untuk berkuasa.
Korupsi dalam pandangan Nietzsche
Manusia memiliki kehendak untuk berkuasa (will to power) sebagai bagian dari kodrat alamiah dalam diri manusia. Kekuasaan berkaitan erat dengan politik dan politik tidak terlepas dari kehidupan sosial. Sehingga, manusia yang merupakan makhluk sosial mempunyai hasrat dalam dirinya yang termanifestasi untuk mencoba menguasai sesama, bahkan menguasai alam di mana ia tinggal. Akar dari setiap kejahatan termasuk di dalamnya korupsi, bagi Nietzsche merupakan kemunafikan, yakni penolakan naif terhadap kehendak untuk berkuasa atas nama moralitas.
Di Indonesia sendiri, perilaku korupsi seolah-olah memberikan gambaran sisi gelap manusia, yang mana terdapat hasrat berkuasa yang tertanam dalam dirinya, nafsu untuk meraup kesenangan saja, kemalasan, ketidakberpikiran manusia, kekosongan jiwa, hingga adanya sisi hewani yang tidak tertata. Hal itu, menggambarkan bahwa kejahatan menorehkan jejaknya dalam sejarah hidup manusia khususnya di Indonesia, dan akhirnya kejahatan itu berubah menjadi kejahatan yang sistematik dan mengakar menjadi budaya. Selama sifat hewani dan sisi gelap manusia tertanam kuat dalam dirinya, maka kejahatan itu akan terus terjadi.
Kekuasaan memang menyihir manusia pada pemikiran dan perilaku yang immoral, mereka yang lemah akan tenggelam dalam hingar bingarnya tampuk kekuasaan. Akan tetapi, bagi mereka yang mengerti hakikat kekuasaan tidak semata diidentikkan buruk seperti yang dikatakan Nietzsche, yakni kekuasaan bukan untuk diingkari, melainkan untuk diraih, dirayakan, dan digunakan untuk menciptakan, bukan untuk bertindak merugikan.
Dalam dunia yang pada dasarnya salah, kebenaran akan menjadi kecenderungan yang tidak lazim, yaitu kecenderungan yang hanya bermakna sebagai sarana menuju kekuasaan kepalsuan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, agar dunia berdasarkan makhluk kebenaran dapat tercipta, orang yang benar harus diciptakan dan orang tersebut juga harus percaya dirinya benar. Sederhana, jujur, tidak bertentangan dengan dirinya sendiri, teguh, tanpa prasangka, tanpa lagak, tanpa kerahasiaan, tanpa bentuk: pria semacam ini memahami dunia keberadaan sebagai Tuhan menurut citranya sendiri. Agar kejujuran dapat tercipta, seluruh aspek umat manusia harus sangat suci, sederhana, dan mulia: keberuntungan dari segala sudut pandang datang dari orang yang benar karena penipuan, kelicikan, kepalsuan selalu mendatangkan kekalutan.
Secara moralitas orang yang melakukan korupsi dikategorikan mempunyai moralitas kawanan atau moralitas budak karena hanya ikut-ikutan saja, namun dia juga mempunyai moralitas tuan yang buruk karena melakukan suatu yang hina, yakni menjadi penipu, pembohong, dan merugikan dirinya sendiri. Sesungguhnya kehendak untuk berkuasa bagaikan pedang bermata dua, karena memiliki sisi baik dan sisi yang buruk. Dari segi baik kekuasaan dapat membangun atau konstruktif, sedangkan dari segi yang buruk kekuasaan dapat mengarah pada kesewenang-wenangan yang destruktif. Manusia tidak perlu munafik menampik hasrat untuk berkuasa, melainkan mengarahkannya terhadap kemungkinan yang lebih konstruktif, bukan koruptif, baik bagi dirinya sendiri maupun kehidupan sesama.
Daftar Pustaka
Nietzsche, F. W. (2020). The Will to Power: Kekuasaan dan Hasrat yang Melampaui Kemampuan Diri Manusia. Yogyakarta: Narasi.
Russell, B. (2002). Sejarah Filsafat Barat : Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.