Di tengah kegawatan dunia yang menuntut terus adanya dialektika zaman tentunya sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan. Upaya manusia untuk memahami realitas konkretnya merupakan salah satu pekerjaan yang akan tidak pernah selesai dan terus berkembang. Pada abad pertengahan kita menyaksikan bagaimana pergantian rupa dunia Eropa. Ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menghantar dunia menemukan realitas baru. Sebagai makhluk yang memiliki kemampuan kognitif atasnya pasti selalu mendorong manusia untuk terus melakukan interpretasi – interpretasi terhadap keadaan yang imanen maupun realitas eksternalnya (transenden) secara dinamis. Tanpa disadari fenomena ini merupakan salah satu konsekuensi logis dari adanya hukum dialektika zaman. Munculnya berbagai macam ideal tertentu dalam melihat dan menafsirkan keadaan manusialah yang kemudian berimplikasi terhadap adanya upaya siklus dekonstruksi pada setiap ilmu pengetahuan dan paradigma mengenai ideal tertentu
Dalam berbagai zaman, khususnya modernisasi kita bisa melihat sebuah fenomena yang merepresentasikan peran manusia sebagai subjek utama dari tugas penting sejarah dan filsafat untuk merasionalisasi keadaan. Lahirnya zaman yang dikenal dengan renaissance menjadi satu ingatan yang monumental dunia khususnya Eropa sebagai simbol beralihnya zaman ke era yang lebih transformatif dan melakukan dekonstruksi besar-besaran dalam setiap sendi pergaulan sosial manusia yang sebelumnya dinilai perlu untuk diperbaharui dan diperbaiki khususnya pengetahuan secara signifikan.
Namun, di dalam perkembangannya, alih-alih menghantarkan manusia dan alam semesta untuk hidup lebih bermutu, positivisme justru mengumpulkan beragam anomali ketimpangan yang mendorong dirinya untuk harus direfleksi dan evaluasi. Di balik pencapaiannya yang mentereng, ternyata di sana pula manusia modern jatuh dalam keadaan di mana semua berujung represif. Tanpa disadari, modernisasi menggiring dan membentuk sebuah tatanan konfigurasi sosial yang represif. Manusia dan alam semesta tumbuh dengan kontrol multi-sektor melalui teknologi sebagai peralatan dan membentuk beragam dominasi – dominasi.
Lahirnya era atau zaman baru tentunya tidak hanya berdampak atas perubahan sosial semata. Ilmu pengetahuan, yang menjadi instrumen penting dalam menstimulus kesadaran manusia pastinya juga mengalami pembaharuan yang kontras. Munculnya banyak pemikir yang memberikan sumbangsih pengetahuan terhadap dunia menandai lahirnya satu era ilmu pengetahuan tertentu. Khususnya modernisasi, yang menjadi era pemrakarsa hadirnya beragam aliran pemikiran dan paradigma yang dibangun dari melimpahnya kekayaan intelektual barat kemudian menjadi embrio munculnya istilah filsafat modern. Beberapa mazhab seperti, rasionalisme dan empirisme menjadi induk utama dalam berbagai macam irisan pikiran filsafat modern yang terbingkai dalam satu istilah Aufklarung.
Di dalam perkembangannya, alih-alih menghantarkan manusia dan alam semesta untuk hidup lebih bermutu positivisme justru menggumulkan beragam anomali ketimpangan yang mendorong dirinya untuk harus direfleksi dan evaluasi. Di balik pencapaiannya yang mentereng, ternyata manusia modern jatuh dalam keadaan di mana semua berujung represif. Tanpa disadari, modernisasi menggiring dan membentuk sebuah tatanan konfigurasi sosial yang represif manusia dan alam semesta tumbuh dengan kontrol multi-sektor melalui teknologi sebagai peralatan untuk merawatnya tumbuhnya beragam dominasi.
Selayang pandang modernitas dan anak kandungnya (positivisme)
Jika disidik, modernisasi bukan era yang lahir secara alamiah dan serampangan. Disebut sebagai zaman pencerahan, perkembangan modernisasi hingga dewasa ini dibesarkan dan dipelihara oleh logika pengetahuan Positivisme yang menjadi urat nadi dalam pertumbuhannya. Positivisme merupakan hasil dari sebuah manifesto pengetahuan barat yang menjadi puncak perwujudan pengetahuan sejati umat manusia. Sebagai upaya reflektif untuk mendorong kemajuan manusia dan juga mengakhiri jalan buntu pengetahuan pra-pencerahan. Usaha rasionalisasi kembali pengetahuan atau revolusi pengetahuan melahirkan satu aliran baru hasil dari perenungan dan proses integrasi berbagai macam corak filsafat modern yang bertumpu pada pengagungan rasionalitas-empiris.
Positivisme merupakan sebuah upaya untuk merekonstruksi kembali ilmu pengetahuan dengan pengaturan dikotomis antara teori (pengetahuan) dan praksis sosial untuk menempatkan pengetahuan bebas dari pretensi kepentingan yang dinilai membuatnya tidak objektif atasnya. Adapun upaya ini disebut sebagai purifikasi pengetahuan atau pemurnian ilmu pengetahuan, melalui rasionalisme-empiris diharapkan ilmu-ilmu dapat membebaskan dirinya dari kepentingan. Di sisi lain, pencerahan bagi Eropa adalah usaha manusia untuk membebaskan diri dari ketakutan dan menegakkan kedaulatannya atas alam dan masyarakat.
Secara metodologis, sesuai dengan prinsip rasionalisme-empirisme positivisme merobek cara-cara pandang tahayul yang dinilai metafisik dan terbelakang seperti genealogi pikiran pra-pencerahan. Dalam perkembangannya, positivisme bekerja dengan mengeneralisir metode pengamatan dan pemahaman antara ilmu pengetahuan alam dengan ilmu-ilmu sosial yang mana ialah berakhirnya peran ontologi sebagai peralatan utama untuk mendeskripsikan pengetahuan dan diganti dengan cara kerja hukum-hukum alam yang saintis. Pengamatan satu gejala tertentu harus dibasiskan pada satu fakta yang objektif baik secara inderawi maupun historis empiris dan memahami gejala-gejala lainnya yang saling bertaut. Imbasnya kemudian ialah kesahihan ilmu pengetahuan diukur dari hasil verifikasi yang mendorong pengetahuan seobjektif mungkin tanpa ada pengaruh fakta-fakta yang melampaui inderawi dan bebas dari kepentingan manusiawi.
Sikap positivistik memiliki watak yang mengakibatkan pengetahuan membeku dan dipahami secara teknis belaka. Sesuatu yang tidak mampu menghadirkan fakta secara objektif indrawi dinilai dan dianggap nonsense. Seperti halnya klaim moral, pernyataan estetis dianggap tidak dapat diverifikasi hingga tidak mendapatkan tempat yang layak.
Dalam penggambaran selanjutnya, sederhananya dengan cara kerja positivistik yang kita uraikan di atas. Dapat dipahami bahwa positivistik akan bersifat teknis dan statis dengan upayanya yang menegasikan dan penyangkalan terhadap fakta–fakta yang secara epistemologinya tidak bisa diverifikasi. Tidak ada perbedaan dengan ilmu saintifik, positivistik menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, ialah menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni dan tidak memiliki nilai. Secara tidak langsung, pengetahuan itu harus dipakai untuk kepentingan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia. Ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam, bersifat netral dan bebas dari nilai (Hardiman, 2009).
Dengan sikap kemurnian teoritis yang diwarisi sebagai metodologi seolah–olah positivisme melihat bahwa tidak ada keterkaitan antara struktur dunia atau masyarakat dengan manusia sebagai objek utama, yang dengan itu dapat dikatakan bahwa positivisme telah membangun dinding tebal di antara pengetahuan dan kehidupan praktis yang secara prinsip merupakan ciri dari intervensi saintisme terhadap ilmu sosial. Akibatnya, manusia hidup dalam dunia teknis yang akibatnya manusia didudukkan tidak lagi sebagai subjek tapi objek yang dinilai dan dipandang dengan kacamata kalkulasi, statis, dan matematis.
Represifitas modernitas
Berangkat dari pikiran Jurgen Habermas, ia mendudukkan bahwa pencerahan adalah sebuah filsafat yang memiliki semangat membebaskan manusia dari berbagai bentuk dominasi kekuasaan maupun hegemoni kesadaran, yang secara hakiki justru jatuh dalam sebuah dogmatisme baru. Pencerahan yang ingin meningkatkan martabat manusia melalui penggunaan nalar justru jatuh dalam ideologi yang berorientasi teknis. Ideologi ini menjelma dalam bentuk pengejaran atas rasionalitas bertujuan (zweckrationalitaet). Seluruh pertanyaan praktis yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari yang tidak dapat dipecahkan secara teknis disebut irasional.
Semangat emansipasi yang menjadi landasan filsafat pencerahan telah digantikan oleh instruksi kontrol atas proses-proses yang diobjektifkan. Tingkah laku manusia tidak lagi dianggap subyek penelitian tetapi menjadi obyek yang dapat dimanipulasi secara teknis atau digunakan sebagai legitimasi teoritis. (Nugroho, 1997)
Apa yang dilakukan oleh Habermas terhadap praktek politik pencerahan adalah menentang universalitas rasionalitas teknis -ialah reduksi praktis ke teknik atau perluasan purposive-rational action dalam setiap aspek kehidupan. Emansipasi baru dapat terjadi dalam masyarakat kalau setiap perubahan sosial didasarkan pada pelacakan kembali sejarah umat manusia. Sementara itu emansipasi politik tidak dapat diidentikkan dengan kemajuan teknik karena ada dua pengertian tentang rasionalisasi. Pertama, rasionalisasi dalam dimensi tindakan instrumental berarti pertumbuhan kekuatan-kekuatan produktif dan kontrol teknologis atas kehidupan sosial. Kedua, rasionalisasi dalam dimensi interaksi sosial berarti perluasan komunikasi yang bebas dari segala bentuk dominasi.
Atas intervensi teknologi terhadap kehidupan sosial tentunya akan melahirkan banyak dominasi–dominasi liar. Max Horkheimer dalam bukunya yang berjudul Dialectic of Enlightenment, Menjelaskan dengan kontrol teknologi, di mana modernitas hadir sebagai dominasi struktural yang menindas. Ini disebabkan oleh dialektika yang dibangun dari cara berpikir yang positivistik membeku sebagai suatu ideologi taktis. Hal tersebutlah, bagi Max Horkheimer mengantarkan dunia terjebak dalam proses pembusukan dan keruntuhan. Dapat dilihat sejak langgengnya gaya berpikir yang saintifik, dunia barat menghasilkan perang dunia, fasisme, stalinisme, dan cara hidup konsumeris dalam masyarakat kapitalis Amerika Serikat tempat mereka mengungsi (Horkheimer, 1973).
Upaya positivisme untuk membekukan ilmu pengetahuan sebagai instrumen yang bebas akan nilai, justru membukakan corong penindasan yang lebih radikal dan represif. Pasalnya, potensi ilmu pengetahuan mengandung relevansi politis yang lebih besar pada akhirnya yang nantinya justru akan membantu melanggengkan status quo masyarakat yang timpang dengan segala macam dominasi terhadap setiap sektor akses khususnya pengetahuan dan teknologi. Seperti yang dituturkan oleh Herbert Marcuse, dalam bukunya yang berjudul One Dimensional Man, menyoroti bagaimana modernitas berfungsi sebagai ideologi dan dominasi. Dalam hal ini, Marcuse menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi modern —positivisme — yang sebenarnya dapat membebaskan manusia dari tuntutan untuk bekerja keras ternyata menjadi sistem penguasaan total dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjelma dalam industri telah memproduksi barang konsumsi yang berlimpah sehingga sebenarnya idam-idaman manusia untuk menciptakan welfare state telah terwujud dan dengan jalan itu manusia dapat merealisasikan kebahagiaan dan kebebasan. Namun naasnya, menurut Marcuse, kebahagiaan dan kebebasan itu tidak terwujud lantaran ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi itu bukannya mengabdi manusia, melainkan justru manusialah yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa disadari, manusia yang gandrung dengan ilmu dan teknologi ditelan oleh kekuasaan ilmu dan teknologi tersebut, yang tampil sebagai sistem total yang merangkum berbagai bidang kehidupan manusia. (Marcuse, 1964)
Kita bisa melihat di balik keagungannya dan spiritnya untuk memartabatkan manusia, modernitas menghantar manusia sampai keadaan ideal secara taktis, yang di sisi lain ternyata di situ pulalah manusia modern jatuh dalam keadaan di mana semua berujung represif. tanpa disadari, positivisme menggiring dan membentuk sebuah tatanan konfigurasi sosial yang represif dengan skema kontol total atas kehidupan sosial. tidak ada lagi kebebasan, manusia modern tumbuh dengan realitas keadaan yang mengurung mereka dalam sistem tirani yang matematis.
Muh Abdillah Akbar
Penulis merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.