Pada beberapa kondisi, dunia idea terasa hampir punah. Inti dari filsafat realisme Plato tersebut seolah mulai ditinggalkan dan digilas hingar bingar filsafat analitis, misalnya dalam jurnal Mind yang begitu populer. Penulis dan beberapa Platonian yang tersisa di pondokkan Tot Norberg telah mulai menyaksikan dunia tersebut. Dunia yang Nietzsche sitir sebagai unterwelt (dunia bawah tanah), ialah yang seolah hanya lahir dari gagasan arbitrer Plato.
Namun signifikansi “dunia seberang” tersebut juga tidak mudah untuk dinafikan. Pendapat Alfred N. Whitehead bahwa filsafat Barat dilanjutkan dari warisan catatan kaki Plato merupakan pertimbangan penting dalam perkembangan filsafat barat. Misalnya dalam asal-usul bilangan, keyakinan dari kaum realis atas nilai sebuah bilangan masih dominan. Bilangan diyakini terletak di dunia seberang yang independen dari alam inderawi manusia. Pada bilangan akar, bilangan π ataupun aksioma matematis (keterkaitan rumus) tidak dapat direduksi dalam tataran empiris semata, namun selalu abadi di dunia idea.
Di dalam filsafat Immanuel Kant juga muncul istilah noumena. Noumena ialah realitas yang tidak pernah bisa kita akses. Kant menyebut realitas ini sebagai das ding an sich atau realitas pada dirinya sendiri. Kesejatian realitas terdapat dalam tataran yang tidak pernah dicapai oleh manusia. Yang dapat kita ketahui mengenai realitas hanyalah realitas sesuai representasi dalam diri, ialah yang disebut Kant sebagai das ding vur mich atau realitas fenomenal.
Respon Hegel pada Filsafat Kant
Georg Hegel menolak pembelahan realitas Kantian di atas. Hegel meyakini realitas telah utuh pada dirinya sendiri. Apabila Kant mengkaji das ding vur mich dalam berbagai kategori pikiran yang ketat. Hegel sebaliknya, justru meyakini bahwa tidak ada perbedaan antara yang ada di dalam rasio dan realitas. Dalam ungkapannya yang terkenal, Hegel menyatakan bahwa keluasan rasio adalah keluasan realitas.
Namun kritik Kant juga bukan kritik yang sederhana utamanya mengenai kategori pikiran. Dengan meminjam kategori Aristotelian; kuantitas, kualitas, relasi, modalitas, dan seterusnya. Kant meradikalisasi kategori tersebut di dalam kategori ruang dan waktu yang ia yakini inheren di dalam pikiran.
Kategori tersebut Kant sebut sebagai forma apriori. Pengetahuan manusia atas realitas hanya dimungkinkan dengan adanya forma apriori. Pengetahuan hadir melalui dua alur yang disebut sebagai alur analitis dan alur dialektis. Pengetahuan analitis tak lain berasal dari olah persepsi sedangkan di dalam pengetahuan dialektis, dimungkinkan munculnya sintesa metafisis seperti pengetahuan atas jiwa, Tuhan, maupun hipotesis metafisis lain.
Selebihnya Hegel menyuguhkan sebuah “hiper-logika” yang meradikalkan logika transendental Kant di atas. Hiper-logika tersebut adalah dialektika, sebuah hukum kontradiksi di dalam being/pengada yang mengutuhkan realitas being/pengada itu sendiri.
Salah satu cara tepat untuk menggambarkan hiper-logika ini adalah dengan mengingat kembali paradoks terkenal Bertrand Russell. Paradoks tersebut disebut sebagai paradoks “set” atau paradoks “kumpulan”. Apakah arti dari “set of sets is not itself” atau bendel dari kumpulan-kumpulan yang bukan hal itu sendiri?
Bayangkan suatu bendel yang terdiri dari sesuatu berisikan bendel-bendel lain (banyak bendel). Bendel utama yang kita maksud, tidak pernah membentuk dirinya sendiri tanpa bendel-bendel lainnya. Maka bendel atas bendel-bendel tadi tidak mempunyai dirinya sendiri. Secara ultimate pula “kebukan-dirian” atas bendel merupakan dirinya sendiri.
Hal demikian dalam filsafat Kant disebut sebagai antinomi. Antinomi selalu terletak di alam noumena karena manusia tidak pernah bisa memecahkannya. Bagi Kant, rasio hanya mampu sampai pada kesimpulan saling melingkar dalam kontradiksi tak hingga. Sedangkan bagi Hegel, paradoks demikian bukanlah ujung dari pengetahuan, melainkan awal dan asal dari pengetahuan. Pengetahuan dikonstruksi dari kontradiksi tak terhingga.
Apabila di dalam pemikiran Kant, dunia noumena tidak tercapai, maka Hegel meyakini bahwa dialektika selalu akan menuju dirinya yang lebih absolut. Misalnya dalam being atas kebebasan, menemukan evolusi atas dirinya menjadi keteraturan namun keteraturan itu sendiri artinya adalah aparatus di dalam kebebasan. Yang mana “negasi atas negasi” kebebasan adalah dirinya sendiri dan seterusnya.
Kembali menyitir Plato, dunia idea tidak sepenuhnya punah. Setidaknya dunia idea menjadi ranah hidup bagi noumena (menurut Kant) dan roh absolut (menurut Hegel). Dunia idea menyediakan paradoks bagi kita para penggiat filsafat realisme yang hampir dianggap ahli nujum di dunia yang makin serba analitik. Forma dari being tidak perlu dilihat dalam dunia seberang, melainkan meletak dalam aparatus diri being itu sendiri (setidaknya dalam konsep Hegel).
Hegel, Asal-usul Bahasa, dan Strukturalisme
Filsafat Hegel juga adalah pembuka bagi strukturalisme Perancis. Di dalam kontradiksi dialektis-lah bahasa mula-mula dibentuk. Misalnya dalam pembacaan Alexander Kojeve kepada Hegel yang bercorak antropologi. Mula-mula kita sebagai The-I (Sang aku) adalah tesis yang utuh namun tergerak seiring dengan pembedaan hal-hal lain sebagai antitesis. Persis dengan cara seperti itulah Jacques Lacan mengembangkan teori pengetahuannya. Teori tatanan simbolik dari Lacan tersusupi dogma Hegelian bahwa subjek mengutuhkan dirinya melalui persinggungan imajiner maupun simbolik dengan yang Iiyan.
Strukturalisme juga meyakini bahwa makna satu kata tidak pernah independen melainkan tergantung dalam sebuah struktur makna tak hingga. Namun, timbul sebuah misteri di dalam strukturalisme mengenai asal-usul bahasa.
Misalnya untuk mendefinisikan being “kursi” kita meminjam definisi; kursi adalah alat untuk duduk. Lalu kita perlu mendefinisikan being “duduk”, maka kita meminjam definisi: duduk adalah posisi setengah berdiri. Demikian seterusnya dalam repetisi tanpa batas. Namun di manakah ujung makna itu sendiri. Demikian disebut oleh Derrida, kita sebenarnya hidup dalam pengetahuan mimesis without origin (tiruan tanpa asal). Being qua being (pengada untuk dirinya sendiri) tidak pernah kita gapai. Medium qua medium (makna bagi makna) tidak pernah ada. Yang ada hanyalah mediasi antar tanda tanpa batas.
Persis dalam misteri inilah, filsafat Hegel memberikan kepada kita sedikit penerangan. Hukum kontradiksi Hegel memungkinkan terciptanya bahasa. Makna muncul mula-mula dari tindak negasi; makna “nothing” muncul dari negasi makna “being“. Tegangan makna “nothing-being” memunculkan makna “becoming” dan seterusnya. Hegel meyakini makna telah imanen pada dirinya, *segala negasi adalah peng-utuh makna.
Referensi
Suryajaya, Martin. 2009. Imanensi dan Transendensi. Jakarta: Penerbit Aksisepihak.