Pada 1641 Descartes melayangkan surat kepada dekan dan para doktor fakultas teologi di Sorbonne demi mendapat dukungan untuk tesisnya mengenai eksistensi Tuhan melalui pendekatan metodis. Surat ini disampaikan juga untuk memperoleh klaim dari otoritas akademisi relijius di Prancis. Surat Apologia tersebut kemudian diletakkan sebagai pembuka tesis ontologis Descartes yang berjudul On Meditation. Hal ini dilakukan Descartes karena sadar bahwa naskahnya dapat dengan mudah disalahartikan sebagai selarik heresitas yang pada zamannya, dapat menjadi tiket tercepat menuju auto-da-fe (tiang hukuman pembakaran). Masa ini digambarkan sejarawan Fernando Baez sebagai salah satu era kegelapan kepustakaan. Dalam bukunya “Sejarah Penghancuran Buku”, Baez mencatat bahwa pada tahun 1544, Sorbonne telah menyusun Index Generalis Scriptorum Interdictorum atau daftar seluruh buku yang dilarang. Kumpulan halaman tersebut berpotensi ancaman bagi keselamatan Descartes dan para filosof lain. Sewindu setelah terbitnya On Meditation, Descartes terserang radang paru-paru dan wafat pada 1650.
Kisah wafat Descartes kembali diungkit ketika Theodor Ebert pada tahun 2010 melakukan penelitian atas catatan dokter Descartes, Van Wullen. Ebert menyatakan bahwa Descartes meninggal bukan karena pneumonia melainkan karena arsenik yang menyerap dalam tubuhnya melalui jamuan malam terakhir di Gereja. Bila dugaan Ebert tepat, maka penelitian tersebut mengungkap bukti lain bahwa lembaga keagamaan atau otoritas dalam bentuk apapun kerap mengalami paranoia atas teks. Pasca terbitnya On Meditation, otoritas agama di Eropa mengalami hangat-dinginnya perdebatan teologis. Sebagian agamawan memandang Descartes sebagai teoritikus bidah yang menyebarluaskan ajarannya kepada masyarakat intelektual. Karena merupakan salah seorang penasihat Ratu Christina yang merupakan pemimpin tertinggi Swedia, Descartes juga dianggap berperan dalam penyebaran heretisme dalam lingkaran dalam kuasa kerajaan. Di sisi lain, sebagian agamawan mendukung tesis Descartes untuk menggunakan logika teologis yang rasional. Pertentangan ini telah diprediksi oleh Descartes hingga ia meminta pemakluman anggota senat fakultas teologi Sorbone untuk menempatkan dirinya dalam posisi yang benar-benar objektif dalam mengkaji eksistensi Tuhan dan hubungan tubuh-jiwa. Ia melihat adanya masalah pada kesamaan antara umat beriman dan kaum ateis dimana keduanya hanya menerima apa yang telah diwariskan. Sebaik-baiknya ilmu dan tradisi bagi kedua belah pihak, adalah yang telah diwariskan oleh para pendahulu. Sementara bagi Descartes, sebaik-baiknya ilmu (atau kepercayaan) adalah yang dapat diuji daya terimanya, serta dapat dimengerti secara rasional dan logis (penjabaran sistematis dari konsep metafisis tiap subjek).
On Meditation banyak digunakan kaum agamawan untuk menguji keyakinan dalam menjalani praktek kesadaran iman modern, alih-alih menerima doktrin yang statis. Tesis tersebut juga digunakan dalam pertimbangan dan pendekatan rasional dalam memahami pengenalan manusia atas tubuh-jiwanya, sebelum kemudian mengenali kausa dan sarana dari rangkaian tersebut. Selain agamawan, para ateis dan intelektual empiris juga melontarkan kritik pada Descartes sebagai agen Gereja dalam tubuh filsafat. Pada titik ini Descartes menjadi sosok yang dicintai sekaligus dibenci. Kelompok pendukung Descartes selanjutnya tetap melestarikan ajarannya hingga karya Descartes dapat hadir di tiap toko buku, bangku sekolah, maupun taman baca hingga saat ini. Namun keleluasaan berpikir yang pernah dimiliki Descartes, tidak mudah didapat oleh setiap orang. Tekanan otoritas statis yang dialami oleh Descartes serupa gambaran Orwell dalam novel “1984” dimana penguasa berusaha penuh menguasai pola pikir masyarakat. Semakin mapan sebuah otoritas maka semakin besar juga kuasanya atas pengawasan informasi. Dalam menanggapi seluruh kemawasan tersebut, nampak bahwa otoritas gentar atas apa yang lebih besar dari sekedar teks, yaitu atas daya cipta pikiran manusia. Paranoia otoritas yang sesungguhnya tidak terletak pada kumpulan buku atau beberapa lembar tesis para filosof, melainkan pada rasionalitas manusia yang mampu menciptakan (faber) daya apapun sebagaimana tuhan menciptakan manusia. Siapapun dapat menciptakan ide otentik sebagaimana Descartes, ialah para filosof, seniman, peneliti, mistikus, agitator, kritikus, maupun pendongeng, untuk mengembangkan kekuatan yang sama yang mampu merombak kekuasaan doktrinal.
Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.
- 29/03/2018
- 30/03/2018
- 08/09/2020
- 24/09/2020