Manusia hidup di era penuh tekanan yang datang dari lingkungan sekitar, mulai dari obrolan dan gosip miring tetangga hingga rasa tertekan karena kenaikan harga kebutuhan pokok. Sering terdengar bahwa kebiasaan paling absurd di negeri ini adalah kebiasaan membandingkan satu sama lain, bahkan sampai kepedihan dan musibah pun juga dapat dibandingkan. Mungkin kita sering berkata bahwa dunia itu kejam dan orang lain adalah faktor utama penyebab kekejaman tersebut. Bukan suatu hal yang unik untuk menyalahkan keadaan dan bahkan menyalahkan Tuhan. 

Proses salah-menyalahkan tersebut menjadi wajar karena menurut Ludwig Feuerbach, manusia itu memiliki kodrat untuk bersandar pada entitas yang lebih kuat dari dirinya. Bagi Feurbach, sekalipun manusia dianggap sebagai entitas yang mampu melakukan apa pun, namun ia tetap akan bentrok dengan keterbatasan rasio objektif di mana hal ini menjadi sebuah dugaan menyakitkan yang turut menyusun kodrat manusia. Konsepsi ini juga yang selanjutnya melandasi teori bahwa manusia selalu bergantung pada entitas yang lebih kuat dari diri manusia sendiri. Dampak umum yang terjadi adalah ketika sosok yang dianggap sebagai “lebih kuat” justru mengecewakan, maka ia akan menjadi objek untuk disalahkan. Hal ini berlaku baik pada sosok Tuhan dan manusia lain yang berperan sebagai objek untuk bersandar dan melimpahkan kekecewaan.

Lantas timbul pertanyaan, bagaimana jika ternyata manusia mampu mengendalikan dirinya sendiri sehingga tidak lagi menyalahkan objek lain? Bagaimana jika ternyata memang titik masalahnya adalah bahwa manusia luput memahami pengendalian dan pengenalan diri? Pertanyaan ini laik untuk dilontarkan karena manusia membutuhkan obat, ialah berupa aktualisasi pemikiran para filsuf teras atau disebut juga kaum Stoa. 

Dikisahkan, pada 300 tahun sebelum masehi, hidup seorang pedagang kaya bernama Zeno yang melakukan perjalanan dagang melewati lautan. Namun, nasib sudah seperti bola yang sulit ditebak, Zeno mengalami nasib nahas sehingga kapal yang ditumpanginya harus karam dan ia pun terdampar di kota Athena. Orang bijak bisa berkata bahwa musibah bisa jadi menjadi pintu terbukanya jalan anugerah datang, begitu pula dengan yang terjadi pada Zeno. Dengan karamnya kapal, perjalanan menuju kebijaksanaan dimulai.

Zeno Bertemu dan belajar kepada Crates, seorang filsuf beraliran sinisme. Setelahnya, Zeno memutuskan untuk merumuskan dan mengajarkan filsafatnya, yang kemudian hari dikenal dengan stoisisme. Para pengikut dan pengembangnya dikenal sebagai kaum stoa.

Stoisisme mengajarkan agar pengikutnya mencapai dua tujuan. Pertama, untuk hidup tanpa emosi negatif (sedih, cemburu, marah, dan lainnya). Cara menuju hal tersebut dijelaskan oleh Epictetus yang mengatakan bahwa kita harus memahami beberapa hal yang memang ada di bawah kendali manusia, namun ada pula hal yang tidak dapat dikendalikan. 

Maksud dari perkataan Epictetus adalah untuk mencapai ketenangan hidup, seorang manusia perlu membatasi dirinya untuk peduli pada hal-hal yang dapat dikendalikan. Urusan tersebut berupa ekspektasi diri, pemikiran, perasaan, dan emosi; tidak perlu lagi peduli pada urusan pihak lain yang tertuju pada kita, misalnya cemoohan, gosip miring, ekspektasi tinggi, serta pandangan negatif lainnya.

Tujuan kedua dari stoisisme adalah hidup penuh dengan kebaikan seperti seharusnya manusia, memberi cinta kasih kepada sesama. Cara menjadi hidup penuh kebaikan adalah dengan mencapai empat kebaikan utama yaitu bijaksana dalam mengambil keputusan, mewujudkan keadilan dalam memperlakukan orang lain, keberanian dalam memegang prinsip yang benar, dan mampu menahan diri dalam disiplin, kontrol diri serta menjadi pantas-sederhana. Lantas  di zaman ini bagaimana cara menuju hal tersebut?

Pertama kita harus melihat keadaan dunia sekitar (Manampiring, 2018). Era digital memberikan kemajuan dan di lain sisi memberikan beberapa hal yang menggelisahkan. Salah satu contohnya adalah budaya hoaks yang masif beredar. Belum lagi pertikaian kolom komentar di mana akun-akun tertentu memunculkan kebiasaan buruk seperti ujaran kebencian dan julid. Apakah anda senang membuka snapgram dan sejenisnya? Maka kita lebih banyak menemukan banyak hal yang mengganggu perasaan kita, seperti pamer harta contohnya. Dunia yang kita jalani sekarang juga dikenal sebagai dunia disruptif. Di dunia ini ada banyak kejadian ataupun fenomena yang datang silih berganti dengan cepat dan bahkan di luar apa yang kita bayangkan.  

Setelah memahami bahwa keadaan kadang tidak sesuai dengan harapan di mana manusia tidak memiliki daya besar untuk mengatur dunia, maka diperlukan rencana yang sesuai dengan hal yang bisa kendalikan. Yang bisa dikendalikan oleh manusia adalah cara memandang dunia melalui akal sehat, diimbangi perasan tanpa berat sebelah. Ketika mampu memandang dunia dan mengendalikan kondisi internal diri, maka manusia mampu bersikap dengan bijaksana dan tidak mudah kecewa-menyalahkan dunia. Filsafat teras mungkin tidak serumit aliran filsafat lainnya, namun filsafat ini mampu untuk membuat manusia tetap berusaha bahagia dengan menjadi sosok yang tegar di tengah pahitnya hidup.

Referensi

Manampiring, H. (2018). Filosofi Teras. Penerbit Buku Kompas.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.