Pencerahan, apakah itu?
Pertanyaan di atas menimbulkan seribu satu jawaban. Para spiritualis India akan mengacu pada konsep-konsep kunci seperti moksha dan nirvana. Para filsuf akan melontarkan ide-ide abstrak seperti kebenaran, kebaikan, forma, substansi, atau eksistensi. Para pemikir progresif akan menunjuk pada Era Pencerahan, yang di dalamnya fakta-fakta ilmiah menyingkirkan segala bentuk takhayul. Sebaliknya, orang awam mungkin memahami pencerahan secara lebih sederhana, seperti terobosan yang berpotensi untuk mengubah hidup.
Kendati definisi pencerahan beraneka ragam, semuanya menunjukkan satu kesamaan mencolok. Layaknya jari yang menunjuk ke bulan, pikiran kita mengasosiasikan pencerahan dengan sesuatu yang luar biasa atau mengagumkan. Nyaris tak ada orang yang menyandingkan pencerahan dengan keseharian yang biasa-biasa saja, atau semenjana. Tendensi ini patut untuk direnungkan lebih lanjut. Dari manakah asosiasi antara pencerahan dan hal-hal yang mengagumkan berasal? Apakah asosiasi itu hanya kebiasaan belaka atau berakar pada sifat mendasar manusia? Apa implikasi pencerahan bagi kehidupan masa kini? Bila konsekuensinya buruk, bagaimana cara kita mengatasinya?
Tulisan ini menampilkan hasil refleksi penulis atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Penulis berargumen bahwa konsistensi umat manusia untuk menyandingkan pencerahan dengan hal-hal mengagumkan berakar pada obsesi mereka akan makna. Kendatipun vital bagi kelangsungan hidup, karakteristik ini juga menimbulkan efek samping yang melanda masyarakat abad XXI, seperti pengaburan intelektual, disintegrasi sosial, dan habitus melamun. Penulis merespons ketiga dampak tersebut dengan mengundang manusia kontemporer untuk merengkuh kembali kesemenjanaan hidup mereka.
Penulis akan mempertahankan argumennya dengan menyusun penjelasan bercabang tiga. Bagian pertama akan bersifat deskriptif, bagian kedua bersifat analitis, dan bagian ketiga bersifat konstruktif. Pertama-tama, penulis akan merangkai sebuah genealogi pencerahan yang melibatkan tiga dimensi kultur peradaban: mitologi Yunani, filsafat Yunani, dan filsafat Barat modern. Kemudian, penulis akan menautkan genealogi tersebut dengan obsesi makna manusia dan meninjau kesinambungan di antara keduanya sebelum menjabarkan pengaburan intelektual, disintegrasi sosial, dan habitus melamun di kalangan masyarakat zaman ini sebagai dampak yang timbul dari obsesi tersebut. Terakhir, penulis akan mengusulkan revolusi meditatif sebagai respons bagi dampak negatif itu. Usulan ini mengembangkan prinsip dasar meditasi transendental menjadi sebuah undangan untuk menerima keseharian hidup di sini dan saat ini, dalam keutuhan dan kesemenjanaannya.
Ragam Topeng Pencerahan: Dari Doxa hingga Kemajuan
Kehidupan berproses lewat perubahan dan adaptasi. Aksioma ini berlaku untuk semua makhluk di bumi, tak terkecuali manusia dan peradaban yang mereka bangun. Secara konsekuensial, komponen penyusun dan tolok ukur kultur peradaban pun mengalami perubahan sepanjang sejarah. Bila hari ini kita mengacu ke ilmuwan seperti Stephen Hawking dan Roger Penrose untuk menjelaskan asal mula kosmos, maka leluhur kita tiga ribu tahun silam merujuk ke orang-orang yang kini kita sebut para pujangga, seperti Homer dan Hesiod.
Pandangan ilmuwan kontemporer dan pujangga kuno tentang alam semesta bertolak belakang. Bila para ilmuwan memikirkan jagat raya sebagai kumpulan zat apersonal yang bereaksi menurut dalil-dalil matematis, para pujangga mendeskripsikan kosmos sebagai entitas personal yang saling berinteraksi. Mereka menyebut kepribadian semesta ini sebagai para dewa. Mereka meyakini bahwa setiap elemen penyusun realitas berkorelasi dengan setidaknya satu dewa. Sebagai contoh, segala bentuk kekacauan terpaut dengan Chaos, langit direpresentasikan oleh Ouranos, dan bumi oleh Gaia.
Para pujangga menjelaskan pembentukan kosmos lewat syair-syair yang mengisahkan interaksi antar dewa. Dalam Theogony, Hesiod (1999) menjelaskan bahwa hubungan intim antara Gaia dan Ouranosmembentuk aspek-aspek lain dalam jagat raya, seperti waktu (Kronos), lautan (Oceanus), cahaya (Thea), kefanaan (Iapetos), ingatan (Mnemosyne), dan intelek (Phoebe). Layaknya manusia, hubungan di antara para dewa kerap kali melibatkan ego dan tipu daya. Alhasil, proses formasi jagat raya tak hanya berlangsung lewat perkawinan, tetapi juga konflik. Gaiabersitegang dengan suaminya sendiri (Ouranos), lalu Ouranos dengan anaknya (Kronos), dan pada gilirannya Kronosdengan anaknya pula (Zeus). Perseteruan tersebut menghasilkan pemisahan antara langit dan bumi, kemunculan hasrat dan keindahan (Aphrodite), serta bangkitnya perkumpulan para dewa di Gunung Olympus.
Leluhur kita mempercayai penjelasan para pujangga selama ratusan tahun. Mereka yakin bahwa kelangsungan hidup manusia berada di tangan para dewa. Oleh karena itu, ritual simbolis berisi puja-puji dan persembahan untuk para dewa beroleh posisi sentral di tengah masyarakat. Namun, beberapa saat setelah Homer dan Hesiod, muncul sekelompok orang yang meragukan eksistensi para dewa di tengah semesta. Orang-orang yang kini kita kenal sebagai filsuf itu berargumen bahwa formasi kosmos berlangsung melalui multiplikasi dari sebentuk anasir tunggal (mis. api, air, angin, dan ketakberhinggaan) yang tak bergantung pada para dewa (Iturbe, 2015). Mereka juga menganggap syair-syair para pujangga sebagai doxa, opini yang mesti dilampaui oleh umat manusia untuk sampai pada kebenaran mengenai jagat raya dan keberadaan mereka.
Mulanya, leluhur kita menanggapi para filsuf dengan sikap antipati. Bagi mereka, para filsuf adalah orang-orang aneh yang berpotensi untuk mengacaukan dunia, sehingga harus disingkirkan dari masyarakat. Para filsuf pun berulang kali menjadi kambing hitam tatkala bencana alam dan tragedi melanda. Namun, perkembangan yang terjadi selanjutnya di luar dugaan. Peradaban manusia secara serempak mengakui filsafat sebagai metode paling sahih untuk mendekati kebenaran. Di tangan Sokrates, Plato, dan Aristoteles, kultur Yunani kuno mencapai masa keemasannya. Fenomena serupa juga terjadi di India dan Tiongkok, masing-masing berkat kiprah para penulis Upanisad, Sang Buddha, dan orang bijak seperti Lao Tse. Para cendekiawan modern menyebut rentang waktu yang meliputi titik balik intelektual ini sebagai Era Aksial (Smith, 2015). Dalam era inilah peradaban kita mulai mengembangkan konsep pencerahan secara ekstensif.
Mewarisi pemahaman pendahulu mereka tentang doxa, Plato (2007) dan Aristoteles (2020) menautkan pencerahan dengan pencarian intelektual dan kehidupan moral. Bagi keduanya, pencerahan terwujud ketika para insan melakoni nilai-nilai yang mereka ketahui lewat kontemplasi rasional, terutama kebaikan dan kebenaran. Untuk mengetahui kedua nilai tersebut, manusia mesti mengalihkan perhatian mereka dari keseharian yang semu ke perkara-perkara kognitif yang kekal, seperti ada, substansi, dan forma. Inilah alasan yang melandasi penekanan mereka atas metafisika (setelah, atau melampaui, fisika), sekalipun mereka melakukannya dengan prioritas dan kriteria yang berbeda.
Terobosan intelektual Era Aksial menyandang status normatif selama dua ribu tahun. Namun, ini tak berarti leluhur kita lekas berpuas diri. Awal abad XVII, dua orang intelektual dari dunia Barat, René Descartes dan Francis Bacon, mulai mengkritik Platonisme dan Aristotelianisme (Arnautu, 2013). Mereka menilai bahwa kedua paham itu melandasi pemisahan antara kontemplasi rasional dan percobaan konkret. Dikotomi yang lestari selama ribuan tahun ini menyebabkan kelangkaan novelti dalam usaha keilmuan manusia. Kedua intelektual Barat itu (khususnya Bacon) lalu berupaya untuk menggabungkan kontemplasi dan percobaan menjadi sebuah paradigma yang koheren dan praktis. Puncak usaha mereka adalah era yang beroleh sanjungan dari sebagian besar orang terpelajar masa kini: Era Pencerahan (Encyclopaedia Britannica, 2025).
Seperti Era Aksial, Era Pencerahan membawa banyak perubahan kultural. Bila peradaban kuno menempatkan kosmos sebagai pusat cakrawala pikirnya, peradaban Pencerahan menjunjung paradigma yang berlandaskan pada sudut pandang manusia. Dalam paradigma ini, perenungan logis-rasional terintegrasi dengan eksperimentasi empiris untuk melahirkan sebuah tolok ukur kebenaran yang baru, yaitu standar ilmiah. Akibat pergeseran ini, insan Pencerahan tak hanya mendiskreditkan segala bentuk keyakinan pada Yang Ilahi, tetapi juga mempertanyakan kesahihan filsafat Yunani yang telah menikmati normativitas selama ribuan tahun. Dari perkara gravitasi, jiwa, hingga status perempuan sebagai sub–human, intelektual Pencerahan menanggalkan dalil-dalil yang tak sesuai dengan hasil percobaan ilmiah dan menggantikannya dengan pengetahuan yang baru dan relevan.
Lantas, bagaimanakah para pembesar Era Pencerahan memandang pencerahan itu sendiri? Mirip dengan filsuf Yunani, mereka berusaha mengekspos segala bentuk doxa yang mengungkung pikiran manusia dan menggantikannya dengan kebenaran. Namun, definisi mereka tentang kebenaran berbeda dari Plato dan Aristoteles. Alih-alih nilai abstrak yang menuntut kontemplasi rasional, kebenaran bagi manusia Pencerahan adalah segala sesuatu yang terbukti secara saintifik. Konsepsi mereka tentang pencerahan bukanlah keberhasilan untuk hidup menurut tuntunan rasio, melainkan kesuksesan dalam menggunakan kebenaran untuk mewujudkan kemajuan zaman dan kesejahteraan bersama. Inilah dua kebajikan ultimat dalam Era Pencerahan. Segala sesuatu yang tak berkontribusi bagi kemajuan dan kesejahteraan tak layak untuk dipelihara oleh masyarakat.
Apakah Era Pencerahan juga menolak keseharian? Sulit memungkiri bahwa para penggagasnya lebih menghargai pengalaman indrawi dibandingkan Plato dan Aristoteles. Akan tetapi, kebajikan ultimat Pencerahan tak mengalihkan pandangan manusia dari hal-hal spektakuler dan mengagumkan. Ia hanya mengubah objek dari fokus itu. Perhatikan bagaimana masyarakat kita mengglorifikasi para ilmuwan yang menjadi soko guru kemajuan dan kesejahteraan, seperti Hawking dan Penrose. Perhatikan juga bagaimana kita meremehkan para pemulung, pekerja kerah biru, dan seniman lewat keengganan untuk mengizinkan kerabat kita menjadi seperti mereka.
Dengan demikian, penolakan akan kesemenjanaan adalah lekuk topeng pencerahan dari masa ke masa, tak terkecuali dalam era yang menyebut dirinya “tercerahkan.”
Membuka Kedok Pencerahan: Dari Obsesi Makna hingga Habitus Melamun
Filsuf modern Martin Heidegger (2008) berargumen bahwa manusia lebih dulu mengembangkan kepekaan pada makna ketimbang kemampuan menganalisis realitas secara objektif. Inilah alasan ia menyebut manusia dengan istilah Dasein, yang secara harfiah berarti “ada-di-sana.” Bagi Heidegger, manusia tak mengalami dunia seperti pengamat netral yang mengumpulkan data. Kondisi unik manusia yang sadar diri sejak awal membuat interaksi mereka dengan dunia selalu bermuara pada kepedulian primordial (Sorge) akan makna dunia dan makna dirinya sendiri. Secara konsekuensial, obsesi manusia pada makna bukanlah fitur sampingan yang bisa disingkirkan, melainkan bias fundamental yang tak terelakkan, layaknya keterlemparan kita ke dalam dunia.
Argumen Heidegger terbukti tatkala kita melihat ke genealogi pencerahan dalam segmen sebelumnya. Sejak masa para pujangga, umat manusia telah mengalami dorongan psikologis untuk memandang kehidupan mereka dalam konteks yang penuh makna. Pelopor psikologi analitis Carl G. Jung (1980) menyoroti fakta ini saat ia meninjau simbol-simbol dalam beragam mitologi di dunia. Ia menulis bahwa keyakinan pada para dewa adalah bentuk usaha leluhur kita untuk menyematkan makna di tengah realitas yang mereka diami.
Manusia primitif tidak tertarik pada penjelasan-penjelasan objektif atas apa yang terjadi, tetapi mereka memiliki kebutuhan mendesak—atau lebih tepatnya bawah sadar mereka mengalami dorongan yang tak tertahankan—untuk mengasimilasikan semua pengalaman eksternal ke dalam peristiwa-peristiwa psikis. Bagi manusia primitif, tak cukup melihat matahari terbit dan terbenam; pengamatan ini mesti di waktu yang sama menjadi kejadian batiniah: matahari dalam lintasannya harus merepresentasikan nasib dewa atau pahlawan yang, dalam analisis terakhir, tak tinggal di manapun selain di dalam jiwa manusia. Semua peristiwa alam yang termitologisasi, seperti musim panas dan musim dingin, fase-fase bulan, musim-musim hujan, dan seterusnya, bukanlah alegori dari kejadian objektif itu, melainkan merupakan ekspresi-ekspresi simbolis dari drama internal jiwa manusia yang tak mereka sadari, yang kemudian terbuka untuk diakses melalui proyeksi—yaitu, tercermin dalam peristiwa-peristiwa alam. (hal. 6)
Lalu, apa yang terjadi ketika syair para pujangga berganti dengan risalah Era Aksial dan Pencerahan? Bila kita konsisten mengacu tesis Heidegger, maka jawabannya bukanlah bahwa obsesi manusia pada makna perlahan sirna dan berganti dengan kapasitas rasional serta ilmiah, melainkan bahwa obsesi itu mengalami evolusi seiring peradaban berubah. Setiap tahap evolusi ini memuncak pada konsepsi Dasein tentang pencerahan. Dari Plato hingga Penrose, manusia secara konsisten menampilkan impuls batin untuk mencapai segala sesuatu yang esensial, spektakuler, dan mengagumkan.
Secara antropologis, obsesi makna memiliki manfaat evolusioner. Michael Tomasello, dkk. (2005) menemukan bahwa bias fundamental ini berperan vital dalam menggiring manusia untuk mencapai tujuan bersama. Melalui proses olah makna, leluhur kita bisa menyelaraskan keadaan psikologis mereka. Keselarasan ini mengakari kapabilitas mereka dalam merumuskan simbol-simbol linguistik dan norma-norma yang memfasilitasi kesatuan mereka sebagai unit sosial. Pada gilirannya, kesatuan itu memampukan mereka untuk mengembangkan teknologi, sebuah fitur yang menempatkan manusia di puncak rantai makanan. Tatkala makhluk lain terpaksa berhibernasi atau bermigrasi akibat pergantian musim, manusia mampu menghadapi hampir semua kondisi cuaca dengan memproduksi sandang dan papan. Ketika predator lain hanya bisa mengandalkan satu jenis senjata untuk seumur hidupnya, manusia membuat dan menguasai penggunaan banyak jenis senjata, termasuk senjata jarak jauh. Bahkan, manusia berhasil memanfaatkan beberapa spesies lain sebagai media transportasi dan pengawal tambahan mereka, seperti kuda dan serigala. Oleh karena itu, sulit memungkiri bahwa obsesi makna adalah faktor X yang melandasi keberhasilan kita dalam menaklukkan bumi. Seleksi Ibu Alam telah menghasilkan karakteristik biologis terunggul di tengah jagat raya.
Akan tetapi, kesuksesan umat manusia menjadi predator puncak tak mengandaikan mereka bebas dari masalah. Ketika cuaca dan predator lain tak lagi menimbulkan ancaman berarti, manusia semakin intens mengacungkan taring ke sesama mereka. Obsesi makna berkembang menjadi senjata makan tuan berkat efektivitasnya dalam memecah persatuan sosial yang semula dibangunnya. Kendatipun tak anarkis secara total, keadaan ini selaras dengan kondisi penuh konflik yang disebut oleh filsuf Inggris Thomas Hobbes (1998) sebagai peperangan semua melawan semua. Bias fundamental yang tunggal menghasilkan motif konflik yang beragam: mulai dari perebutan sumber daya alam hingga tribalisme yang menyebabkan dinamika in-group dan out-group.
Untungnya, umat manusia berhasil mengembangkan kapasitas untuk memitigasi konflik seiring berproses melalui Era Aksial dan Era Pencerahan. Cendekiawan seperti Steven Pinker (2011) bahkan menilai bahwa abad XX dan XXI, khususnya setelah Perang Dunia II, merupakan masa terdamai dalam sejarah peradaban. Obsesi makna kita tampaknya telah berkembang sedemikian mutakhir hingga mampu menekan efek sampingnya sendiri. Sekalipun begitu, solusi ini menimbulkan masalah lain yang tak kalah serius. Terlepas dari mimpi buruk Hobbesian, kini manusia kontemporer mendapati diri mereka terjebak dalam tiga fenomena patologis: pengaburan intelektual, disintegrasi sosial, dan habitus melamun.
Pengaburan Intelektual
Dewasa ini, banyak oknum berlomba untuk menampilkan diri sebagai intelektual. Perkembangan media sosial membuat mereka bebas memengaruhi publik tanpa harus melewati proses panjang yang lazim ditempuh para cendekiawan. Usut punya usut, tak sedikit dari oknum tersebut yang berakhir dituduh sebagai pseudo-intelektual. Pesona mereka yang cerdas dan meyakinkan menyembunyikan inkompetensi mereka.
Beberapa pengamat (mis. Oliver, n.d.) menilai bahwa fenomena pengaburan intelektual berakar pada narsisme. Sadar atau tidak, para pseudo-intelektual telah menautkan harga diri mereka dengan pengakuan publik atas kapasitas intelektual mereka. Terobsesi dengan ketenaran pribadi, mereka pun mempromosikan karya yang inkoheren sebagai karya yang dalam. Para pseudo-intelektual menyadari bahwa reputasi mereka berdiri di atas pembohongan publik, dan karenanya mereka sangat sensitif pada segala bentuk kritik.
Namun demikian, penilaian ini menimbulkan pertanyaan yang lebih mendasar. Mengapa para pengidap narsisme tersebut mengaitkan harga diri mereka dengan pencapaian intelektual? Menurut penulis, jawaban atas pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan obsesi makna manusia. Penilaian yang demikian bertumpu atas amatan filsuf modern lain, Friedrich Nietzsche (1998), yang bersifat lebih filosofis.
Nietzsche telah mendeteksi pengaburan intelektual jauh sebelum kemunculan media sosial seperti TikTok, YouTube, dan Instagram. Di tengah Era Pencerahan, kecurigaannya tertuju pada para filsuf yang memproduksi prosa akademis canggih. Yang penting dari amatan Nietzsche adalah argumennya bahwa pengaburan intelektual lebih dalam dari soal mencari validasi. Ia mengungkapkan bahwa setiap intelektual bisa mendominasi publik dengan memaksakan sudut pandang dan habitus mereka pada orang lain. Sebagai contoh, imperatif kategoris Immanuel Kant sekilas tampak seperti sebuah penjelasan akademis tentang universalitas moral manusia. Namun bagi Nietzsche, Kant sesungguhnya memiliki dua intensi. Pertama, ia ingin menjustifikasi kemampuannya dalam menaati aturan-aturan sosial di hadapan publik. Kedua, ia mendorong para pembacanya untuk menyetujuinya dan mengikutinya.
Pada gilirannya, Nietzsche berargumen bahwa pengaburan intelektual telah menyebar luas. Tak sedikit sistem berpikir rasional dan objektif yang sesungguhnya merupakan ekspresi dari hasrat dan nilai-nilai manusiawi, termasuk konsep pencerahan. Dalam lensa Nietzschean, pencerahan tak pernah bersifat netral. Dengan obsesi makna sebagai titik tolaknya, pencerahan pun bisa menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan sekelompok orang melalui kendalinya atas kriteria dari yang spektakuler, luar biasa, dan mengagumkan.
Kritik Nietzsche mengungkapkan natur pencerahan yang sesungguhnya: topeng indah yang menutupi kehendak insani untuk berkuasa atas sesamanya. Para pseudo-intelektual dewasa ini hanya mengekspresikan natur tersebut. Tak kuasa mendiktat gerak zaman, mereka berlomba untuk tampil sebagai soko guru kebenaran, duta kemajuan, dan pejuang kesejahteraan. Ironisnya, kehadiran mereka tak menyumbangkan apapun selain memperparah kelimpahan makna di tengah masyarakat—faktor yang mengakari fenomena patologis selanjutnya.
Disintegrasi Sosial
Problem yang ditimbulkan oleh obsesi makna tak berhenti pada pengaburan intelektual. Jika Nietzsche mengekspos pencerahan sebagai selubung bagi hasrat untuk berkuasa, kritikus budaya kontemporer Byung-Chul Han (2020) mengungkapkan bagaimana pencerahan juga merusak kohesi sosial. Kendatipun membebaskan peradaban dari doxa, Era Pencerahan menghanyutkan umat manusia dalam dorongan untuk memproduksi dan mengonsumsi tanpa henti dalam nama kemajuan zaman dan kesejahteraan bersama. Selain memengaruhi sektor ekonomi, impuls tersebut juga menimbulkan dampak eksistensial. Berkembangnya bisnis informasi menyebabkan situs makna yang semula terbatas dalam simbol-simbol ritual menjadi begitu melimpah hingga melampaui batas kemampuan kognitif manusia.
Kelimpahan makna di Era Pencerahan juga dipicu oleh pesatnya perkembangan teknologi. Dengan merogoh kantung celana atau membuka alat hitung (computer) portabel mereka, manusia kontemporer bisa masuk ke dalam arus informasi yang tak terbatas dan senantiasa terbarukan. Mulai dari kesibukan profesional hingga hiburan, semua kemauan mereka bisa terpenuhi dalam hitungan detik. Kolaborasi antara percobaan empiris dan kontemplasi rasional telah menghadirkan fitur instan yang tak terbayangkan di masa para pujangga dan Era Aksial.
Ironisnya, Han menemukan bahwa saturasi makna ini justru menggerogoti atensi manusia. Berbeda dengan peradaban kuno yang memiliki persepsi simbolis, peradaban masa kini menderita akibat persepsi serial yang dangkal. Tersingkirnya siklus upacara simbolis oleh arus data yang tak berhingga memaksa perhatian kita untuk bergerak cepat dari satu potongan informasi ke potongan lainnya. Rentang fokus kita terkikis seiring impuls konsumtif memanipulasi kita untuk terus mengkonsumsi informasi dan materi. Dalam perkembangannya, penurunan daya atensi tersebut membuat umat manusia semakin teratomisasi. Pikiran kita tak lagi bisa memfasilitasi komunikasi antar insan yang menjalin relasi interpersonal yang intens. Bergantung pada teknologi digital, khalayak kontemporer hanya mampu membentuk koneksi yang luas dan dangkal. Alhasil, disintegrasi sosial terjadi di seluruh dunia.
Secara keseluruhan, Han menunjukkan bahwa pencerahan juga menyembunyikan sistem perekonomian yang manipulatif dan opresif. Kendatipun paling tercerahkan, insan masa kini juga merupakan yang paling terisolasi dan nihilistik dalam sejarah.
Habitus Melamun
Selaras dengan amatan Han, dunia dewasa ini penuh dengan orang yang hanyut dalam produksi dan konsumsi impulsif. Sentralitas kemajuan dan kesejahteraan dalam Era Pencerahan tak hanya menimbulkan disintegrasi sosial, tetapi juga mengubah setiap individu di dalamnya menjadi tuan sekaligus hamba atas dirinya sendiri. Entitas yang lantas disebut Han (2015) sebagai animal laborans ini terus menyibukkan diri dengan pekerjaan demi meraih pencapaian profesional. Mereka berharap agar kesuksesan tersebut mampu memuaskan hasrat mereka untuk beroleh kemapanan kuasa dan materi. Tetapi nyatanya, mereka justru terjebak dalam kelelahan dan depresi, alih-alih beroleh kepuasan.
Tak jarang, para animal laborans memimpikan sebuah kehidupan tanpa kerja di tengah kesibukan mereka. Namun, kesenjangan antara lamunan dan kenyataan justru membuat status quo mereka semakin menyakitkan. Melamun pun berkembang menjadi sebuah habitus yang menjebak animal laborans dalam lingkaran umpan balik. Beban kesibukan yang kian parah mendorong mereka untuk melamunkan situasi ideal, yang kemudian memperparah beban realitas mereka dan mendesak mereka untuk kembali melamun—demikian seterusnya hingga mereka tak lagi memiliki keinginan untuk hidup.
Pada abad XIX, Karl Marx (2009) mendefinisikan agama sebagai lenguhan kelas pekerja yang tertindas oleh rezim ekonomi kapital. Bila di masa itu keyakinan akan eksistensi surga merupakan candu masyarakat, maka “delulu” adalah opium sosial masa kini. Setiap angan-angan animal laborans menyingkapkan hasrat konsumtif yang memotivasi sekaligus menggerogoti mereka dari dalam. Sebagaimana instrumentalisasi agama di zaman Marx bersifat patologis, demikian pula habitus melamun di zaman kontemporer adalah gejala alienasi yang perlu ditanggulangi.
Sayangnya, peradaban masa kini berhadapan dengan sistem ekonomi yang lebih mutakhir dari zaman Marx. Neoliberalisme tak hanya menggelar pasar bebas, tetapi juga mengubah hampir setiap aspek kehidupan manusia menjadi komoditas. Masuknya emosi, nilai-nilai, dan moralitas ke dalam daftar dagangan mereduksi pengalaman insani menjadi performa belaka. Tanpa sadar, preferensi, pendirian, bahkan lamunan pun masuk ke dalam skema pencapaian animal laborans. Keterasingan insan yang satu kini bisa menjadi peluang pencapaian bagi insan yang lain.
Ketiga patologi di atas menampilkan wajah kusam yang disembunyikan oleh topeng pencerahan: hasrat untuk berkuasa, sistem ekonomi opresif, dan alienasi. Obsesi makna yang semula menjadi tonggak eksistensi manusia kini menjadi parasit yang menggerus jiwa mereka. Namun demikian, harapan untuk mengatasi ketiga efek samping tersebut tak sepenuhnya sirna. Solusinya terungkap oleh salah satu kecenderungan individu berprestasi masa kini saat menderita kelelahan mental, yaitu mengikuti program meditasi.
Memulihkan Wajah Peradaban: Revolusi Meditatif sebagai Upaya Merengkuh Kesemenjanaan
Pertengahan tahun 2019, penulis Amerika Brad Stulberg (2021) menyadari keberadaan sebuah kondisi psikologis yang menjangkiti animal laborans, khususnya yang berprestasi. Kondisi ini ia sebut individualisme heroik. Demi memenuhi tuntutan Era Pencerahan, mereka terjebak dalam kerja tanpa akhir. Tak sedikit yang mendambakan peristirahatan singkat dari stres profesional yang mereka tanggung. Ironisnya, ketika mendapatkan kesempatan untuk beristirahat, orang-orang berprestasi itu malah gelisah karena mereka tidak bekerja. Stulberg pun mencatat bahwa tak sedikit kliennya yang merasa tercerai-berai secara fisik dan mental. Mereka menghabiskan terlalu banyak waktu melihat ke belakang, berencana ke depan, meragukan keputusan-keputusan mereka, dan berandai-andai.
Uniknya, animal laborans konsisten menanggulangi individualisme heroik mereka dengan sebuah rutinitas spesifik: meditasi transendental (Romano, 2014). Tak lagi terasosiasikan dengan komitmen moral-religius, meditasi beroleh popularitas di antara para insan yang menanggung tekanan berat dalam lingkup profesional mereka, mulai dari direksi perusahaan, dokter kepala, hingga atlit. Mereka cukup duduk hening sembari memusatkan perhatian ke ritme napas dan sensasi indrawi mereka, dengan durasi kira-kira dua puluh menit persesi. Dalam kurun waktu delapan hingga sepuluh minggu, praktik sederhana ini tak hanya berhasil meningkatkan kesehatan mental, tetapi juga performa kerja.
Mengapa meditasi begitu efektif? Jawabannya, menurut Stulberg, terletak dalam kemujaraban rutinitas tersebut dalam membuat kita “napak bumi” (grounded). Meditasi melatih atensi kita untuk fokus ke masa kini dan saat ini. Atensi yang demikian memampukan kita untuk memandang kehidupan dengan jelas, terlepas dari beban masa lalu ataupun ekspektasi masa depan. Pada gilirannya, kejernihan persepsi tersebut tak hanya mengatasi kelelahan dan kegelisahan, tetapi juga memampukan kitauntuk kembali merasakan kebahagiaan dan kemerdekaan dari tuntutan zaman.
Amatan Stulberg mengungkapkan sebuah paradoks mencolok. Di tengah era yang terus menggugah impuls kerja, meditasi hadir membawa sebuah revolusi sunyi. Napak bumi yang ditimbulkannya melawan tirani obsesi makna dengan logika terbalik. Ia tak menawarkan pencapaian yang mengagumkan, visi utopis, ataupun nilai abstrak yang mengalihkan pandangan para insan dari apa yang ada di hadapan mereka. Yang ia suguhkan hanyalah eksistensi semata-mata. Meditasi mengundang praktisinya untuk berdamai dengan setiap emosi, sensasi, dan tarikan napas mereka. Sementara tradisi pencerahan sepanjang sejarah menjanjikan transendensi dari keseharian, meditasi justru mengajarkan imanensi dalam bentuk kehadiran penuh di tengah kondisi sehari-hari yang apa adanya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bisakah kita memperluas meditasi menjadi sebuah kontra-kultur? Tentu, ini merupakan tantangan berat. Mustahil bagi kita untuk menyingkirkan bias fundamental kita pada makna. Struktur ekonomi dan sosial kontemporer juga bergantung pada hasrat akan hal-hal yang luar biasa. Selain itu, penyebaran revolusi meditatif di berbagai sektor masih terjebak dalam skema berpikir pencerahan. Stulberg sendiri memperalat meditasi sebagai instrumen pendongkrak produktivitas, kesehatan, dan performa.
Akan tetapi, di balik instrumentalisasi meditasi tersembunyi potensi revolusioner. Meditasi membuka ruang bagi penghargaan akan hidup tanpa agenda transformatif. Revolusi yang digagas menurut rutinitas ini—penulis menyebutnya revolusi meditatif—tak menjanjikan hasil apapun. Akan tetapi, di dalam kenihilan janjinya ia membantu manusia memulihkan wajah peradaban yang hancur. Revolusi meditatif bukanlah pemaksaan atas absensi atau kelebihan makna. Ia ibarat sebuah tali kekang yang membantu setiap insan untuk mengendalikan obsesi maknanya.
Lantas, bagaimana revolusi meditatif memulihkan wajah peradaban? Menurut penulis, ia melakukannya dengan mengajak umat manusia merengkuh kesemenjanaan. Zaman ini tak lagi memerlukan akses ke dimensi realitas tertinggi, sebab sebagian besar orang di dalamnya telah terasing dari kehidupan manusiawinya sendiri. Sebaliknya, yang dibutuhkan oleh setiap animal laborans adalah persepsi yang peka akan kepenuhan dari dimensi yang mereka diami sejak awal. Sudah tiba saatnya bagi umat manusia untuk menyadari bahwa pencerahan berakar pada imperatif patologis yang membingkai keseharian sebagai ilusi. Alih-alih real, usaha mengejar hal-hal spektakuler dan mengagumkan justru membuat mereka lupa akan kekayaan yang ada dalam setiap denyut nadi dan tarikan napas mereka.
Revolusi meditatif juga memiliki implikasi bagi tiga masalah yang telah penulis identifikasi sebelumnya. Pengaburan intelektual segera kehilangan daya tariknya ketika para pseudo-intelektual tak lagi menautkan nilai diri mereka dengan pengakuan publik dan pencapaian akademis yang spektakuler. Disintegrasi sosial mulai teratasi tatkala manusia kontemporer mampu hadir sepenuhnya dalam interaksi sederhana dengan sesamanya. Habitus melamun tak lagi menjadi penopang artifisial yang diperlukan oleh animal laborans saat mereka mulai mengapresiasi status quo yang semula mereka hindari.
Meskipun begitu, kita juga perlu mengakui bahwa revolusi meditatif bukanlah obat mujarab yang akan menyelesaikan semua masalah peradaban. Faktanya, ia tak mengklaim akan menyelesaikan masalah apapun. Yang ia tawarkan hanyalah perspektif berbeda, kemungkinan untuk hidup tanpa terus-menerus merasa bahwa keadaan saat ini kurang dari yang seharusnya. Dalam dunia yang terobsesi dengan kemajuan, revolusi meditatif menyuguhkan sesuatu yang lebih radikal dalam kesederhanaannya, yakni penerimaan.
Tulisan ini berargumen bahwa asosiasi historis pencerahan dengan hal-hal yang luar biasa, spektakuler, atau mengagumkan berakar pada bias fundamental manusia pada makna. Walaupun berperan signifikan dalam proses evolusi manusia, obsesi ini kini mendatangkan patologi mental yang secara kolektif mengikis jiwa manusia kontemporer, seperti pengaburan intelektual, disintegrasi sosial, dan habitus melamun. Dengan kata lain, pencerahan dalam kerangka pemikiran tradisional juga merupakan bagian dari masalah umat manusia. Untuk merespons isu tersebut, tulisan ini mengusulkan revolusi meditatif sebagai alternatif. Alih-alih memusatkan pandangan pada pencapaian transenden layaknya para intelektual sepanjang sejarah peradaban, penulis mengundang pembaca untuk mengapresiasi keadaan imanen realitas dalam kesemenjanaannya. Melalui ajakan yang demikian, setiap insan mampu mengalami kepenuhan hidup tanpa kehilangan kendali atas obsesi mereka akan makna. Rengkuhan akan kesemenjanaan ini memang tak menjanjikan transformasi utopis ataupun kebahagiaan paripurna. Namun, ia menyajikan potensi radikal untuk kehidupan yang autentik dan bermakna secara intrinsik.
Referensi
Aristotle. (2020). The Nicomachean ethics. Penguin Books.
Arnautu, R. (2013). Early modern philosophy of technology: Bacon and Descartes [Disertasi
PhD., Central European University, Budapest].
Encyclopaedia Britannica. (2025). The Enlightenment Key Facts.
https://www.britannica.com/summary/The-Enlightenment-Key-Facts
Han, B-C. (2020). The disapearrance of rituals: A topology of the present. Polity Press.
____. (2015). The burnout society. Stanford University Press.
Heidegger, M. (2008). Being and time. HarperCollins.
Hesiod. (1999). Theogony and works and days. Oxford University Press.
Hobbes, T. (1998). Leviathan, or the matter, forme and power of a Commonwealth
Ecclesiasticall and civil. Oxford University Press.
Iturbe, M. (2015). The search for the arche in the pre-Socratic philosophers (the
Milesian school): A path to dialogue. Dalam K. Acharya, I. Arenallo, M. Iturbe, P. Pathak, R. Sakrikar (peny.), The cosmic element in religion, philosophy, and art (97-109). Biblioteca Áurea Digital.
Jung, C. G. (1980). The archetypes and the collective unconscious. Princeton University Press.
Marx, K. (2009). A contribution to the critique of Hegel’s philosophy of right.
Nietzsche, F. (1998). Beyond good and evil: Prelude to a philosophy of the future. Oxford
University Press.
Oliver. (n.d.). Intellectual and academic narcissists (detailed overview).
Pinker, S. (2011). The better angels of our nature: Why violence has declined. Viking.
Plato. (2007). The republic. Penguin Books.
Romano, S. D. (2014). Leading at the edge of uncertainty: An exploration of the effect of
contemplative practice on organization leaders [Disertasi PhD., Antioch University, Culver City]. https://aura.antioch.edu/etds/79/
Smith, A. (2015). Between facts and myth: Karl Jaspers and the actuality of the Axial
Age. International Journal of Philosophy and Theology, 76 (4), 315-334.
Stulberg, B. (2021). The practice of groundedness. Portfolio/Penguin.
Tomasello, M., M. Carpenter, J. Call, T. Behne, H. Moll. (2005).
Understanding and sharing intentions: The origins of cultural cognition. Behavioral and brain sciences, 28, 675-735.