Fruits Vendor karya James Crandall

Setiap manusia yang hidup dalam dunia seada-adanya (baca: realitas kekinian) menginginkan suatu relasi yang – katakanlah saling menguntungkan satu sama lain. Tidak ada manusia yang ingin dirugikan, apalagi ketika ia sudah masuk ke dalam fase “dewasa”, di mana ia harus masuk ke dalam dunia kerja. Simbiosis mutualisme dalam praktik kerja amatlah kental. Coorporate atau perusahaan adalah sebuah corpus (tubuh) yang mendapatkan gairah pertumbuhan lewat keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh organ-organ tubuh lainnya. Artinya corpus tersebut pada hakikatnya merupakan gabungan dari beberapa unsur pembentuk.

Maka tak heran, ketika sebuah perusahaan mengalami “defisit” karena cacatnya satu divisi – alih-alih satu orang, maka corpus itu secara holistik akan merasakan dampaknya. Imbasnya, adalah bagian dalam organ yang bahkan tidak cacat pun bisa terkena “efisiensi” agar corpus menjadi utuh kembali. Seringkali efisiensi yang merupakan anak kandung dari efektivitas menjadi slogan yang didengung-dengungkan sebagai solusi dari cacatnya corpus secara holistik.

Siapa manusia yang tak ingin diuntungkan? Semua menginginkannya, namun sayangnya, tidak semua mampu mewujudkan impiannya itu. Setiap dari kita tumbuh dalam budaya dan latar belakang yang beragam, sehingga karakter kita pun beragam. Dalam etika dasar, misalnya, ada istilah lembaga normatif. Yang dimaksud dengan lembaga normatif ini adalah pihak yang berhubungan langsung dengan kita dan membentuk kepribadian kita, lewat pengalaman. Pihak yang dimaksud antara lain: keluarga, teman bermain, hingga masyarakat luas. Pihak tersebut bahkan turut serta membentuk superego dalam diri kita masing-masing. Perbedaan latar belakang, dan perbedaan kualitas hidup membuat kita hidup dengan karakteristik yang beragam.

Akhirnya kita menjadi dewasa dengan karakter yang berbeda.

Apa yang diharapkan dari kehidupan pada umumnya? Tergantung, di kelas sosial mana kita hidup. Bagi kaum marginal, tentu harapannya adalah memperoleh keadilan dalam upah. Atau bagi kelas borjuis, mereka akan lebih berharap pada kenaikan laba pada saham mereka misalnya. Namun tulisan pendek ini tidak ingin membahas persoalan kelas sosial secara panjang lebar, sebab tentu, ini bukan kelas Marxisme. Namun dengan dua perbedaan harapan tersebut, sudah cukup menyadarkan kita, bahwa pada dasarnya kita senantiasa mengharapkan hal baik pada hidup kita. Baik yang seperti apa, itu tergantung sejauh mana kita memproyeksikan keterbatasan kita menjadi sebuah harapan sebagaimana Ludwig Feurbach mengutarakan dasar pemikiran ateismenya, proyeksi.

Dalam perjalanan kehidupan, ada di antara kita yang tumbuh menjadi pemimpin dalam skala besar, ada pula yang tumbuh menjadi pemimpin dalam skala kecil. Ada pula yang tidak menjadi pemimpin, bahkan menjadi pecundang. Namun terkadang, menjadi apa pun kita, karakter sangat menentukan: apakah pemimpin atau pecundang itu disegani atau tidak sangatlah ditentukan dari karakternya masing-masing. Disegani atau tidak disini tentu bukan dalam aras emosional, namun rasional. Ia disegani karena berkarakter, dan ia tidak disegani karena tidak berkarakter. Sebab, seorang yang lemah pun masih memiliki karakter yang barangkali lebih disegani dari pemimpin skala besar sekalipun.

Dalam dunia seada-adanya yang tentu saja kaotik ini, manusia dianggap normal, manakala ia mampu hidup dengan pola yang sama dengan masyarakat luas pada umumnya: sekolah, bekerja, menikah, punya anak, dan mati. Padahal, bagi beberapa pihak, menikah atau tidak adalah pilihan dan bukanlah sebuah prestasi yang harus dibanggakan atau disesali.

Ketika kita tumbuh dewasa dengan karakter kita masing-masing, pada dasarnya kita juga membawa ego dan hasrat kita yang kita tanamkan di dalam diri kita dan dalam proses yang begitu panjang. Pada akhirnya, kita menghidupi ego dan hasrat tersebut. Karena posisi kita dan orang lain adalah sama: sama-sama memiliki ego dan hasrat, maka pada dasarnya kita memiliki karakter yang berbeda-beda satu sama lain. Karakter itu begitu kuat mengakar dalam diri kita masing-masing yang tentu saja berbeda satu dengan lainnya. Persis di situlah problem kesetaraan muncul. Kita merasa orang lain adalah objek kita, lantaran kita menghasratinya demikian. Pengobjekkan orang lain adalah keniscayaan. Apalagi jika kita adalah kelompok orang yang memiliki “power” atas hidup orang lain. Orang lain akan melacurkan hidupnya kepada ia yang berkuasa demi bertahan hidup. Dan itu merupakan peran serta ego dan hasrat, yang tentu saja irasional. Alih-alih membangun relasi yang setara, pada kenyataannya, kita hanya menghidupi ego yang kian hari kian manja di tengah dunia yang semakin tidak pasti. Belum lagi adanya pengkhianatan nalar yang dihasut oleh hasrat yang membabi buta dan semua ini adalah salah alam bawah sadar.

Lahir di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1989. Menyelesaikan studi magister Filsafat di Stf Driyarkara tahun 2017. Buku yang sudah terbit antara lain: Perempuan, Moralitas, dan Seni (Ellunar Publisher, 2018), dan Peran Imajinasi dalam Karya Seni (Rua Aksara, 2018). Saat ini aktif menjadi sutradara teater, dan mengajar di beberapa kampus swasta, serta menjadi peneliti di Yayasan Pendidikan Santo Yakobus, Jakarta.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.