Louis Althusser

Narasi tentang ideologi terus kita lihat dalam berbagai perbincangan masyarakat. Teringat saat di bangku sekolah dalam pelajaran pendidikan kewarganegaraan kita dikucuri materi mengenai ideologi yang sangat mekanis. Siswa disuruh untuk menghafal pengertian ideologi, siapa saja yang berideologi, mana ideologi yang baik dan ‘jahat’, dan tentunya internalisasi nilai Pancasila. Saat ini, kita melihat bahwa ideologi maknanya bersifat negatif dan peyoratif. Dialektika yang beredar pada masyarakat adalah “kami punya kebenaran, dan mereka punya ideologi”, yang menggambarkan ideologi bak tong kosong tanpa kebenaran. Pandangan negatif ini dapat kita kaji saat Karl Marx dan Friederich Engels mengemukakan ideologi sebagai false consciousness, menggambarkan bahwa kaum pekerja yang terdoktrinasi sebagai means of production: pekerja mendukung kapitalisme dan perempuan mendukung masyarakat patriarki.

Kaum pekerja yang terdoktrinasi mendukung sistem kapitalistik yang menjadi parasit bagi mereka sendiri. Makna peyoratif ini juga dikemukakan oleh Hegel yang menganggap bahwa manusia adalah instrumen sejarah. Mereka dipaksa untuk memainkan peran yang tidak mereka ketahui—makna dari sejarah juga disembunyikan dari mereka. Makna konotatif negatif ini menggambarkan ideologi sebagai oposisi dari sifat objektif ilmu pengetahuan. Antonio Gramsci juga menyebutkan konsep hegemoni dominasi ideologi dikarenakan ideologi memainkan peran dalam legitimasi penyalahgunaan kekuatan oleh kelompok dominan.

Secara orisinal, kata ideologi memiliki arti yang bersifat netral. Lebih dari 200 tahun yang lalu, Antoine Destutt de Tracy menyampaikan ide tentang ideologi ini sebagai metode untuk mendenotasikan sebuah studi tentang ‘ide’; science of ideas. Aspek epistemologi dari ideologi ini menggambarkan bahwa pengetahuan manusia adalah pengetahuan tentang ide-ide. Melalui landasan ini, de Tracy dan koleganya merancang sistem pendidikan nasional yang ia percaya akan membawa Prancis menuju masyarakat yang rasional dan ilmiah. Doktrin orisinal ini awalnya didukung oleh Napoleon Bonaparte, meskipun ia kemudian menyatakan penolakan atas ide ini setelah kekalahan militer Prancis yang ia duga dipengaruhi oleh ide tentang ideologi de Tracy. Olok-olok Napoleon terhadap ideologi ini mengawali makna peyoratif dan negatif dari ideologi. Para ideolog dianggap sebagai orang yang bodoh, plonga-plongo, dan dungu. Mereka dianggap tidak mampu berpikir kritis dan komprehensif sehingga mereka berpegang teguh pada ideologi.

Ideologi sendiri memiliki properti sosial dan kognitif. Secara kognitif, ideologi ini memiliki properti kepercayaan dan tujuan sosial yang tertanam dalam memori jangka panjang kolektif. Secara sosial pun, ide yang disampaikan merupakan shared ideas yang disebarkan pada suatu komunitas spesifik. Ideologi ini bersifat seperti bahasa yang secara esensial akan dengan sendirinya bersifat sosial. Narasi ideologi ini akan membentuk basis aksiologi dari kepercayaan dan harapan dari sebuah sosial dan komunitas. Hal ini menjelaskan analisis Marx terhadap ideologi sebagai “instrumen reproduksi sosial”. Contohnya, pada mode produksi feodal, ideologi teokrasi sangat prominen berkuasa. Sementara itu, pada formasi mode produksi kapitalis, ideologi seperti liberalisme dan sosial demokrasi mendominasi.

Maka dari itu, Marx melenggangkan konsep “false consciousness dan menyatakan bahwa ideologi sebagai alat reproduksi dari sebuah supremasi sosial tertentu. Dalam pandangan althusserian pun dinyatakan bahwa ideologi adalah eksistensi imajiner dari sesuatu yang berkorelasi terhadap eksistensi. Althusserian ini menerangkan aspek utopisme dan cita-cita bersama yang diimajinasikan oleh komunitas melalui ideologi. Narasi “all equal before law” misalnya, merupakan sebuah kerangka berpikir yang teoretis dan secara kenyataan adalah omong kosong. Disparitas kekuasaan dan materi tentu akan menghasilkan kesempatan dan legitimasi yang membedakan persamaan. Akan tetapi, terdapat suatu cita-cita imajiner yang diharapkan akan terjadi suatu saat nanti.

Diskursus Ideologi dan Pancasila

Narasi bahwa Pancasila adalah ideologi negara yang final dan harus dikultuskan menjadi diskursus yang menarik untuk dibahas. Presiden Jokowi pun beberapa waktu lalu sempat mengatakan hal tersebut bahwa Pancasila adalah ideologi negara yang final. Padahal, ideologi adalah keyakinan yang dimiliki oleh seseorang yang kemudian disepakati bersama dalam relung psikologis sosial dan komunitasnya, berbeda dengan negara yang merupakan benda mati. Pancasila sebagai ideologi melalui pandangan althusserian dapat dilihat sebagai yang bersifat menanamkan ideologi sekaligus mengendalikan politik melalui berbagai lembaga: sekolah, agama, pers, dll. Ideologi sebagai shared ideas dalam komunitas pun apabila kita kaji dalam Pancasila itu sendiri menimbulkan problematika besar: bagaimana jika ide-ide antar sila itu tidak koheren?

Kita lihat apakah konsep “keadilan sosial” dalam sila ke-5 ini berlandaskan pada pemahaman sosialisme ataukah berlandaskan pada demokrasi liberal. Sila ke-3 pun menarik untuk dibahas, apakah “persatuan” di sini berarti teori kontrak sosial dalam pandangan John Locke dan Thomas Hobbes, atau bisa jadi ia memang mengacu pada persatuan pada kerajaan-kerajaan di Indonesia dahulu. Sila ke-1 “ketuhanan” yang mengandung konsep teokrasi ini pun dengan sendirinya akan ditantang oleh pandangan humanisme “kemanusiaan” pada sila ke-2. Pada sejarahnya, perkembangan filsafat humanisme menandakan transisi dari teokrasi Eropa menuju abad pencerahan yang melepaskan manusia dari doktrin teologis. Hal ini menimbulkan konsekuensi pandangan yang sekuler dan ateistis yang dengan sendirinya memang dijamin oleh sila ke-2 Pancasila.

Memang diskursus mengenai ideologi dan Pancasila ini sering kali tabu untuk dibahas. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa diskursus kritis terhadap topik ini akan mengaktifkan gejolak politik. Memori buruk kita akan komunisme dan gerakan kiri tentu dengan sendirinya akan menafikan kultur kemajemukan pandangan dalam bernegara. Cita-cita bersama sebagai utopisme ini memang seharusnya dijamin oleh Pancasila sebagai memori jangka panjang rakyat Indonesia. Menyebut Pancasila sebagai final dan tak dapat dibahas hanya akan mengubah ia menjadi doktrinisasi semata.

Referensi

Gerung, R. (2018) Pancasila: Ide Penuntun, Bukan Pengatur. Volume 37, Prisma. Volume 37.

Van den Berg, H. et al. (2016) ‘Politics, Ideology, Discourse’, A Cultural History of the Avant-Garde in the Nordic Countries 1900-1925, (1970), pp. 529–539. doi: 10.1163/9789401208918_037.

Rejai, M. (1994) Political ideologies: A comparative approach.

ME Sharpe.Montesquiedeu, C. S. (1989) ‘The spirit of the laws’.

Faiz Amirullah

Mahasiswa Kedokteran di Universitas Indonesia

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.