Pada tahun 1921 sebuah buku catatan tipis berjudul Tractatus Logico-Philosophicus (TLP) diterbitkan, dan mengubah wajah filsafat setelahnya. Buku tersebut tidak lebih tebal dari buku ringkasan sejarah filsafat barat-nya Bertens. Cara dituliskannya pun “tidak wajar” jika kita bandingkan dengan buku filsafat pada umumnya: ia serupa dengan kitab perundang-undangan. Bisa dibayangkan.
Seorang pria bernama Wittgenstein (sang penulis) berupaya sekuat tenaga untuk menjawab segala persoalan filsafat. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan “persoalan filsafat”? Jika kita mengacu kepada sejarah filsafat, di sana banyak sekali yang dapat kita temukan, bahkan nihil dengan jawaban yang betul-betul meyakinkan kita. Pertanyaan seperti: Apa itu realitas? Sesuatu seperti apakah yang disebut riil? Apa itu pengetahuan, dan bagaimana kita memperolehnya (jika bukan tak mungkin)? Apakah kita yakin benar bahwa putusan kita tentang pengetahuan tidak luput dari kekeliruan yang sistematis? Apa yang membuat penalaran kita dapat dianggap benar? Bagaimana cara kita hidup yang secara moral dibenarkan, dan mengapa? Tapi sebelum itu, yang perlu kita jernihkan adalah bagaimana cara kita menyelesaikan persoalan-persoalan itu, dan mengapa harus demikian. Wittgenstein melakukannya.
Wittgenstein menekankan bahwa jika ingin menyelesaikan persoalan filsafat, yang selama ini membuat kita susah tidur, maka kita perlu memahami logika dari bahasa kita (the logic of our language). Jadi, pada dasarnya TLP bertujuan untuk menyelesaikan persoalan filsafat dan menunjukan bagaimana bahasa bekerja.
Dua abad sebelumnya, Kant beranggapan bahwa kita dapat memahami sesuatu-pada-dirinya hanya jika pengalaman kita berlandaskan pada kategori a priori yang kita miliki. Di luar itu kita tak akan mampu. Wittgenstein mengambil posisi bertarung dalam diskursus yang saat itu menjadi intensi para Neo-Kantian, dan terjebak pada aspek kognitif dalam filsafat Kant.
Apa yang menjadi dasar pikiran dalam TLP ialah bahwa bahasa pada dasarnya memiliki struktur logis (underlying logical structure), suatu pemahaman yang menunjukkan batas dari apa yang dapat dikatakan secara jelas dan bermakna. Bagi Wittgenstein, bahasa dan pikiran memiliki kaitan yang sangat erat, bahkan kabur. Jika seseorang telah memahami struktur logis dari bahasa kita, batas antara bahasa dan pikiran menjadi tak masuk akal. Meski TLP mencoba menunjukkan apa yang dapat kita katakan, di satu sisi ia juga memikirkan tentang apa yang tak dapat terkatakan.
Agenda ini menjadi jelas dalam suratnya yang ditujukan kepada Russell: “Poin utama [dari Tractatus] adalah sebuah teori tentang apa yang dapat diekspresikan oleh proposisi— yakni bahasa— (ia dengan apa yang dapat dipikirkan), apa yang tak dapat diekspresikan oleh proposisi namun hanya dapat ditunjukkan. Bagi saya itu adalah persoalan utama dari filsafat” (Grayling, 1996).
Pemikiran Wittgenstein semestinya dijabarkan bersama latar historisnya. Itu berarti, kita mesti melacak perdebatan antara Wittgenstesin dengan Russell dan Frege mengenai proposisi. Namun, pada momen ini, penulis hanya ingin menekankan argumen khusus dalam TLP, yang berkaitan dengan relasi antara struktur bahasa (proposisi) dengan struktur dunia.
Proposisi mengandaikan adanya struktur logis dan makna (meaning). Kita dapat memahami ini dengan mudah bahkan jika beranjak dari logika tradisional sekalipun. Mari ambil satu contoh: “Meja di depan saya berwarna coklat.” Dalam proposisi tersebut terdapat subjek dan predikat: “Meja di depan saya” sebagai subjek dan “berwarna coklat” sebagai predikat. Jika anda berada di samping saya ketika melihat meja itu, dengan mudah anda dapat mengerti apa yang saya maksud. Tidak ada masalah di situ. Kita dapat mengurainya lebih rinci lagi menggunakan analisis logis-nya Russell:
- Ada sebuah meja di depan saya
- Terdapat hanya dan hanya jika satu meja di depan saya
- Dan apapun itu meja di depan saya, ia berwarna coklat.
Proposisi “Meja di depan saya berwarna coklat” setelah diuraikan menjadi lebih definitif.
Sifat suatu proposisi ialah untuk menegaskan sesuatu melalui kalimat dan mesti bermakna. Agar lebih jelas, mari kita ambil satu contoh lagi: “Ide hijau yang kurang berwarna tidur begitu cekatan.” Jika kita melihat bagaimana kalimat itu tersusun, maka tidak masalah. Namun, apakah ia memiliki makna? Kita langsung menggigit bibir. Jadi “Ide hijau yang kurang berwarna tidur begitu cekatan” bukanlah proposisi, ia tidak menunjukkan sesuatu, meskipun secara gramatikal, ia dapat diterima: terdapat subjek dan predikat. Dari sini, kalimat dan proposisi memiliki perbedaan. Kalimat tidak mesti bermakna, sedang proposisi mesti bermakna.
Inilah yang menjadi perhatian Wittgenstein dalam TLP. Ia mencoba mengulik hakikat dasar dari proposisi. Dalam perdebatan epistemologi, proposisi berhubungan dengan fakta empiris, meski kita dapat menemukan ada penolakan yang mendasar dari beberapa filsuf lain. Pengertian yang berbau empirisis ini juga yang adopsi oleh Wittgenstein atas pengaruh dari Russell. Dan itu mengapa TLP menjadi buku yang begitu segar bagi Lingkaran Wina.
Wittgenstein beranggapan bahwa struktur logis bahasa terdiri atas “nama” (names), “proposisi elementer” (elementary proposition), dan “proposisi” (proposition). Proposisi tersusun oleh proposisi elementer, dan proposisi elementer tersusun oleh nama-nama. Struktur ini berhubungan secara pararel dengan struktur dunia. Proposisi berelasi dengan fakta-fakta (facts), proposisi elementer dengan kombinasi objek-objek (state of affairs), dan nama dengan objek. Jika kita membuat skema akan menjadi demikian:
Proposisi | — | Fakta |
Proposisi Elementer | — | State of affairs |
Nama | — | Objek |
Skema di atas menunjukkan bagaimana hubungan antara bahasa dengan realitas. Bahasa itu sendiri, agar menjadi proposisi, mesti mengandaikan proposisi elementer dan nama sebagai bahan bakunya. Nama tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk proposisi elementer, lalu proposisi elementer tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk proposisi. Bagi Wittgenstein, ini juga berlaku terhadap dunia/realitas. Dunia memiliki struktur, dan bahwa dunia itu sendiri tak lain merupakan totalitas fakta-fakta. Totalitas fakta-fakta tersusun dari totalitas kombinasi objek-objek, dan kombinasi objek-objek (state of affairs) tersusun dari objek yang individual, suatu struktur paling dasar.
Sudah disebutkan di atas bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara bahasa (language) dan pikiran (thought). Apa yang dapat kita katakan dengan bermakna menandakan apa yang dapat kita pikirkan. Bahasa adalah cermin pikiran, kalau bukan pikiran itu sendiri.
Lalu, bagaimana persisnya hubungan antara bahasa dengan dunia? Untuk menjawab ini, Wittgenstein menawarkan suatu ekposisi: teori gambar. Kita memulai dari yang paling dasar (ultimate constituent). Realitas kita, bagi Wittgenstein, terdiri dari objek yang tersebar begitu saja. Kita menandai keberadaan mereka dengan nama. Namun, apa sesungguhnya objek itu, ia tak membahasnya. Bagi Wittgenstein, Objek sifatnya sederhana dan tak dapat dianalisis lagi. Meinong beranggapan bahwa objek bisa saja sesuatu yang-aktual atau non-aktual. Objek non-aktual mengendapi pikiran kita sehingga ia eksis secara subsisten—anggapan ini juga yang diadopsi oleh Russell meskipun ia merevisinya sedikit. Bisa saja konsep objek dalam TLP mengikuti apa yang dirumuskan oleh para pendahulunya, namun dalam TLP sendiri, Wittgenstein tidak menjabarkan secara jelas apa yang ia maksud. Ia sangat abstrak, tanpa mendatangkan argument psikologis seperti Russell.
Proposisi elementer adalah truth-function. Mari kita lihat contoh di atas, “Meja di depan saya berwarna coklat”. Proposisi ini dapat disubtitusikan dengan huruf, misal p. p berdiri menggantikan “Meja di depan saya berwarna coklat”. Proposisi elementer secara logis hanya dapat dinilai benar atau salah, dan tidak dapat kedua-duanya. Porposisi elementer berdiri sebagai landasan dari proposisi, atau proposisi majemuk. Mari kita lihat tabel truth-value untuk memahaminya:
p | q |
T | T |
T | F |
F | T |
F | F |
Jika terdapat dua proposisi elementer, maka susunan logis dari truth-value dari kedua proposisi p dan q tampak pada tabel di atas.
Proposisi elementer menunjukkan segala kemungkinan pada aras state of affairs. Jika ia benar maka state of affairs yang ditunjukkan, eksis. Begitu pula sebalikanya. Kemungkinan-kemungkinan state of affairs, tidak saja eksis melainkan yang-tidak-eksis sekalipun.
Proposisi elementer terdiri dari nama-nama, dan pada gilirannya proposisi tersusun atas proposisi elementer. Proposisi elementer dalam proposisi dihubungkan oleh logical connectives. Misal p & q. p & q dapat eksis bila p benar dan q benar.
p | q | p & q | p –> q |
T | T | T | T |
T | F | F | F |
F | T | F | T |
F | F | F | T |
Dari tabel di atas, (p & q) dan (p –> q) adalah proposisi. Kebenaran mereka bergantung dari kebenaran konstituennya. Kita ambil contoh menggunakan pernyataan biasa: “Meja di depan saya berwarna coklat” untuk p dan “Jokowi adalah presiden Indonesia” untuk q. Jika meja di depan saya berwarna coklat, maka Jokowi adalah presiden Indonesia dapat salah jika dan hanya jika “Jokowi adalah presiden Indonesia” salah. Kita di sini belum berbicara apakah proposisi itu berbunyi atau tidak, melainkan hanya menitik beratkan pada aspek formalnya saja, yakni validitasnya.
Seperti yang sudah ditekankan di atas, bahwa proposisi menunjukkan fakta. Suatu proposisi dapat bermakna jika ia dapat “menggambarkan” fakta dengan tepat. Wittgenstein menyebut ini sebagai picture theory. Proposisi menangkap fakta dapat dianalogikan seperti seorang pelukis impresionis melukis panorama. Fakta pada hakikatnya merupakan suatu kombinasi dari kombinasi objek-objek yang mewujud sedemikian rupa. Manusia menggambarkannya, lalu terbentuklah suatu proposisi. Begitulah mekanisme yang terjadi dalam relasi antara pikiran dan dunia.
Tapi, bagaimana Wittgenstein tahu bahwa dunia/realitas secara intrinsik memiliki struktur? Apakah asumsinya, bahwa bahasa dan pikiran tidak memiliki perbedaan, dapat diterima begitu saja? Implikasi dari TLP mendatangkan suatu gerakan filosofis yang radikal. Schlick dan kawan-kawan meneruskan filsafat Wittgenstein dan membuat suatu ajaran baru, yakni verifikasionisme. Apapun yang dapat diterima oleh akal adalah apapun yang disebut fakta. Di sini, indera-indera kitalah yang bermain. Tidak salah, jika mengacu kepada apa yang Wittgenstein kemukakan, bahwa apapun yang berhubungan dengan realitas fisikal atau ilmu alam dapat masuk akal, sedang di luar itu sama sekali tak bermakna. Tapi ini akan tampak bermasalah jika kita mempertimbangkan perilaku berbahasa manusia yang lain.
Pertanyaan selanjutnya yang ingin saya tawarkan, apakah hanya logika yang memiliki legitimasi bagaimana manusia memahami dunia ini? Jika iya, bagaimana kita sungguh yakin bahwa hanya yang-bermakna lah yang rill? Apakah tidak ada hal di dunia ini yang sungguh nyata namun tak dapat kita pahami? Jika tidak, lalu apa lagi?
- 11/04/2018
- 16/07/2018
- 17/10/2018