Mohammad Hatta
Mohammad Hatta

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki budaya gotong royong yang begitu masyhur. Masyarakat saling berinteraksi dan menjalin kerja sama untuk mencapai tujuan, termasuk untuk membangun aktivitas perekonomian yang berkesinambungan. Mubyarto dalam Nugroho (2014) berpendapat bahwa masyarakat Indonesia tidak didasari oleh liberalisme atau kapitalisme. Kolektivisasi (lihat: gotong royong) merupakan salah satu motif yang ditekankan berkali-kali oleh Mubyarto, ketika merumuskan sistem perekonomian yang menjunjung tinggi nilai-nilai kelokalan Indonesia. Perkembangan kapitalisme tidak dapat terbendung, setelah beberapa konflik politik dan pelengseran Soekarno, arah perekonomian Indonesia semakin tidak jelas. Di masa awal kemerdekaan kita memahami bahwa Soekarno cenderung dekat dengan konsep-konsep sosialisme yang mendukung adanya sentralisasi dan kepemilikan secara kolektif segala bentuk alat-alat produksi—perusahaan atau korporasi yang dikonversi menjadi milik negara, BUMN—secara drastis mengalami pergeseran paradigma ke arah kapitalisme yang disebabkan oleh krisis berkepanjangan yang menuntut adanya transformasi sistem ekonomi secara radikal, hal ini menyebabkan beberapa sarjana ekonomi Indonesia, yang selanjutnya kita kenal sebagai Mafia Berkeley melakukan komersialisasi pasar dan membuka lebar investasi asing agar dapat menekan krisis perekonomian yang terjadi. Beberapa dekade telah berlalu, namun Indonesia masih lebih mampu untuk menemukan identitasnya di bidang ekonomi. Jika kita berkaca pada slogan-slogan yang digemakan oleh pemerintah, terlihat bahwa perhatian semu pemerintah berkoinsidensi dengan tindakan represif, eksploitatif, dan diskriminasi di bidang ekonomi.

Ekonomi Makro sebagai Anak Emas Indonesia

Indonesia—dewasa ini—cenderung meng-anak emas-kan ekonomi makro sebagai ukuran untuk melihat laju perkembangan perekonomian. Hal ini didasari dengan arus modal atau investasi dalam jumlah besar yang keluar atau masuk di sektor makro yang terlihat lebih jelas dibandingkan dengan sektor mikro yang cenderung tidak terlihat karena kuantitas yang relatif kecil dan sporadis. Setelah terbukanya pintu invetasi di Indonesia, penguasa lebih memanjakan industri besar yang diharapkan dapat menyerap tenaga kerja di Indonesia secara masif—padahal kondisinya tidak sesuai dengan realita yang ada, beberapa di antaranya justru tidak mampu menyerap tenaga kerja secara transparan, yang dibuktikan dengan praktik pungutan liar ketika hendak masuk ke dalam suatu perusahaan (Alamsyah, 2024). Akibatnya, perekonomian Indonesia hanya diukur berdasarkan dengan peningkatan atau penurunan yang terjadi di sektor makro dan mengabaikan peran penting aktivitas ekonomi mikro di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya yang bermotif kolektif (koperasi). Misalnya, Indonesia cenderung memperhatikan hilirisasi dan pembangunan smelter-smelter sebagai bentuk wacana industrialisasi dalam bidang manufaktur skala besar (Zamroni, 2024).

Semangat yang dibangun dalam pedekatan ekonomi makro di Indonesia adalah semangat kapitalisme yang terlihat dengan upaya eksploitasi yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, misalnya penyerobotan hutan adat di wilayah Seram, penggusuran tanah komunitas adat Sempeket Benuaq Dingin, atau konflik tambang emas di wilayah Sangihe. Posisi ini semakin membahayakan praktik-praktik kolektivisasi yang ada di Indonesia, yang semakin hari terkikis oleh semangat individiualisme di berbagai bidang. Propaganda individualisme yang dilancarkan oleh agen-agen kapitalis disebabkan oleh potensi lokal yang dimiliki Indonesia sebagai wilayah non-kapitalistik yang sangat potensial untuk menyerap produksi komoditi perusahaan transnasionalisme sehingga siklus produksi kapitalisme terus berlanjut di atas gagalnya Indonesia untuk menemukan cita-cita dan identitas ekonominya.

Dengan perhatian yang sangat tinggi pada sektor ekonomi makro, hal ini meningkatkan peluang perburuan rente (rent seeking) yang ditujukan untuk mempertahankan pengaruh politik dan ekonomi di wilayah Indonesia, yang memungkinkan adanya eksploitasi lanjutan demi kepentingan pribadi (Hudayana, 2018). Kondisi ini yang kemudian membuat posisi ekonomi mikro tergeser dari perhatian pemerintah, kecenderungan ini menyebabkan matinya aktivitas koperasi yang merupakan salah satu nafas perekonomian di Indonesia.

Pemerintah sebagai Bawang Merah

Represi dilakukan melalui berbagai penerbitan kebijakan dengan dalih kepentingan masyarakat Indonesia. Jika hal ini benar, koperasi tidak akan mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, Indonesia memiliki 209.488-unit koperasi dan di tahun 2023 mengalami penurunan sebanyak 79.328 menjadi 130.119 unit, di bawah rezim Joko Widodo (Putri, 2024). Hal ini menjadi contoh nyata bahwa perkembangan koperasi di Indonesia tidak berjalan dengan baik di bawah rezim Joko Widodo, hal ini disebabkan maraknya diskriminasi dan lemahnya perlindungan koperasi di tengah maraknya lembaga keuangan atau yang katanya kolektif milik swasta-asing tumbuh di Indonesia. Jika kita melihat fenomena pijaman online, hal ini merupakan ancaman nyata bagi eksistensi koperasi di Indonesia, khususnya koperasi simpan pinjam. Dengan hadirnya pinjaman online (pinjol), yang menyediakan pendanaan secara instant serta mudah, maka masyarakat perlahan bergeser dan lebih bersimpati terhadap pinjol sebagai solusi untuk memberdayakan diri mereka, meski proteksi atau risiko yang ditanggung begitu besar, khususnya pinjol illegal. Pemerintah begitu gencar dengan pemberdayaan layanan penyedia pinjol—baik lokal atau asing—yang cenderung berfokus pada upaya memperkaya diri sendiri (atau investor) yang tentu saja berbeda dengan tujuan awal perekonomian Indonesia yang tercermin dalam konsep koperasi, yaitu memberdayakan orang-orang yang tidak berdaya (Mubyarto dalam Nugroho, 2014). Diskriminasi ini terlihat dengan tebang pilih kebijakan terhadap ekonomi lokal yang basis investornya adalah masyarakat yang saling berupaya untuk memberdayakan diri mereka agar menjadi berdikari di tengah ketidakstabilan perekonomian dunia, degradasi koperasi secara bertahap menyebabkan kemampuan dan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia mulai pudar yang secara tidak langsung memposisikan slogan “gotong royong” menjadi mitos dari tahun ke tahun.

Intervensi Asing yang Tiada Akhir

Ketergantungan Indonesia dengan pihak-pihak asing telah lama terjadi dan semakin parah. Pengembangan potensi kelokalan di Indonesia terhambat karena ketidakmampuan Indonesia untuk memperhatikan sumber daya alam dan manusia yang sebetulnya mampu untuk mengembangkan Indonesia ke arah yang lebih baik. Tidak jarang para sarjana yang memiliki potensi hebat cenderung memilih berkarir di luar negeri dibandingkan di Indonesia, hal ini disebabkan kurangnya apresiasi pemerintah terhadap sarjana yang memiliki potensi untuk memberdayakan sumber daya yang ada. Akan tetapi, kondisi yang sedang terjadi di Indonesia adalah kondisi yang sangat diinginkan oleh pihak asing dan terus di-maintain agar bangsa Indonesia tidak mampu untuk menyadari potensi yang dimilikinya. Dengan minimnya kesadaran masyarakat yang terpecah ke dalam segmentasi sosial, bahkan segmentasi ekonomi, maka aktivitas eksploitasi akan terus berlanjut hingga ke fase yang lebih ekstrem. Mubyarto, et al (2014) melihat fenomena intervensi asing terjadi ketika berhasilnya upaya medeligitmasi pemerintahan Soekarno melalui peristiwa G30S, yaitu pasca diterbitkannya UU No. 16/1965 tentang pengakhiran segala bentuk keterlibatan perusahaan asing di Indonesia. Dari kejadian tersebut, kita dapat menilai bahwa intervensi asing di Indonesia telah ada sejak lama, yang merupakan salah satu bentuk warisan kolonilisme yang menyebabkan Indonesia hingga saat ini tidak mampu untuk menemukan identitasnya secara komprehensif, khususnya di bidang ekonomi.

Kesimpulan

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menemukan dan mempertahankan identitas ekonominya. Meskipun memiliki fondasi budaya gotong royong yang kuat, pergeseran ke arah kapitalisme sejak masa pasca-Soekarno telah mengikis nilai-nilai kolektivitas yang menjadi ciri khas ekonomi lokal Indonesia. Fokus yang berlebihan pada ekonomi makro, seperti industrialisasi besar-besaran dan investasi asing, telah mengabaikan peran vital sektor ekonomi mikro, khususnya koperasi, yang menjadi inti dari semangat ekonomi berbasis kolektif. Fenomena ini diperparah dengan eksploitasi sumber daya lokal oleh pihak asing, lemahnya perlindungan terhadap aktivitas ekonomi lokal, serta degradasi sistem koperasi. Selain itu, masuknya pinjaman online dan institusi keuangan swasta-asing semakin menggantikan peran koperasi, memperburuk kesenjangan ekonomi dan menghilangkan esensi gotong royong. Pemerintah pun dianggap gagal melindungi dan memprioritaskan potensi lokal, lebih memihak pada model ekonomi yang memperkaya segelintir pihak, sehingga memperparah ketergantungan pada pihak asing. Akibatnya, Indonesia perlu mengintegrasikan kembali nilai-nilai lokal seperti gotong royong ke dalam sistem ekonominya, sekaligus mengurangi ketergantungan pada kapitalisme global untuk menemukan keseimbangan yang mendukung pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Tanpa upaya ini, risiko eksploitasi berlanjut dan identitas ekonomi bangsa akan semakin sulit ditemukan, bahkan dapat jatuh ke dalam jurang ambiguitas ekonomi.

Angga Pratama

Pendiri Ruangan Filsafat dan Pengamat Ekonomi Independen

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses