Seseorang mengajukan klaim bahwa ketiadaan atau nothingness bukanlah sesuatu yang benar-benar tiada. Sebagai argumen dinyatakan bahwa ketiadaan dapat dipredikasi. Misal, ketika suatu pernyataan berbunyi, “ketiadaan adalah ketiadaan” maupun dengan kalimat lain seperti ‘ketiadaan adalah ada’. Pada keduanya, ketiadaan dapat dipredikasi (dihukumi) sesuatu yang lain.
Lebih jauh dikatakan bahwa sesuatu yang dapat dipredikasi adalah sesuatu yang ada. Sebab, tidaklah logis untuk mempredikasi sesuatu bila sesuatu itu tidak ada atau bukan sesuatu apapun. Dari sini kemudian berkembang kesimpulan yang bermasalah. Menurut mereka, ketiadaan memiliki eksistensi. Atau, dalam kata lain, “ketiadaan itu ada”.
Kontradiksi Tiada-Ada
Selain itu, masalah tiada-ada ini musti diklarifikasi terutama karena kerancuan atau fallacy yang disebabkan olehnya. Bahwa menerima “ketiadaan itu ada” sekaligus “ketiadaan adalah ketiadaan” merupakan penerimaan dua hal yang berkontradiksi baik dari sisi menerima kedua pernyataan maupun dari sisi menerima pemaknaan atas pernyataan pertama dengan dirinya sendiri.
Padahal hukum kontradiksi menjelaskan jika dua hal yang berlawanan tidak mungkin sama antara satu dengan yang lain. Bahwa A bukan B dan sebaliknya. Maka, menyatakan “ketiadaan itu ada” merupakan pelanggaran pada hukum kontradiksi. Demikian pula mengakui bahwa “ketiadaan adalah ketiadaan yang sekaligus ada” adalah suatu hal kontradiktif.
Karena perdebatan tersebut lebih banyak berkaitan dengan implikasi yang bersifat logis maka idealnya jawabannya ditemukan dalam logika. Secara khusus dalam penanganan masalah ini para filsuf muslim mayoritas bersepakat menggunakan prinsip-prinsip predikasi yang dikembangkan dalam ilmu logika atau manthiq.
Predikasi Intensional dan Predikasi Konseptual
Kita kadang menyatakan “manusia adalah hewan yang berpikir”. Pada kalimat ini, kita memberi subjek kalimat (manusia) sebuah predikat (hewan yang berpikir). Predikasi ini dapat terjadi karena subjek dan predikat itu itu bermakna sama. Bahwa hewan yang berpikir adalah manusia, demikian pula manusia adalah hewan yang berpikir. Pada jenis pertama ini para filsuf muslim merujuknya sebagai predikasi intensional (al-haml al-awwali al-dhati).
Dari sini bisa kita katakan bahwa “ketiadaan adalah ketiadaan” merupakan predikasi intensional karena ketiadaan baik sebagai subjek maupun predikat adalah sama belaka maknanya. Bahkan kita dapat saja mengatakan “manusia adalah manusia”, “Sulaiman adalah Sulaiman”, “Islam adalah Islam” karena subjek dan predikat mereka menyatu secara kemafhuman.
Hampir mirip predikasi intensional, terdapat pula predikasi yang hanya nyata atau memiliki eksistensi di alam mental. Sebab di alam mental, maka dia hanya memiliki wujud atau eksistensi konseptual. Dengan demikian, predikasi ini disebut predikasi konseptual karena wujud dari subjek-predikat adalah konsep-konsep, yang tidak harus nyata. Predikasi konseptual terjadi pada pernyatan semisal “unicorn itu abadi” dan “naga itu tak terkalahkan”.
Hanya saja pada predikasi konseptual, tidak dapat dikatakan nyata atau benar dari sisi objektif. Ia sifatnya khayal dan benar sejauh imajinasi pembicara. Pernyataan seperti “ketiadaan adalah ada” bisa termasuk sebagai predikasi konseptual yang khayali semacam ini. Adapun segala yang khayal boleh jadi merupakan hal-hal yang tidak logis ataupun berkontradiksi.
Predikasi Ekstensional dan Predikasi Eksternal
Di kesempatan lain kita bisa menyatakan “manusia itu besar”. Bahwa kata manusia dan kata besar memiliki makna yang berbeda namun mereka menjadi satu dalam suatu tingkat eksistensi (dalam contoh awal ini ia ada pada pikiran kita). Yang satu adalah kategori kemakhlukan atas sesuatu dan yang lain merupakan sifat yang menandai ukuran si makhluk atau sesuatu itu.
Predikasi yang kedua ini biasanya disebut sebagai predikasi ekstensional atau al-haml al-sha’i’ alsina’i. Sebab, predikat yang berlaku merupakan eksistensi atau penjelasan lebih lanjut mengenai si subjek. Bahwa dalam benak kita “manusia itu besar” dapat berlaku karena kita membandingkan manusia dengan makhluk lain yang berukuran lebih kecil.
Berangkat dari predikasi ekstensional, kita bisa menyatakan bahwa “ketiadaan itu ada”. Tentu dengan mengingat bahwa ketiadaan yang dimaksud adalah suatu “konsep” mengenai “ketiadaan” yang memang “ada” dalam benak kita. Namun kemudian kita bisa bertanya, apakah ketiadaan itu ada juga dalam eksistensi eksternal atau nyata?
Selain ekstensional, kita perlu menambahkan predikasi jenis lain yang disebut sebagai predikasi eksternal. Pada predikasi ini kita menyatakan sesuatu yang memang ada di dunia eksternal/nyata. Misal, “manusia itu besar” bermakna bahwa memang ada seseorang manusia berbadan besar di hadapan kita atau yang kita pernah jumpa sebelumnya.
Tiada Kontradiksi pada Perbedaan Dunia Predikasi
Dengan memahami jenis-jenis predikasi ini, kita dapat menyadari bahwa setiap kalimat predikatif yang membahas ketiadaan dapat bermakna berbeda-beda tergantung dunia predikasinya. Perbedaan makna itu akan menjadikan mereka dapat dihukumi bebas dari kontradiksi atau berkontradiksi antara satu sama lain.
Misalkan “ketiadaan adalah ketiadaan” serta “ketiadaan adalah ada” dapat berlaku bukan kontradiksi. Sebabnya, pada pernyataan pertama berlaku predikasi eksternal dimana ketiadaan memang satu dengan predikasinya: mereka sama-sama tidak ada dalam realitas.
Pun, pernyataan kedua bisa kita terima dengan menganggap subjek (ketiadaan) sebagai konsep mental yang dipredikasi eksis (ada) dalam benak kita. Jelaslah keduanya berada di dua dunia atau jenis predikasi yang berbeda sehingga tidak saling berkontradiksi.
Relativitas Nilai berdasar Dunia Predikasi
Pun berlaku prinsip “perbedaan dunia predikasi menimbulkan implikasi nilai benar-salahnya”. Jika kita menyatakan “ketiadaan adalah tiada” maka hal ini benar jika yang berlaku adalah predikasi intensional. Sebabnya, “ketiadaan” sebagai subjek dan “tiada” sebagai predikat sama maknanya.
Namun, “ketiadaan itu tiada” dapat bernilai salah jika kita berlakukan predikasi konseptual maupun ekstensional. Ketiadaan itu tiada akan menegasikan eksistensi dari ketiadaan dalam bentuk apapun. Padahal jika diberlakukan predikasi konseptual maupun ekstensional, “ketiadaan” memiliki suatu eksistensi meskipun sekedar konsep (mafhum).
Demikian pula menyatakan bahwa “ketiadaan itu tiada sekaligus ada” merupakan sesuatu yang benar jika diberlakukan predikasi konseptual yang dalam ekstrimitasnya dapat bersifat khayali. Namun, pernyataan itu akan bernilai salah jika diberlakukan predikasi eksternal karena di dalam realitas ketiadaan mustahil mengandung dua hal yang berkontradiksi sekaligus.
Perlunya Penyempurna Kalimat Predikatif
Dari sini dapat disimpulkan bahwa suatu penyataan dari satu dunia predikasi bisa dimaknai salah bila di lihat dari dunia predikasi yang lain. Hal demikian tentuk akan menjadikan kita sulit untuk menilai benar-salah sesuatu pernyataan. Sebab itu, disini diusulkan penyempurnaan kalimat sehingga identitas dunia atau jenis predikasi jelas nampak darinya.
Misalkan, untuk predikasi konseptual maka kata “konsep” perlu dibubuhkan. Hasilnya menjadikan pernyataan “konsep ketiadaan adalah ada”. Pun pada predikasi intensional dapat ditambahkan sesuatu yang mengindisikasi kesatuan mafhum. Contohnya “ketiadaan adalah ketiadaan secara makna”. Demikianlah penjelasan mengenai persoalan ini.
Ahmad Amin Sulaiman
Menulis buku-buku filsafat Pedagogi Kritis. Pernah mendapatkan beasiswa untuk Master Psikologi Kognitif di Flinders University, serta Magister Filsafat Islam di Sadra. Sehari-hari, mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.