Hidup sekitar 2000 tahun yang lalu, Plato merupakan salah seorang filsuf besar yang pemikirannya masih dibaca dan dikaji hingga sekarang. Ia menulis pemikirannya dalam bentuk dialog. Semua dialognya berjumlah lebih dari 25 judul dan hampir selalu Sokrates—gurunya— yang menjadi tokoh utamanya.
Terdapat tiga alasan yang melatari mengapa Sokrates sering muncul sebagai tokoh utama dalam karya Plato:
- Sokrates adalah seorang yang paling mempengaruhi kehidupan Plato. Pertemuannya dengan Sokrates, serta kematian Sokrates telah mengantarkan Plato untuk mengubah seluruh orientasi hidupnya; dari seseorang yang berpretensi untuk berkecimpung dalam gelanggang politik (negarawan) menjadi seseorang yang mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan, dan tentu saja mendidik anak muda untuk menjadi negarawan yang dapat menghargai orang bijaksana seperti Sokrates melalui sekolah yang dinamakan Akademia.
- Untuk mengenang dan menghormati Sokrates. Sokrates adalah orang yang paling dekat dengan Plato. Ia telah mengajari banyak hal kepada Plato. Sehingga untuk mengenang dan menghormati gurunya, ia menempatkan Sokrates sebagai tokoh utama di hampir setiap dialognya.
- Untuk merehabilitasi anggapan keliru orang tentang Sokrates. Seperti sudah diketahui, Sokrates tak pernah menuliskan satu karya pun semasa hidupnya. Ia dikenal sebagai seseorang yang suka menanyai orang dari beragam profesi, utamanya tentang persoalan etis di pasar (agora) atau gymnasium. Orang yang ditanyai seringkali sudah merasa tahu tentang persoalan yang diajukan oleh Sokrates. Dengan menggunakan metode dialektika, Sokrates menunjukkan bahwa sebenarnya orang yang merasa tahu itu rupanya tidak tahu apa-apa. Terkadang ada beberapa orang yang justru jengkel karena merasa dibuat malu oleh Sokrates. Maka itu, Plato ingin mendemonstrasikan bahwa sebenarnya maksud Sokrates adalah menggiring orang untuk mencapai kebenaran yang esensial dan universal, alih-alih membikin malu orang di depan umum. Selain itu, di masa akhir hidupnya, Sokrates dituduh sebagai orang yang merusak anak muda karena telah mengajarkan mereka untuk tidak percaya kepada dewa-dewa. Padahal Sokrates tidak melakukan hal tersebut. Ia justru adalah orang bijaksana yang mengajarkan pada anak muda untuk menjadi bijaksana. Melalui dialog-dialognya, Plato berupaya untuk mematahkan anggapan tersebut.
Pemikiran-pemikiran Plato yang disampaikan dalam dialog-dialognya merentang dalam banyak bidang. Mulai dari epistemologi, jiwa, fisika, metafisika, pendidikan, hingga politik. Pemikiran tersebut telah mempengaruhi banyak filosof di abad pertengahan, modern, dan bahkan kontemporer. Tak bisa dipungkiri apabila Alfred North Whitehead mengatakan bahwa seluruh sejarah filsafat barat hanyalah catatan kaki dari filsafat Plato.
Meski demikian, tak banyak orang yang mengkaji etika Plato secara menyeluruh. Persoalan ini tak mengherankan mengingat Plato tak pernah menulis etika secara eksplisit. Buku etika pertama kali ditulis oleh muridnya, Aristoteles. Namun, banyak uraian dalam dialognya yang secara implisit membicarakan perihal etika. Lantas, seperti apakah etika Plato? Sebelum menjawab pertanyaan itu, penting untuk menelusuri ajaran-ajaran Plato tentang idea-idea.
Idea-Idea Plato
Untuk memahami ajaran idea-idea Plato, kita dapat mengambil alegori tentang tahanan dalam gua yang terdapat dalam buku ketujuh dialog Politeia. Alegori tersebut menceritakan sekelompok tahanan yang hidup dalam gua. Setiap harinya mereka duduk menghadap tembok belakang gua. Di antara mereka dan pintu masuk gua, terdapat api. Di balik pintu masuk tersebut ada budak yang membawa pelbagai jenis benda. Yang bisa dilihat oleh para tahanan adalah bayang-bayang benda tersebut. Oleh sebab itu, mereka menganggap bayang-bayang itulah realitas sebenarnya. Suatu ketika ada salah seorang tahanan yang dapat lepas. Ia berpaling dan melihat benda-benda yang dibawa oleh budak itu. Awalnya, matanya kesusahan dan kesakitan melihat benda-benda itu. Lama-lama ia terbiasa dan juga mulai melihat benda-benda lain yang ada di luar gua, seperti rumah, pohon, batu, dan lain-lain. Terakhir, ia memandang ke atas dan melihat matahari yang menyinari semuanya. Dari sini ia mulai mengambil kesimpulan bahwa apa yang dulunya dianggap realitas hanyalah tiruan dari realitas sebenarnya yang ada di luar gua. Namun, waktu ia kembali ke gua dan menceritakan semuanya kepada para tahanan, mereka malah tidak percaya dan menjadi marah.
Melalui alegori tersebut, Plato memperlihatkan bahwa apa yang seringkali diklaim sebagai kebenaran pada dasarnya masih jauh dari realitas yang sebenarnya. Segala benda yang dilihat oleh para tahanan itu ialah anggapan-anggapan umum manusia tentang dunia. Dengan kata lain, segala benda yang terpampang di alam inderawi ini bukanlah realitas yang sebenarnya. Karena itu, manusia harus berani keluar dari gua guna melepaskan belenggu-belenggu alam inderawi dan menggapai kebenaran yang hakiki.
Lantas, dimanakah realitas sebenarnya? Bagi Plato, realitas yang sebenarnya bersifat rohani yang disebut idea. Ia bersifat universal, abadi dan hakiki. Misalnya, idea kursi. Idea kursi tidak berbentuk, tidak berwarna dan tidak berubah-berubah. Namun, idea kursi menjadi paradigma atau model bagi segala jenis kursi. Artinya, idea kursi mensyaratkan keberadaan kursi-kursi lain.
Berakar dari pendapat tersebut, kita perlu mengatasi dunia jasmani dan mendasarkan pikiran pada idea. Namun, bagaimana manusia yang merupakan makhluk indrawi dapat mengetahui idea? Plato percaya bahwa sebelum jiwa manusia menyatu dengan tubuh, ia terlebih dahulu eksis di dunia idea. Di sana ia memandang segala jenis idea. Namun, tatkala jiwa menyatu dengan tubuh, manusia seketika lupa terhadap idea. Karena itu, Plato pernah berujar bahwa pengetahuan adalah pengingatan. Ia seolah-olah mengingat atas apa yang dulu pernah dilihatnya.
Setelah manusia keluar dari gua dan mengetahui idea, ia kemudian memandang ke atas dan melihat matahari. Itulah alegori dari Yang Baik. Plato kadang-kadang menyebutnya sebagai Yang Ilahi. Ia merupakan puncak kesadaran filosofis. Ia yang menyebabkan idea-idea bisa ada dan diminati. Karena itu, ia merupakan tujuan dari segala yang ada (telos). Segala yang ada mempunyai dinamika batin yang mengarah kepada Yang Baik. Begitupun juga dengan manusia. ia merupakan makhluk rohani yang harus mengarahkan dirinya pada Yang Baik untuk mencapai kebahagiaan yang tertinggi.
Etika Yunani
Guna mengerti apa itu etika, kita harus membedakannya dengan moral. Moral didefinisikan sebagai ajaran-ajaran, patokan-patokan, wejangan-wejangan dan kumpulan peraturan lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus bertindak guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Umumnya, sumber langsung ajaran moral adalah orang yang memiliki wewenang atau otoritas seperti, pemuka masyarakat atau agama, guru, kitab suci atau tulisan-tulisan kuno orang bijaksana. Ajaran tersebut bersumber pada adat istiadat, ajaran-ajaran agama atau ideologi-ideologi tertentu.
Etika bukan merupakan tambahan ajaran bagi ajaran moral. Etika adalah sebuah filsafat atau pemikiran kritis dan menyeluruh tentang ajaran-ajaran moral. Artinya, etika bukan merupakan sebuah ajaran. Sehingga, antara etika dan moral tidak berada pada level yang sama. Moral berguna untuk mengetahui bagaimana kita harus hidup, namun untuk mengetahui mengapa kita harus hidup dan bagaimana kita mesti mengambil sikap berhadapan dengan berbagai ajaran moral, kita perlu menyerahkannya pada etika.
Karena itu, etika tidak berhak untuk apa yang boleh kita lakukan atau tidak. Wewenang itu tetap diemban oleh berbagai pihak yang memberikan ajaran moral. Namun, etika berusaha untuk mempertanyakan mengapa dan atas dasar apa kita menganut dan mengikuti ajaran moral itu.
Etika merupakan ilmu yang pertama kali berkembang sekitar 2500 tahun lalu di Yunani. Ia muncul karena masifnya kebobrokan moral yang terjadi, di mana orang tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk ketika bertindak. Karenanya, etika muncul untuk menetapkan pemikiran yang sistematis tentang bagaimana manusia harus hidup agar hidupnya baik. Dalam arti ini, hidup yang baik ialah hidup yang bernilai, yang berhasil dan mencapai kualitas maksimum kehidupan seseorang. Di sinilah letak perbedaan etika Yunani dengan etika-etika di kemudian hari. Etika modern sangat beraneka warna, namun, kebanyakan jatuh dalam hedonisme atau etika kewajiban.
Yang pertama bertolak pada kerangka hedonistik yang dalam arti modern mementingkan maksimalisasi perasaan nikmat. Etika hedonisme modern meletakkan nikmat secara terpisah dan tidak menempatkannya dalam karangan tujuan hidup yang baik. Berbeda dengan etika hedonism Yunani yang selalu berpatok pada paham luas hidup yang baik. Sementara itu, Yang kedua ialah etika normatif, utilitarisme, dan etika kewajiban. Etika ini tak mementingkan tujuan etis dari suatu tindakan, melainkan lebih pada tuntunan-tuntunan kewajiban-kewajiban dan norma. Etika menjadi dilepaskan dari apa yang disebut nilai.
Etika Yunani tidak seperti itu. Etika Yunani bertujuan untuk menemukan aturan, tata cara, orientasi agar kehidupan manusia bisa sempurna dan mantap. Secara lebih luas, etika Yunani berupaya untuk mencari kerangka agar manusia tak hanya mempertahankan hidupnya (zen), melainkan juga agar manusia mencapai hidup yang baik (euzen), yang tak percuma, yang bermakna dan yang bernilai.
Ada satu unsur lagi yang tak boleh dilupakan dari etika Yunani. Etika Yunani pada hakikatnya tak menekankan kewajiban atau keharusan dalam arti keras (selain keharusan dalam hukum polis), melainkan hanya menyodorkan nasihat dan petunjuk. Ia merupakan etika kebijaksanaan. Ia tak perlu memaksa manusia untuk menjalankan norma-norma tertentu agar dapat menggapai hidup yang baik. Ia hanya menunjukkan, memberikan atau menyajikannya. Terserah seseorang mau menjalankannya atau tidak. Jika orang mempunyai kebijaksanaan, maka ia akan mengindahkan norma-norma itu. Bijaksana berarti tahu di mana nilai-nilai yang sebenarnya bertempat, sehingga ia berupaya untuk mengendalikan hidupnya sedemikian rupa agar memperoleh nilai tersebut. Singkatnya, hal-hal yang baik tak perlu diwajibkan mengingat yang terasa baik dengan sendirinya akan diupayakan oleh orang.
Secara implisit, kita mendapati bahwa kebijaksanaan menuntun orang menuju hidup yang baik. Maknanya, hidup yang baik mengandaikan pengertian atau paham yang baik pula. Karenanya, orang yang menjalankan hidup secara ceroboh atau jahat pada dasarnya bukan jahat, nmelainkan bodoh atau kurang bijaksana. Misalnya, para koruptor yang menguras uang negara dan menyengsarakan rakyat bukanlah orang yang jahat, tetapi orang yang tidak bijaksana. Di sini orang dapat menyangkal dengan bertanya: “Bukankah para koruptor itu malah tahu dan paham bahwa korupsi itu salah, tetapi mengapa mereka melakukannya?” Perlu diingat bahwa bijaksana di sini bukan sekedar tahu belaka, melainkan tahu yang benar-benar meresap dalam sanubari seseorang, sehingga orang bertindak sesuai dengan apa yang diketahuinya.
Harus ditambah pula bahwa mengingat hidup tak terpisah dengan alam ini, maka hidup yang baik mengandaikan paham yang cocok tentang keseluruhan realitas di alam ini. Lebih jelasnya, etika Yunani mengaksentuasikan bahwa paham tentang dirinya harus diposisikan dalam kesatuan dengan kosmos ini.Karakteristik etika Yunani itulah yang akan tampak pada pandangan Plato tentang tujuan hidup manusia.
Etika Plato: Cinta Kepada Yang Baik
Setelah menilik bagaimana idea-idea Plato dan ciri-ciri etika Yunani, maka sudah saatnya kita memasuki pemikiran Plato tentang etika. Bagi Plato, orang yang buruk adalah orang yang hidup dengan menggunakan nafsu dan emosinya. Selama orang dikuasai oleh nafsu dan emosi, ia berarti dikuasai oleh sesuatu yang di luar dirinya. Sehingga, ia menjadi chaos, tak punya arah dan terpecah belah. Ia bertindak sesuai dengan apa yang dikemudikan oleh nafsu dan emosi. Ujungnya, orang tak bisa memiliki diri sendiri karena didorong oleh objek-objek irasional dalam dirinya.
Sebaliknya, orang yang baik adalah orang yang hidup dengan menggunakan akal budinya. Jika orang dikuasai oleh akal budi, maka ia dikuasai oleh dirinya sendiri. Ia berorientasi pada dirinya sendiri ketika bertindak atau mengambil keputusan. Dengan bertolak pada dirinya sendiri, maka ia menjalankan hidup secara rasional. Lebih dari itu, ia akan merasakan ketenangan karena mantap dengan dirinya sendiri. Akhirnya, kita mendapati tiga keuntungan ketika hidup dikuasai oleh akal budi yakni, kesatuan dengan diri sendiri, ketenangan dan pemilikan diri yang tenang.
Karena itu, apabila kita mau menggapai suatu hidup yang baik, kita harus membebaskan diri dari belenggu-belenggu nafsu dan emosi dan memusatkan diri arahan-arahan akal budi. Terdapat dorongan transformasi arah di sini, sebagaimana alegori tentang manusia di gua. Ketimbang terkesima oleh bayang-bayang di tembok gua, ia keluar dari pintu gua dan ia mulai melihat realitas yang sebenarnya. Ia kemudian menginsyafi bahwa realitas lebih nyata daripada bayang-bayang patung-patung dan bahkan oleh patung-patung yang dibawa oleh budak itu.
Demikian juga, kita mesti mengalihkan pandangan dari anggapan-anggapan indrawi yang dangkal menuju realitas yang sebenarnya yakni realitas rohani. Dengan kata lain, kita harus mulai berpikir dan mengkonstruksi konsep-konsep agar dapat menemukan realitas rohani yang menjadi habitat awal idea-idea. Di sini dapat disimpulkan bahwa untuk menuju hidup yang baik kita seolah-oleh bertobat dari sesuatu yang badani ke jiwani, yang jasmani ke rohani dan alam indrawi kea lam idea-idea. Untuk bisa melakukan hal tersebut, sekali lagi, manusia harus menggunakan akal budi. Bagi Plato, akal budi memiliki kemampuan melihat dan memahami sesuatu yang akhirnya menghasilkan pengertian yang tepat.
Pengertian tepat itu terpampang pada ketertiban dalam jiwa kita. Lewat akal budi, kita mengadaptasikan diri sesuai dengan keselarasan alam semesta, yakni alam idea-idea. Tak pelak lagi, jiwa kita menjadi teratur dan tertata. Kita akhirnya bisa menentukan hal yang lebih penting dari berbagai dorongan dan kegiatan. Kita juga bisa mengatasi keinginan yang perlu dan tak perlu.
Jika sudah terarah pada tatanan alam idea itu, maka kita juga turut masuk dalam keterarahan alam idea itu. Laiknya alam indrawi yang terarah pada alam idea-idea, demikian juga alam idea-idea yang terarah pada idea tertinggi yang disebut dengan Yang Baik. Dalam alegori tentang manusia gua, Yang Baik itu merupakan perumpamaan dari matahari, di mana diceritakan bahwa manusia gua dapat menyadari realitas di luar gua yang indah dan baik karena disinari oleh matahari. Di situ ia mengangkat kepala dan memandang ke atas, sehingga bisa tahu bahwa matahari merupakan sumber dari eksisnya realitas ini. Sehingga, bila kita memusatkan diri pada alam idea, kita juga ikut terpusat pada Yang Baik sebagai idea yang tertinggi.
Yang Baik adalah sumber dari segala kebaikan. Segala hal yang disebut baik mengarahkan dirinya secara total pada Yang Baik. Sehingga, Manusia yang ingin hidup baik dan bernilai harus mengarahkan dirinya pada Yang Baik. Bagi Plato, orang yang bisa melakukan hal tersebut akan dapat mencapai puncak eksistensinya.
Sebenarnya, orang rela untuk melepaskan belenggu-belenggu nafsu indrawi dan berusaha untuk menemukan kebenaran yang sejati hingga Yang Baik karena didorong oleh kekuatan cinta. Cinta mendorong kita untuk mencari hal yang baik. Misalnya, orang yang baik, makanan yang baik dan pembicaraan yang baik. Plato menyebut cinta itu sebagai Eros. Ia merupakan kekuatan universal dalam alam semesta ini. Sebagaimana kebaikan turun dari Yang Baik melalui alam idea ke alam inderawi, manusia juga dapat mengepakkan sayap dari cinta jasmani ke cinta rohani hingga menuju kepada Yang Baik, yang merupakan tujuan dari segala cinta. Cinta kepada Yang Baik itu akan membuahkan kebahagiaan. Dengan kata lain, kita dapat mencapai kebahagiaan ketika berhasil melepaskan nafsu-nafsu dan mengarahkan diri menuju pada keabadiaan: Yang Baik.
Perlu dikatakan di sini bahwa eros adalah nilai subjektif, sedangkan idea-idea adalah nilai objektif. Dalam nilai subjektif kita mengalami kebaikan dan kebahagiaan, sedangkan dalam nilai objektif kita merasakan sesuatu yang bernilai. Kesatuan antara eros sebagai nilai subjektif dan Idea Yang Baik sebagai idea tertinggi nilai objektif akan menghasilkan kebahagiaan yang sempurna. Melalui Bahasa religius dapat dikatakan bahwa totalisasi kebahagiaan dapat tercapai apabila kita menyatu dalam cinta dengan Yang Ilahi.
Cinta kepada Yang Baik akan mengarahkan manusia untuk menjalankan hidup dengan baik. Hal itu dapat direalisasikan apabila manusia melakukan keutamaan. Keutamaan ialah hidup berdasarkan keselarasan dan keteraturan jiwa yang merupakan pantulan dari Yang Baik.
Plato mengkategorisasikan keutamaan menjadi empat yaitu, kebijaksanaan (phronesis atau sophia), keberanian (andreia), pengendalian diri (soproshone) dan keadilan (dikaiosyne). Keadilan berfungsi untuk menyeimbangkan dan menyatukan ketiga keutamaan lainnya. Orang yang melakukan empat keutamaan tersebut akan mencapai kehidupan yang sempurna dan bernilai
Etika Plato tidak hanya telah mempengaruhi filsafat dan kerohanian di Barat selama 2000 tahun, melainkan juga melalui Neoplatonisme telah mempengaruhi sufi-sufi muslim. Pada akhirnya, melalui spiritualitas kaum sufi juga mempengaruhi spiritualitas kejawen yang mempersonifikasikan diri dalam paham Manunggaling Kawula Gusti (menyatunya antara seorang hamba dengan Tuhan).
Namun, pada zaman modern ini, paham keterarahan kepada Yang Baik mulai ditinggalkan dan diganti dengan berbagai teori etika. Salah satu yang paling krusial ialah etika otonomi kesadaran moral Immanuel Kant. Juga manusia modern lebih meminati paham kewajiban, sehingga konsep tentang kebaikan dari Yang Baik tak terlalu diinternalisasi. Dengan demikian manusia modern justru telah melupakan tujuan dari mengapa tindakan moral dilakukan.
Daftar Pustaka
Bertens, Kees, 1999, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius
Magnis Suseno, Franz, 1987, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius
__________________, 1997, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke 19, Yogyakarta: Kanisius
- 22/09/2022
- 03/04/2023
- 16/09/2024