Musik Koplo umumnya identik dengan masyarakat di daerah Jawa. Pada mulanya musik ini digunakan untuk menghibur masyarakat di daerah-daerah tersebut, di kegiatan daerah atau pada acara lokal seperti pernikahan, peringatan lokal, atau perayaan hari kemerdekaan. Kini jenis koplo berkembang dan mengalami berbagai modifikasi tanpa meninggalkan karakter musik sebelumnya yang dikenal sebagai campur sari. Fungsinya pun berkembang hingga menjadi industri yang mampu meningkatkan penikmat koplo di berbagai komunitas masyarakat. Perkembangan ini didorong oleh globalisme yang dimanfaatkan terutama oleh masyarakat urban, untuk memperkenalkan kembali identitasnya kepada masyarakat yang mereka temui dalam era posmo ini. Koplo menjadi identitas dan mewakili suara sebagian masyarakat di Indonesia, terutama kaum muda. Koplo diterima oleh semua kalangan dan membawa pesan-pesan moral dan bahkan menjadi inspirasi bagi berbagai kalangan. Koplo lebih lanjut lagi mampu mewakili Indonesia di ranah musik dunia.
Didi Kempot dan Musik Koplo yang Sederhana
Pada mulanya koplo merupakan musik alternatif bagi kalangan masyarakat Jawa selain dangdut, campursari, dan keroncong. Koplo menjadi salah satu musik populer di kalangan yang terbatas saja. Bila dangdut identik dengan biduan wanita dan Rhoma Irama, koplo identik dengan Didi Kempot yang hingga akhir hayatnya berkelut dengan aliran musik tersebut. Kempot menjadi salah satu tokoh musik yang berusaha mengembangkan musik alternatif di antara dangdut dan keroncong. Pada tahun 1980-an, koplo masih terdengar familiar dengan orkes organ tunggal atau iringan kendang dan biola. Kempot pun dikenal karena lagu-lagunya yang fenomenal bagi masyarakat di sekitar Jawa Tengah. Selain liriknya yang mudah diingat dan melodinya yang khas, koplo juga diciptakan dengan nada-nada canon dari nada dasar C yang mudah dimainkan dengan alat musik sederhana.
Sebelum ia berada di seluruh hati masyarakat, Kempot merintis koplo dengan usahanya mengamen di berbagai daerah, serta terus berusaha mengembangkan teknik musik dan suara melalui alat-alat dan fasilitas rekaman serta penyebaran musik yang sederhana. Tema dari lirik-lirik lagu kempot juga bertemakan perasaan sedih, patah hati, kecewa, dan hal-hal dramatis yang umum terjadi di sekitarnya. Pada awal mula karir Kempot, lagu-lagu ini dihargai karena lokalitasnya semata. Lagu semacam Stasiun Balapan dan Sewu Kuto yang berbahasa Jawa dilihat sebagai bentuk kekayaan budaya, dan dimeriahkan sebagai bagian dari kekayaan budaya semata. Walau telah mewujud sebagai seni, koplo pada tahap ini belum menguasai dunia permusikan .
Pada tahap yang sama, penampilan Kempot merupakan penampilan yang umumnya diterima sebagai penampilan ‘budaya’, hanya diterima oleh kalangan luas sebagai bentuk apresiasi. Banyak kritik yang diterimanya, terutama karena tema yang dipilih selalu melulu mengenai keputusasaan dalam dunia percintaan. Musik macam ini dianggap sebagai salah satu contoh musik ngikngok sebagaimana ditolak oleh Soekarno karena merugikan kaum muda. Tema percintaan dianggap tidak memiliki muatan lebih dan cenderung mendorong orang untuk bersikap egois serta mementingkan sisi emosional semata. Musik demikian pula dianggap meminggirkan semangat-semangat lain yang lebih berguna misalnya, nasionalisme dan semangat berkarya. Hal ini menjadi kekurangan terbesar yang tidak dapat dihindari oleh Kempot. Ia mampu mengembangkan teknik vokal dan musik, pula sama halnya dengan kualitas rekaman. Namun tema percintaan yang ia tekankan dalam lirik-liriknya, yang sudah menjadi ciri khas tidak dapat dihilangkan begitu saja.
Karena berkembang di lingkungan yang tidak kritis (tidak lahir di masyarakat yang mementingkan nalar rasional sebagaimana didaku misalnya oleh Punk dan Eastcoast Rap) dan dianggap rendahan, koplo dianggap menjadi bagian dari musik murahan yang tidak memiliki kelusan pasar. Berbeda halnya dengan dangdut yang jelas memiliki sisi mencolok yang menarik terutama bagi kalangan dewasa. Menurut Sugiharto, kelompok budaya umumnya berfungsi lebih sebagai semacam ‘asosiasi’ daripada suatu masyarakat yang terpisah. Kelompok yang menerima atau menolak koplo merupakan kelompok yang masing-masing merepresentasikan sifat dalam menyikapi kehidupan. Hal ini menjadi salah satu masa terburuk koplo.
Di era tahun 2000-an, Kempot mencoba memodifikasi berbagai lagu tradisional lain serta lagu-lagu internasional seperti Prau Layar ciptaan Ki Narto Sabdo atau Asereje gubahan grup Amerika Latin The Las Kethcup. Namun hal ini bukan menjadi gebrakan yang berarti bagi genre koplo yang berusaha ia perjuangkan. Musik Indonesia sendiri dipenuhi dengan berbagai ke-moderen-an seperti maraknya band rock dan DJ. Tidak ada perhatian bagi koplo yang pada masa itu masih merupakan musik alternatif yang muncul di kalangan rendah dan minoritas. Belum lagi maraknya saluran televisi musik seperti MTV dan VH1 yang membanjiri Indonesia dengan ribuan musik Barat tiap tahunnya. Hal ini berlangsung hingga perkembangan pemikiran masyarakat mulai terbuka pada lokalitas dan cara-cara mengembangkan lokalitas di tengah gerusan globalisasi.
Berkembangnya Koplo
Koplo pada mulanya diperjualbelikan di pasar tradisional dalam rupa kaset dan compact disk. Selanjutnya dalam dunia media yang berkembang, koplo disebarluaskan melalui internet dalam format Mp3 atau video. Kini musik koplo berkembang, yang pada mulanya hanya diakui sebagai salah satu genre musik dangdut, selanjutnya ia berkembang menjadi salah satu aliran musik tersendiri yang melahirkan berbagai macam sinkronisasi gaya dengan genre lainnya. Tersebut berbagai aliran koplo misalnya; koplo house music, rap koplo, slow koplo, dangdut koplo, hingga orkestra, reggae dan ska koplo. Koplo menduduki posisi yang sama dengan musik rock. Tidak heran pula bila kemudian muncul sub genre baru pula ialah rock koplo. Perkembangan ini menandai penerimaan masyarakat luas atas koplo serta diserapnya koplo dalam dunia populer-industrial. Pada perjalanan koplo di tahap ini, nampak bahwa dengan semakin maraknya teknologi di seluruh kalangan, kesukaan masyarakat atas koplo juga tersebar. Belum lagi dengan besarnaya serapan, koplo mampu mengembangkan diri seiring dengan semakin luarnya latar belakang penikmat koplo.
Koplo terkadang masih dinilai sebagai musik yang sepele. Ia lahir dari golongan masyarakat yang terpinggirkan. Para penentu idealisme adalah mereka yang pada umumnya mampu mengemukakan ide melalui media yang legal dan logis menurut hukum intelektual. Namun hal ini menjadi batu sandungan sendiri bagi para pelakunya karena kerap mengesampingkan aspek emosional yang bergejolak dalam keseharian mereka. Para pekerja atau golongan-golongan masyarakat yang hidup dengan ‘drama’ tersendiri menjadi Liyan bagi kalangan intelektual. Kepentingan yang lebih besar seperti narasi mengenai kebebasan politik atau kemandirian ekonomi kerap semakin mempositifkan kehidupan manusia sehingga aspek emosional terabaikan. Hal ini menjadi tembok yang dibangun oleh masyarakat intelektual, yang kemudian dirobohkan, salah satunya dengan kelahiran popularitas koplo.
Dengan diterimanya koplo di hampir semua kalangan, semua ras, semua suku (mengingat sebagian besar lagu koplo berbahasa Jawa), maka perjalanan koplo bukan lagi perjalanan narasi kecil yang menggugah narasi musik populer besar, melainkan juga bahwa koplo mengalami proses penarasian ulang. Proses penarasian ulang ini merupakan proses penarasian di mana sifat-sifat inferioritas koplo dari segi kesederhanaan nada, pilihan lirik, dan sejarahnya menjadi metanarasi yang diterima hampir dari sebagian besar pendengar musik di Indonesia.
Bagi Immanuel Kant menurut Lyotard, sang kemuliaan adalah suatu sentimen yang berbeda dari cita rasa. Kemuliaan terjadi ketika imajinasi gagal menyajikan suatu objek yang mungkin, hanya jika secara prinsip, hadir sesuai dengan suatu konsep. Hal demikian senada dengan apa yang dinyatakan Scott Lash mengenai pemikiran Lyotard “bahwa suatu seni – dan perwatakan yang sesuai dengannya – memiliki nilai yang sebanding dengan intensitas energi yang diberikan kepada penikmat seni. Semakin sedikit nilai representasi suatu karya seni semakin banyak perubahan dorongan-dorongan libido yang diberikan kepada para penikmat.” Sementara itu koplo tidak lahir dari idealisme yang lahir di mayoritas para penutur nilai, ialah yang lahir dari para intelektual kelas atas atau para pemikir yang menganggap fenomena patah hati atau drama-drama relasional pasangan manusia merupakan hal yang sepele. Lahirnya koplo sebagai sebuah kebudayaan pop meruntuhkan pandangan para intelektual dan para menganjur ide dari kelas atas lainnya. Mereka sering mengesampingkan aspek emosional sebagai hal yang lumrah dan sakral. Dengan demikian kebesaran koplo bukanlah kemuliaan, melainkan kemenangan dari pengakuan atas realitas. Sebuah dobrakan baru dunia posmodern yang hadir untuk meruntuhkan idealisme ekslusif para penentu nilai.
Koplo dan Identitas yang Baru diakui
Hal yang dikemukakan Sugiharto mengenai culture industry atau industri kebudayaan menurut sudut pandang Mazhab Franfurt adalah bahwa budaya pop memproduksi ‘gaya hidup’ yang mana bersifat massal dan dikelola terus oleh jejaring media iklan semacam televisi, radio, sinema, atau internet. Namun yang terjadi pada perkembangan koplo adalah sebaliknya, di mana koplo mampu membangun gaya hidup tersendiri, yang awalnya bermula dari realitas. Dengan demikian koplo merupakan sebuah kebudayaan yang diterima oleh masyarakat sebagai sebuah common sense, sebuah sensus communis yang terlepas dari bentukan suatu simbol kekuatan tertentu. Walau pada akhirnya koplo menjadi komoditas kapital, namun dorongan lahirnya koplo terlepas dari adanya hasrat kuasa untuk menciptakan sebuah narasi besar atas koplo dan konteks yang menaunginya.
Ungkapan seperti cendol dawet dan ambruk cagak merupakan metafor gambaran dari realitas pengalaman manusia yang memiliki beragam makna dan artikulasi emosi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Sugiharto bahwa dunia manusia adalah dunia simbol. Hal ini setara dengan yang dinyatakan oleh Sugiharto bahwa akhirnya metafor bukanlah sekedar bentuk semantik tertentu di antara berbagai bentuk lainnya, melainkan cara dasar manusia bergaul dengan realitas. Dalam pembahasan mengenai koplo, pengalaman-pengalaman manusia yang menderita adalah yang nyata namun terlalu sering diredam dalam kesibukan atau idealisme tersendiri. Koplo menjadi identitas karena mewakili pengalaman kehidupan sehari-hari manusia Indonesia melalui pilihan nada, tempo, bahasa, dan diksi yang dibawakannya. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Sugiharto mengenai bahasa, yaitu sebagai makna dari pengalaman itu sendiri. Kini, sekali-kalinya koplo didengarkan di berbagai kegiatan seseorang atau sekelompok, bukan lagi sebagai lagu yang mewakili tuntutan hiburan dari kelompok masyarakat yang terpinggir lagi melainkan mewakili selera intelektual dan historisitas dari para pendengar.
Dari perjalanan musik koplo yang mulanya hanya menjadi media hiburan bagi masyarakat kalangan kelas bawah, kini koplo menjadi hiburan bagi seluruh kalangan masyarakat. Perpindahan masyarakat dan perkembangan teknologi serta daerah mendorong koplo untuk mengikuti arus populer hingga saat ini diterima oleh pasar dan masyarakat. Koplo bukan hanya menjadi identitas hiburan masyarakat Jawa Tengah atau Jawa Timur melainkan seluruh pelosok Indonesia bahkan mancanegara. Berbagai jenis koplo berkembang hingga bahkan memunculkan beragam jenis koplo yang beragam. Koplo selanjutnya diakui sebagai musik Indonesia yang memiliki peran dalam meningkatkan derajat hidup, bahkan menjadi gaya hidup dan mewakili suara dari berbagai golongan. Musik ini tidak hanya didengarkan sebagai media hiburan melainkan juga menjadi bagian dari semangat masyarakat, yang selanjutnya mampu menginspirasi kalangan pemuda dan pekerja. Fenomena-fenomena masyarakat yang dianggap merugikan atau penuh drama dapat tersembuhkan, dengan kata lain, koplo menjadi healer media bagi beberapa kalangan. Singkat kata, koplo merupakan kearifan yang muncul dalam era global yang dapat diterima oleh berbagai kalangan karena mewakili kearifan dan pengakuan masyarakat atas berbagai tema yang dialami oleh manusia-manusia posmodern di Indonesia.
Daftar Pustaka
Lash, Scott. Sosiologi Postmodernisme. A. Gunawan Admiranto (terj.). Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 2004.
Lyotard, Jean Francois. The Postmodern Condition: Suatu Laporan Mengenai Pengetahuan. Ermelinda (terj.). Amadeo Publishing: Surabaya, 2019.
Sugiharto, Bambang I. Kebudayaan dan Kondisi Post-Tradisi. Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 2019.
Sugiharto, Bambang I. Postmodernisme. Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 1996.
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.