Ketidaktahuan sebagaimana pernyataan Plato, filsuf Yunani Kuno, adalah akar dari semua kejahatan di atas bumi ini. Kesalahpahaman mendorong orang bertindak salah, walaupun niat hatinya baik, demikian pernyataan filsuf Prancis Albert Camus. Ketidaktahuan menjadi sumber kesalahpahaman terhadap filsafat. Khususnya Filsafat Islam, ada banyak anggapan dan tuduhan yang dialamatkan kepadanya, sehingga orang enggan menjamah ataupun masuk kedalam rumah besar filsafat Islam ini.
Pertama, filsafat itu adalah ilmu yang rumit dan sulit. Filsuf pun juga orang yang bergelut dengan filsafat seringkali menggunakan “bahasa alien”, kata-kata dan teori yang sulit dipahami oleh kaum awam. Kedua, belajar filsafat itu tidak menjanjikan pekerjaan yang jelas. Ketiga, filsafat itu sesat, mempelajarinya akan mengantarkan seseorang pada jurang kesesatan, murtad, dan bahkan kafir.
Dengan anggapan-anggapan ini, filsafat bukan saja tidak menarik dipelajari, tetapi juga bayangannya sedemikian suram dan penuh dengan ketakutan-ketakutan seperti, takut sesat, takut murtad, bahkan takut menjadi kafir. Citra buruk (bad image) yang muncul belakangan bahwa filsafat Islam itu bercitra sulit dipelajari, pada dasarnya itu terjadi karena filsafat Islam efek diasingkan dari realitas peradaban Islam.
Terlebih lagi, masih ada juga kelompok masyarakat Muslim yang memvonis bahwa Filsafat Islam “haram” dipelajari, sebab akan mengotak-atik bangunan iman mapan yang sudah ada. Dikhawatirkan akan menjerembabkan pembaca atau pelajarnya ke dalam lembah kekafiran. Kalau seandainya sedari awal dipelajari dan dikaji seperti ilmu-ilmu yang lain, niscaya bad image tersebut dapat terkikis. Demikian juga jika diperpanjang, sungguh terdapat sekian deret pertanyaan bahkan debat kusir yang tak kunjung usai.
Tapi yang jelas, jika filsafat itu sulit, ingatlah, kesulitan itu akan membantu seseorang mencapai kemudahan setelahnya, yakni pemahaman yang lebih komprehensif. Bukankah demikian yang diajarkan oleh al-Qur’an surah Al-Insyirah: 5-6: “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
“Lancar kaji karena diulang, pasar jalan karena diturut.” Peribahasa ini mengandung arti bahwa kepandaian atau kemahiran didapat karena rajin berlatih. Selanjutnya, jika pun benar filsafat itu sesat, untuk membuktikan kesesatan filsafat harus punya argumen. Dan ketika argumen itu disusun, sebetulnya, sadar atau tidak, seseorang itu sedang berfilsafat.
Pun, lazim terjadi, filsafat sering disinyalir laksana pisau bermata dua; satu dapat bernilai positif manakala digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan kemanusiaan. Namun, tidak jarang pula, satu dimensi yang lainnya digunakan untuk keburukan, bahkan kejahatan sehingga tidak jarang menghadirkan dan menyisakan nestapa kemanusiaan.
Namun kali, penulis tak akan membahas apakah filsafat bisa menyesatkan apakah tidak, melainkan mengajak pembaca untuk menapaki jejak historis filsafat Islam. Sudah jelas bahwa filsafat (sebagaimana telah dijelaskan dalam berbagai literatur) berasal dari Keldania (sekarang Irak), kemudian pindah ke Mesir, lalu ke Yunani, Suryani, dan akhirnya sampai ke negeri Arab. Filsafat pindah ke negeri Arab setelah datangnya Islam.
Syahdan, di abad pertama sejarahnya, Islam tidak membawa filsafat. Meskipun semenjak awal, Islam memungkinkan pembicaraan tentang etimologi Islami atau etika Islami, namun pada saat itu belum berkembang kesadaran akan metode dan sistem kefilsafatan. Meskipun demikian, dalam perkembangannya lantaran pengaruh Persia, membuat Islam bersinggungan dengan filsafat-filsafat kuno.
Wilayah-wilayah penyebaran Islam memiliki warisan Hellenis sebagaimana yang dikembangkan oleh gereja-gereja Timur, ia merupakan pengaruh yang ditinggalkan oleh Iskandar Agung, jauh sebelum Islam. Bahwa bangsa Nestoria tetap mempertahankan sebuah aliran filsafat di Jundishapur (atau Gandisapora) di dekat Ahvaz, Persia, sejak abad ke-3 Masehi.
Rupanya, keadaan mulai berubah secara progresif, terutama setelah kaum muslimin membentuk suatu negara raksasa yang membentang dari penghujung negeri Cina di timur, sampai ke penghujung semenanjung Andalusia (Spanyol) di Barat. Mereka telah menerima dan memegang panji-panji peradaban dunia, mendalami berbagai disiplin ilmu dan seni, serta merenungkan dasar-dasarnya.
Watak ajaran Islam adalah terbuka, oleh sebab itu sesuai dengan perkembangan dan perluasan wilayah Islam itu sendiri, maka ajaran Islam tidak bisa lepas dari pergumulan dengan budaya dan pengetahuan bangsa lain serta berkembang semakin luas dan menyangkut berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat. Pertanyaannya adalah bagaimana filsafat masuk ke dunia Islam?
Hampir semua pemikir mengatakan bahwa, filsafat masuk ke dalam pemikiran Islam melalui kontak yang terjadi di pusat-pusat peradaban Yunani yang terdapat di Aleksandria (Mesir), Antiokhia (Suriah), Jundisyapur (Irak), dan Bakhtra (Persia). Budaya dan Filsafat Yunani masuk ke negeri-negeri tersebut dengan adanya ekspansi Alexander Agung (Alexander The Great), yang dalam bahasa Arab disebut Iskandar Zulkarnain.
Ekspansi yang dilakukannya terjadi sekitar abad ke-4 Sebelum Masehi. Selanjutnya wilayah-wilayah tersebut, jatuh ke dalam kekuasaan Islam pada permulaan abad ke-7 M. Dari sini timbullah para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Thufail, dan Al-Farabi.
Masuknya pengaruh Barat ke dalam dunia Islam, tentu bukan hal yang aneh, karena sejak masa klasik, Islam telah mengalami apa yang disebut oleh W. Montgomery Watt sebagai “the wave of Hellenism” (gelombang hellenisme). Di sisi lain, dalam tinjauan kebudayaan, Islam pun telah menampakkan dirinya lebih sebagai “Barat”, ketimbang “Timur” melalui para filsuf yang disebut di atas.
Terhadap hal ini, kita bisa melihat dari konsep antropo-kosmologi Islam, yang banyak memberikan perhatian dan perkembangan intelektual; suatu metode pengetahuan yang berdasarkan akal budi, menggunakan penelitian, analisis kritis, dan berusaha menemukan hubungan-hubungan yang dapat diterima akal dari gejala-gejala yang ada.
Sikap Islam terhadap alam, ditunjukkan dalam konsep manusia yang berdiri sebagai “raja” di hadapan alam (khalifah fi al-ardl). Sehingga implikasinya, orang Islam begitu menyadari individualitasnya dalam hubungan dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia. Demikian pula, orang Islam percaya bahwa tujuan hidupnya adalah aktif mengambil bagian dalam bentuk sejarah dengan pengakuan akan kebebasan, sekaligus tanggung jawabnya dalam mengisi kehidupan di dunia.
Dengan demikian, maka, masuknya paham kebudayaan Barat ke Dunia Islam menjadi suatu hal yang tidak terelakkan. Namun, “Gelombang Ketiga Helenisme” jauh lebih serius ketimbang sebelumnya, karena tidak hanya bersifat intelektual belaka dan dalam suasana kebudayaan yang sama yaitu agrianate citied society (masyarakat agrarian berkota) seperti pada masa klasik.
Namun juga, seperti dikatakan Marshall Hodgson dalam bukunya “The Venture of Islam” sudah dibarengi dengan commerce eventually led to political interference and then to political domination, dari suatu masyarakat zaman teknik, kepada suatu dunia Islam yang sebenarnya belum berubah, masih bersifat masyarakat agraria-kota.
Karena itu, tidak mengherankan jika dalam suasana ini, pengaruh filsafat Barat (terutama melalui Yunani) pada masing-masing bagian daerah kaum Muslim begitu besar, dan berhubungan dengan kolonialisme yang dominan di masing-masing daerah Islam.
Jika demikian, sekiranya dewasa ini, filsafat Barat mutakhir bisa dipetakan dengan filsafat Inggris-Amerika (yang dominan dengan positivisme-logis), filsafat Perancis (yang dominan dengan fenomenologi, eksistensialisme, strukturalisme, dan post-strukturalisme serta postmodernisme), dan filsafat Jerman (yang dominan dengan tradisi Neo-Hegelianisme dan penafsiran baru atas Hegel-Marx melalui The Frankfurt School), maka filsafat Islam kontemporer juga bisa dipetakan dalam alam pemikiran Islamnya yang didominasi oleh tradisi filsafat Inggris-Amerika, Perancis, atau Jerman.
Jika diperhatikan, sangat banyak kacamata sinis memandang sebelah mata pemikiran Timur sebagai bukan filsafat melainkan sebagai agama, karena dianggap terlampau transenden, surealis, tidak logis dan irrasional, tidak sistematis juga tidak kritis. Jika memang demikian, tentu satu pertanyaan lugu segera bisa kita ketengahkan.
Apakah kriteria radikal (berpikir secara mendalam dan tuntas), sistematis, dan kritis memang berasal dari dan hanya bisa dilakukan oleh Barat? Logika paralel yang bisa diketengahkan adalah: apakah teori emanasi (faidl) al-Farabi, teori iluminasi (isyraq) Suhrawardi, konsepsi safar-nya Mulla Shadra yang ternyata tidak jauh beda dengan pemikiran dan ajaran Buddha, Konfusius, dan Lao Tzu tidak termasuk filsafat?
Inilah yang kemudian layak disangsikan, karena memang seringkali kategorisasi filsafat dan bukan filsafat ditentukan oleh Barat yang cenderung selalu memaksakan kriteria-kriterianya terhadap Timur. Padahal, kita tahu al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi, dan Ibnu Sina telah jauh menggumuli masalah klasik perbedaan antara esensi dan eksistensi ketika masyarakat dunia Barat masih belum banyak berkembang.
Justru pemikiran-pemikiran Timur lah yang banyak memiliki kedalaman, bersifat analitis, dan kritis, bahkan melampaui pemikiran Barat, misalnya Konfusius Lao Tzu dan Siddharta Gautama, meski pemikiran mereka di satu sisi tidak jarang diterima begitu saja oleh para penganutnya tanpa suatu kajian kritis, terkadang hanya dipahami dan ditafsirkan, untuk kemudian diamalkan sebagai way of life atau manhaj al-hayah.
Begitu juga, jika menilik fakta-fakta sejarah dan ilmiah dari tradisi berfilsafat itu sendiri, yakni: kritis, sistematis dan radikal. Maka tak disangsikan lagi bahwa filsafat Timur memenuhi segala kriteria filsafat. Barangkali, satu kegelisahan yang tidak mungkin kita tolak deru-deramnya adalah perbedaan filsafat Timur dengan Barat.
Telah mafhum kiranya, filsafat Barat sejak zaman Yunani kuno hingga post-modernisme menjadikan akal budi sebagai episentrum kajian, filsafat Timur tidak hanya berangkat dari akal budi, tetapi bahkan melampauinya dengan memberi apresiasi dan afirmasi pada roh, hati, dan olah jiwa.
Hati, dalam tradisi Timur dipahami sebagai instrumen yang mempersatukan rasio dan intuisi, serta intelegensi dan perasaan. Sementara, roh adalah spektrum dari kehadiran dan keabadian Tuhan dalam diri dan denyut kehidupan manusia yang serba temporer, cenderung muspra dan centang-perenang.
Konon, dalam berbagai Kitab Suci agama-agama disebutkan bahwa roh dan nafsu senantiasa bergumul dan berperang untuk menuntaskan metamorfosis dari kesejatian masing-masing dalam diri dan di luar diri. Tidak mengherankan jika filsafat Timur menembus dinding-dinding waktu dan melintasi rotasi masa sekian ratus generasi untuk kemudian menginspirasi perjalanan sejarah manusia.
Tumbuh dan berkembangnya Filsafat Islam
Dalam teori Ali Sami al-Nasysyar, sesungguhnya, orang-orang Islam telah mengenal filsafat Yunani, tidak hanya pada Masa Abbasiyyah, namun telah ada sejak masa Dinasti Umayyah. Al-Nasysyar mengajukan dua alasan penguatnya menyangkut kedinian masuknya filsafat ke dunia Islam.
Pertama, menurutnya telah terjadi kontak intelektual antara orang-orang Islam dengan pemuka-pemuka gereja di Syam dan Mesopotamia, karena pemuka-pemuka agama itu adalah guru-guru filsafat Yunani pada gereja-gereja dan biara-biara.
Kedua, bahwa Khalid bin Walid telah memerintahkan pakar-pakar Yunani yang tinggal di Iskandariyah (Mesir) untuk menerjemahkan Organon (Kitab Logika Aristoteles) ke dalam Bahasa Arab. Dua alasan ini kata al-Nasysyar menunjukkan fakta bahwa orang-orang Islam telah mengenal filsafat Yunani pada masa Bani Umayyah, pada abad pertama Hijriyah.
Pergumulan antara bangsa satu dengan bangsa lain di dunia hampir tak bisa dihindari sama sekali. Implikasi dari semua ini adalah, tidak adanya kemurnian budaya satu pun di dunia ini. Dan biasanya negara besarlah yang memiliki pengaruh dan bersifat hegemonik. Hanya, Islam memiliki orisinalitas dan otentisitas ajaran.
Oleh sebab itu, ketika Islam bersinggungan dengan budaya Yunani, Persi, Cina atau yang lainnya, maka tidak otomatis Islam di-Yunani-kan, di-Persi-kan, dan lainnya. Islam datang pada permulaan abad ke-7 M, kemudian berkembang sampai ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol pada akhir abad tersebut.
Rupa-rupanya, pada wilayah ini peradaban yang sudah ada tetap dikembangkan dan disemangati oleh karakteristik ajaran Islam. Karena sesuai dengan watak ajaran Islam itu sendiri, yaitu memberikan kesempatan kepada pemeluknya untuk menyerap ide-ide dari banyak sumber. Kontak dengan wilayah baru itu menyebabkan umat Islam menyerap ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani dan juga Cina. Mereka mentransfer ilmu-ilmu tersebut dalam paradigma baru dan kemudian berkembang sehingga menjadi bagian dari peradaban Islam.
Setelah diintegrasikan ke dalam struktur dasar yang berasal dari wahyu Tuhan. Warisan Yunani itu sendiri untuk sebagian besar merupakan campuran pandangan-pandangan kuno di sekitar Laut Tengah yang disistemasikan dan disusun dalam bentuk dialektika orang-orang Yunani.
Dari Aleksandria (Mesir) warisan itu dibawa ke Antioch, kemudian ke Nisibis dan Edessa oleh orang Kristen Monofisit dan Nestorian hingga sampai Persia (melalui penerjemahan). Baghdad adalah sebuah kota yang merupakan pusat studi ilmu pengetahuan yang populer saat itu. Di kota ini berdiri lembaga ilmu pengetahuan yang bernama Bayt al-Hikmah.
Pusat studi yang pada mulanya lahir di Yunani berpindah ke Iskandariyah dan selanjutnya ke Antioch dan berakhir ke Kota Harran pada zaman khalifah al-Mu’tadhid Billah. Ia penguasa yang pemberani dan enerjik. Sebelum ia diangkat sebagai khalifah, ia sudah memiliki kekuasaan tinggi, dan berlanjut sebagai khalifah ia sanggup mengatur pemerintahan, Mesir kembali ke pangkuan khilafah.
Pusat studi tersebut berpindah dari Haran ke Baghdad. Di antara guru besar filsafat yang mengajar di Baghdad saat itu antara lain: Kuwairi, guru Abu Basyar Matta dan Yuhanna Ibn Hilan, guru al- Farabi. Dari sinilah kemudian bermunculan para filsuf Muslim dari al-Kindi hingga al-Ghazali.
Sebenarnya kaum muslimin pada masa permulaan Islam tidak bermaksud untuk menukilkan filsafat secara langsung, dengan asumsi yang demikian itu belum dianggap penting, bahkan mereka tidak bermaksud menukilkan ilmu asing. Bilamana ada ilmu-ilmu asing yang telah merembes ke Arab dan umat Islam, hal itu karena adanya hubungan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa sekitarnya.
Hubungan itu telah terjadi pada masa Jahiliyah walau hanya dalam batas tertentu. Sehubungan dengan perpindahan ilmu asing ke Arab pada permulaan Islam, ada suatu cerita yang menarik. Konon pada zaman Rasulullah sudah ada dokter yaitu, Al-Haris Ibn Kildah as Saqafi. Ia dikenal sebagai dokter Arab.
Perlu juga dicatat, bahwa perpindahan ilmu kedokteran dari Yunani ke Jundishapur, serta penerjemahan buku-buku kedokteran ke bahasa Suryani dimulai setelah dibangunnya Iskandariyah (Mesir), kota yang menjadi pusat peradaban Yunani. Pada masa kejayaan Iskandariyah ini, banyak ilmuwan yang bermunculan di sana.
Mereka antara lain adalah Archimedes, Ptolemy, Galen, Euclid yang telah meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, seperti ilmu geometri, astronomi, dan kedokteran. Iskandariyah selanjutnya menjadi mercusuar ilmu pengetahuan sampai pada abad ke-6 Masehi.
Di sana lahir para ilmuwan generasi kedua yang menyusun kembali, memperbaiki, dan menyiapkan buku-buku para ilmuwan generasi sebelumnya untuk diajarkan kepada generasi selanjutnya. Dari generasi kedua inilah orang-orang Arab menukilkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat.
Demikianlah halnya, sehingga dapat dikatakan bahwa pindahnya filsafat ke Arab adalah setelah Iskandariyah dibangun dan menjadi pusat ilmu pengetahuan, di mana orang-orang Arab menerjemahkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan filsafat baik dari bahasa Yunani maupun bahasa Suryani ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku filsafat yang dilakukan orang-orang Arab pada mulanya bukanlah bertujuan untuk mempelajari filsafat.
Sebagai penutup, tahapan-tahapan masuknya filsafat ke dunia Islam, tidaklah berlangsung sekaligus. Dalam hal ini, sekurang-kurangnya ada 3 tahapan masuknya filsafat ke dunia Islam.
Tahap pertama, tahap pemula, yakni tahap penerjemahan filsafat Yunani ke bahasa Arab (abad I H / 7 M). Tahap kedua, tahap keaktifan terjemahan (abad ke-8 M). Tahap ketiga, tahap produktif (abad ke-9 M), yang melahirkan para pakar dan filosof di dunia Islam (abad ke-9 M). Pada saat inilah khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun mendirikan pusat pengajaran dan penerjemahan yang terkenal di dalam sejarah Islam, yaitu Wisma Kearifan (Bayt al-Hikmah), pada tahun 215 H/ 830. Harun Nasution menyebut bahwa di lembaga itu terdapat 90 orang ahli penerjemah.
Singkatnya, filsafat dalam Islam muncul secara tidak langsung. Berbeda dengan kalam, tasawuf, dan fiqh misalnya, yang menjadikan al-Qur’an dan Sunnah sebagai “point of center” dari keilmuan mereka. Filsafat Islam justru memakai (terutama) filsafat Yunani sebagai dasar konstruksi teoritisnya, paling tidak untuk melegitimasi iman pada al-Qur’an.
Wallahu a’lam bisshawab.
Salman Akif Faylasuf
Santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo.