Mahatma Gandhi

“Peradaban menghendaki pembatasan segala kebutuhan dengan suka rela.”

Setidaknya kalimat itu bisa menjadi sedikit pengantar dari urai dan harapan Gandhi mengenai pentingnya pengendalian sepanjang hayat. Kita bisa memahami bahwa pengendalian yang dimaksudkan ialah pengendalian dari ‘dalam’ yang penuh kesadaran terkait ihwal yang diucap, dipikir, diresap, hingga ditindak. Manusia mesti menjadi seperti patung pualam yang tak tergoda oleh hal-hal lain di luar, ia mesti tetap tenang dengan kesadaran terhadap pembatasan dirinya. Namun mereka yang membatasi diri dengan pembatasan dari luar, bukanlah bentuk pengendalian. Perbedaan Tindakan itulah yang coba Gandhi buktikan kepada dunia.

Mohandas Karamchand Gandhi, atau lebih dikenal dengan Gandhi, seseorang dengan perawakan tak terlalu tinggi, kurus, dan mengenakan kain putih yang dibalutkan sekeliling tubuhnya. Pembawaan bicaranya pun tidak berapi-api penuh semangat laiknya seorang penggagas besar revolusi atau kemerdekaan. Sederhana. Namun sejarah mencatat, betapa seseorang yang begitu rendah diri telah menjadi pahlawan bagi India. Gagasannya tidak disampaikan dengan gaya khas sastra, jurnalis, atau pun filosofis. Dan sesungguhnya pula, apa yang disampaikannya ialah wajah khas Dunia Timur yang penuh kearifan, kebijaksanaan. Dunia mengetahui itu. Lagi-lagi, apa yang telah diperbuatnya dengan percobaan-percobaan mengenai kebenaran, sungguh berhasil menggetarkan tidak hanya masyarakat India, bahkan dunia. Sebayang sosok dengan ikatan suci pada Kebenaran. Singkatnya, ia adalah wajah Timur yang selama kolonialisasi Barat acapkali ditatap sebagai liyan.

Apa yang dibawa Gandhi pengenai peradaban sesungguhnya sederhana.

Kita sama-sama mengerti, ketika sebuah peradaban terbentuk, masyarakat akan terus mengupayakan keterjagaan hingga perkembangan peradaban tersebut. Dari taraf kolektif hingga individual. Bahwa ada sesuatu yang mesti diupayakan terus menerus, ditumpuk sedemikian rupa hingga sampai pada ujudnya yang gemilang, puncak. Namun di sisi lain kita menyadari, bahwa ujud kegemilangan ialah bentuk utopis dari masa sekarang. Singkatnya, hal yang transendental. Begitu pula pada taraf individual, ada hal-hal yang mesti dicapai sedemikian rupa. Dan rupa itu bisa berbagai, baik materi atau ide. Fisik atau intelek. Gandhi menganggap pencapaian yang jauh itu adalah khayalan dan jerat belaka. Baginya, pemuasan kebutuhan fisik mau pun intelektual, pada satu titik sepenuhnya harus dihentikan karena lambat laun wujud dari keduanya ialah sama, yang berbentuk keserakahan.

Oleh karena itu, penekanan mengenai pembatasan kebutuhan ialah hal yang penting bagi manusia. Dan bagi hemat saya, kepentingan tersebut ialah kepentingan kehidupan yang bersifat personal seperti rasa ketenangan dan kebahagiaan. Sementara mengenai kebahagiaan, salah satu syarat yang mutlak ialah rasa cukup.

Gandhi pernah berprofesi sebagai wartawan. Ia mesti bergulat dengan ide dan kata-kata karena profesinya yang sedemikian. Menariknya, profesi itu sebetulnya tidak ia maksudkan sebagai sekadar tindakan keseharian sahaja, melainkan sebuah alat teruntuk menjalankan misi penting dalam kehidupannya. Misi tersebut, ia menyebutnya dengan Satyagraha. Yang secara harfiah, Satyagraha berarti “kesetiaan pada kebenaran”. Padanya, rupa kebenaran adalah pantang kekerasan, Ahimsa. Tindakan inilah yang diperjuangkan Gandhi mati-matian, karena baginya Kebenaran adalah sama dengan Tuhan.

Gandhi menjadi begitu terkenal sebagai seseorang yang melawan kekerasan dengan jalan Ahimsa. Bukannya tak mampu atau tak ada senjata lain untuk melawan, namun jika ia memili senjata pun, satu-satunya amunisi yang akan ia gunakan dalam melawan adalah Ahimsa, tanpa kekerasan. Dan inilah yang terus menerus menjadi gaung besar nama Gandhi. Yang sanggup memaksa Inggris, negeri yang matahari tak pernah terbenam itu, untuk melepaskan India sebagai tanah yang merdeka.

Namun meskipun Ahimsa adalah Gandhi, ia sebetulnya hanya menaruh keyakinan penuh pada tindakan itu. Bahwa sesungguhnya yang betul tinggi ia upayakan ialah Kebenaran.

Dalam profesinya sebagai wartawan, ia sungguh-sungguh mawas diri agar tidak terjerumus pada sesuatu yang berlebih-lebihan. Ada kepercayaan, bahwa ia mesti menekan hindar penggunaan kata-kata yang canggih agar tak terkesan congkak dan akrobat intelektual. Pun ia mesti menyilapkan amarah dalam dunia-tulisan, ketika ia betul-betul berhadapan dengan diri yang begitu gusar. Dari sana, perlahan kelemahan-kelemahannya coba untuk disadari dan perlahan pula coba ia lepaskan. Lantas ketika gagasan tulisnya rampung, orang-orang yang membaca halaman-halaman Young India. yang memuat tulisan Gandhi, akan cenderung bergumam “Betapa arif penulis tua itu!”. Namun, hal yang perlu untuk disadari para pembaca sesungguhnya adalah kearifan yang lahir dari binaan dengan saksama dan khidmat seorang Gandhi dengan begitu tekun. Seseorang yang ulet dengan kesederhanaan.

Dari proses pengendalian itu pula, Gandhi menyadari kekuatan yang lahir saat ia berhasil menekan hasrat terdalam. Kemarahan, misalnya. Baginya, apabila seseorang berhasil menekan amarahnya sedemikian rupa, darinya akan terlahir sebuah kekuatan yang sanggup mengendalikan dunia. Gandhi meyakini hal tersebut.

Namun bagi Gandhi, pertanyaan mengenai “Bagaimana cara mengendalikan amarah?” agaknya merupakan sesuatu yang tak perlu. Ia percaya, setiap manusia sudah dibekali oleh kemampuan untuk bertindak seperti itu. Pengendalian diri bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan hal yang lahir dari dalam. Seperti ada sebuah evolusi dari pendisiplinan diri yang panjang, tentang bagaimana seseorang bisa mengalihkan dan mengendalikan emosi kemarahan. Ia mendapatkannya tanpa perlu banyak bertanya, tapi dengan laku ketat. Dengan tingkat disiplin luar biasa serta kesadaran akan pengendalian diri.

Tanpa pengendalian, bagi Gandhi, alam akan menghukum manusia sesuai dengan tindakannya. Seperti halnya seseorang yang makan terlalu banyak dengan serakah akan mengalami sakit perut. Lantas ia membutuhkan puasa untuk mengendalikan keadaan sakitnya hingga pulih semula. Paling tidak, contoh itu cukup mudah dalam memahami bagaimana seseorang mesti belajar untuk mengendalikan diri. Hal itu ialah suatu kebutuhan, sesungguhnya. Kebutuhan manusia agar tak bersakit-sakit akibat hasrat yang abadi. Namun, acapkali manusia tak mampu memahami, dan mereka terus-menerus mencoba lari dari akibat-akibat yang menyesakkan. Meski mereka mengerti, bahwa itu ialah akibat ulahnya sendiri. Karenanya, tidak seharusnya seseorang meluputkan diri dari akibat yang ditimbulkan perbuatannya sendiri. Tindakan tersebut bagi Gandhi adalah asusila.

Adalah puasa, salah satu jalan manusia yang diyakini sebagai tindakan pengendalian diri yang utama. Namun puasa yang ia maksudnya ialah dalam artian yang luas. Tak terbatas pada tindakan fisik untuk menahan lapar hingga berbuka. Karena baginya, tindakan yang hanya menekankan unsur yang seperti itu—hanya menahan lapar—adalah sebentuk puasa tak bermakna. Anggapannya adalah demikian, bahwa tubuh dan budi memiliki saling keterkaitan. Keduanya tak bisa dipisahkan, keduanya memiliki unsur kausalitas. Kita bisa menganggap seperti ini, bila salah satu di antaranya ada gangguan (dari tubuh atau budi), niscaya sebuah sistem akan tak berjalan sebagai mana mestinya, dengan kata lain rusak. Sistem yang dimaksudkan sendiri ialah bagaimana manusia menjalani kehidupannya dengan tindakan yang sadar dan sepenuhnya menggunakan tubuh dan budi. Begitu pula dengan akhlak yang mulia, tiada akan tercapai apabila kesenjangan terjadi antara keduanya. Maka, Gandhi percaya bahwa pikiran dan nafsu yang jahat ialah rupa dari sewujud penyakit. Oleh karena penyakit juga bersumber dari pikiran dan nafsu, maka puasa adalah suatu jalan yang diperlukan dalam mencegahnya. Suatu wujud pengendalian diri secara personal-spiritual.

Tindakan demikian tentu saja tidak akan mudah dilakukan hanya dengan sekali atau beberapa saja coba. Suatu disiplin perlu seseorang lakukan agar tindakan itu membuahkan hasil. Sama halnya dengan percobaan ilmiah yang mutlak diperlukan pendidikan dan percobaan yang begitu ketat, demikian juga dalam percobaan spiritual seseorang perlu mendisiplinkan diri dengan pengetahuan cukup tentangnya dan tindakan yang ketat pula. Kebebasan batin hanya akan dicapai dengan cara-cara yang demikian.

Percobaan Gandhi tersebut begitu jujur dan mulia. Betapa ia menerapkan ajarannya tanpa pilih-pilih. Mengenai puasanya pada amarah, juga ia terapkan begitu luhur kepada mereka yang mencederai kemerdekaan bangsanya, Inggris. Gandhi tak pernah membenci orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan kepadanya maupun bangsanya sendiri. Orang Inggris, bagi Gandhi adalah saudaranya sesama manusia yang perlu dikasihani dan disadarkan. Gandhi seperti ditakdirkan untuk tak mampu membenci satu mahkluk pun selama hidupnya. Jika pun mampu, satu-satunya yang dia benci adalah kejahatan, bukan mereka yang melakukan tindakan-tindakan jahat. Ia hanya mampu membenci sistem kolonialisasi yang dilakukan orang-orang Inggris tanpa harus membenci mereka sebagai ujud pelaku tindak.

Dengan sadar dan tekun, ia berjalan di sunyinya jalan kebenaran. Seperti dalam ungkapan sebuah syair: “Jalannya kasih sayang laksana siksaan api, mereka yang segan-segan tentu menghindar”. Gandhi tak sediki pun gentar dalam memberikan kasih sayang.

Dari tindakannya itu, Gandhi berhasil memberikan tauladan mengenai tindakan pengendalian diri yang dibutuhkan dalam mencapai kebahagiaan manusia. Itu yang ia perjuangkan hingga akhirnya peluru bersarang oleh rekan sebangsa tanahnya yang tercinta. Yang selama hidup ia perjuangkan dengan nyawa dan kesepian mendalam.

Sepanjang hidupnya, materi duniawi yang ia miliki secara personal hanyalah enam alat tenun, perabotan untuk di penjara, satu kaleng susu kambing, enam baju hasil tenunannya sendiri dan handuk-handuk serta reputasinya yang tak seberapa. Sepak terjangnya dalam dunia-politik tak menyurutkan langkahnya untuk selalu berada pada jalan hidup asketis. Dan sesungguhnya, ia pun siap untuk melepaskan beberapa benda duniawinya untuk bersiap menjadi orang yang tak memiliki apa pun. Serasa ada yang terlepas jatuh dari pundak, tatkala segala beban dunia itu hilang, ujarnya.

Hingga pada suatu ketika ia menuliskan, “Saya tidak ingin mati… karena kelumpuhan yang merambati pancaindera saya, (hal itu) menjadikan saya seorang yang dikalahkan. Mungkin butir peluru seorang penyerang akan menghabisi hidup saya. Saya akan menyambutnya dengan senang hati.” dan harapannya itu yang lantas menjadi kenyataan. Takdir telah memperkenannya untuk pergi dengan berbahagia.

Orang tua itu, kini duduk bersila, berselubung kain putih, dan berbicara dengan suaranya yang lembut kepada kita semua mengenai pentingnya mengendalikan diri. Gandhi telah menyambut hidupnya dengan meninggalkan kasih kepada dunia.

Bacaan lanjutan:

Gandhi, Mahatma. Semua Manusia Bersaudara (All Men Are Brother). Jakarta: Buku Obor, 2016.

Tenaga pendidik di salah satu sekolah menengah di Kota Malang. Mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas Negeri Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.