Ghosting: Memaknai Ulang Pikiran dengan Kehilangan

Aplikasi semisal Tinder di satu sisi menjadi harapan bagi para Bani Jomblo. Ingin pasangan yang seperti apa? Stylish-kah? Bermuka unyu-kah? Aplikasi itu bisa membantu seseorang untuk bertemu dengan tipe pasangan yang dikehendaki, setidaknya secara fisik. Kalau seseorang pintar mengolah komunikasi yang mengasyikkan, ia berpotensi melanjutkan pertemuan dengan sobat match-nya ke dalam dunia nyata serta menjalin hubungan yang lebih serius. Lantas apa jadinya jika tiba-tiba sosok yang sudah terlanjur memikat hati tersebut pergi tanpa jejak? Fenomena ghosting ini menjadi konsekuensi yang mestinya disadari kala menggunakan beragam jenis media sosial. Pada awal 2021 di Indonesia, kita sering melihat fenomena ghosting sebagai hal yang perlu disoroti setelah polemik Felicia Tissue vis a vis Kaesang Pangarep. Perasaan Felicia yang digambarkan hancur sempat menjadi trending Twitter, lantaran Kaesang memantapkan hatinya pada wanita lain. Berita macam ini dapat diterima khalayak karena mampu membuka beragam pengalaman dan perasaan serupa yang kiranya dialami banyak orang.

Persoalan semacam ini membawa kita pada pertanyaan: Bagaimana realitas semu, yang dihadirkan di internet, mampu memancing pengalaman emosional kita? Pertanyaan ini sekaligus akan menguji apakah konseptualisasi pasangan yang pergi tiba-tiba sebagai “hantu” itu dapat dibenarkan? Manakala kita percaya sedang dilanda ghosting, penulis pikir hal itu menunjukkan kita terlalu arogan menafsir diri kita sebagai makhluk yang “nyata”.

Tentang “Ada” dan Kita yang Tengah Merasa

Berbicara mengenai konsep ghosting bukanlah sebuah hal yang baru, bahkan bagi seorang filosof Prancis, Rene Descartes. Pada konsepsi monumentalnya, Cogito Ergo Sum, realitas-yang notabene adalah pokok utama diskursus ghosting-adalah hal yang subjektif. Benda yang dilihat seseorang, pada dasarnya, tidak berdiri sebagai realitas yang dapat ada tanpa kehadiran diri seseorang itu. Sebaliknya, Descartes menduga segala benda mampu seorang yakini keberadaan berikut dengan sifatnya karena benda-benda tersebut adalah hasil olah data persepsinya (Yogiswari, 2019). Pendeknya, sebuah benda dapat seseorang nyatakan “real” karena kesadaran serta pikirannya yang tengah bekerja.

Pada satu sisi, pemahaman yang masih mentah dapat membuat seseorang berada dalam situasi soplisistik; bahwa ia adalah satu-satunya entitas di dunia yang berposisi sebagai realitas sesungguhnya. Adapun benda di luar dirinya tidak lebih dari kreasi fantasi. Peristiwa ini karenanya masuk akal untuk mendudukkan seseorang pada kondisi yang dialami pengidap skizofrenia (Yogiswari, 2019).

Tetapi Descartes memang bukan bermaksud membawa manusia pada jenjang psikologis melalui konsep tersebut. Upaya Descartes untuk menghindarkan persoalan itu adalah dengan melanjutkan: kendati sebuah benda ada lantaran olah persepsi atau keberpikiran kita, kita bukan penyebab aktif dari konstruksi benda itu. Benda lain yang akhirnya kita temukan sesungguhnya telah meluas dalam ruang dan waktu-yang disebut Descartes sebagai res extensa. Persepsi kita, lebih dalam, ditempatkan Descartes sebagai alat subjektif untuk memahami benda dan alam semesta sebagai hal yang bukan sekadar “ada” secara konsep tetapi akhirnya “nyata” secara materiil-bersamaan dengan sifatnya-bagi kita (Yogsiwari, 2019; Wertheim, 2015; Bunyamin, 2012).

Mungkin kita dapat teringat bagaimana cerita para korban ghosting saat meratapi nasibnya. Begitu kedekatan yang tengah dirasakan akhirnya tak bersambut dengan kesetiaan eksistensi, dapat kembali terlihat ada jejak dari mereka untuk mendeklarasikan diri sebagai “makhluk nyata yang tersisa”. Indikasi ini diambil dari fenomena keyakinan bahwa para kekasih-kekasih berlari dan “menghilang” dari realitas cinta yang sedang terbangun sebelumnya-begitulah sebagaimana kita mengenal ghosting per definisi. Namun mari kita berpikir jikalau para korban ghosting, dengan sadar atau tidak, agaknya merupakan sekelompok Cartesian garis keras; apa yang nyata bagi mereka adalah apa yang selamanya berada dalam jangkauan indera serta pikiran terkininya.

Pada simpulan tersebut, bukan berarti hita hendak mendiskriminasi, menghina, atau membuang rasa simpati terhadap para korban ghosting. Namun kiranya, sebelum beranjak untuk mengafirmasi konsep ghosting, kita perlu memikiran wejangan Parmenides, yang bahkan telah hidup jauh sebelum Descartes. Terangnya, sesuatu yang ada tidak mungkin tidak pernah ada. Pasal kita yang akhirnya mempersepsikan bahwa sesuatu itu kini tidak ada, itu disebabkan oleh kita yang ikut membawa sesuatu itu ke dalam pergerakan kita. Pergerakan itu hanyalah semu sifatnya (Dewantara, 2016; Qomaruzzaman, 2020)-karena ia selalu mengarahkan segala benda yang terlibat untuk ikut berubah. Jika ditafsirkan lebih lanjut lagi, Parmenides ingin mengingatkan bahwa semua benda adalah ada sekaligus nyata di masanya, entah itu di masa lalu maupun masa kini. Karenanya, ghosting kiranya ialah sebentuk kekacauan konseptual tentang realitas. Yang seharusnya terang dipahami adalah seorang mantan pasangan sebenarnya saat ini tengah menyejarah dalam buku kehidupan. Dalam makna yang lebih sederhana, seseorang tersebut pernah hadir dalam hidup dan nyata sebagai masa lalu kita.

Lalu mengapa konsep itu bisa menjauh sehingga menghadirkan fenomena ghosting? Hal ini dapat disebut sebagai konsekuensi materialisasi perasaan. Realitas dalam hubungan yang semu, misalnya, dibentuk di internet. Realitas semu tersebut tampak menggoda hingga mampu mewujudkan kehendak yang agak eksesif.

Wujud logika itu sendiri kurang lebih begini: kalau penulis sedang mencintai seseorang maka dia yang telah merebut perhatian dan rasa cinta penulis mesti harus selalu ada secara nyata bersama penulis. Persoalan seperti ini persis dengan konsep yang dibentuk Descartes di atas: benda akan dinyatakan “ada” sepanjang ia telah berhasil kita persepsikan melalui indera kita. Bagi penulis, hal itu adalah akibat konseptual pemikiran khas Descartes bahwa kita sebagai objek yang berpikir (res cogitans) terpisah dengan objek berkeluasan yang tidak berjiwa dan berpikir (res extensa) (Pramono, 2011).

Yang berbahaya di situ-yakni dengan membenarkan persepsi inderawi sebagai pintu pertama ihwal yang “nyata”-kita bisa terjebak pada anggapan yang menafikkan apa yang semestinya memang nyata dalam kehidupan kita. Katakanlah jika “objek nyata” itu tiba-tiba tak terjamah indera atau persepsi kita kembali, objek tersebut sangat mungkin untuk kembali pada statusnya yang abstrak/tidak nyata. Persis di titik ini, kita mestinya paham kalau mengafirmasi bahkan termangu pada ghosting sebenarnya adalah usaha yang memaksa status realitas seseorang di masa lalu untuk selalu abadi-kecuali bila kita tidak lupa dengan petuah Parmenides. Padahal tentu saja batas manusia adalah sampai pada taraf mempersepsikan bukannya mengabadikan-ini kalau kita mau konsisten dengan struktur konsep Descartes.

Mempersepsikan Harapan

Krisis yang tergambar di atas penulis pikir membuat kita maklum mengapa kalangan non-Cartesian sekaliber Maurice Merleau-Ponty mengkritik pemikiran Descartes: bahwa jiwa merupakan entitas yang independen dari segala benda di dunia, termasuk tubuh. Merleau-Ponty secara tersirat berucap bila konsep Cartesian itu membuat manusia terkungkung pada egonya. Kalau anda mencermati penjelasan penulis sebelumnya, dalam lingkup konsep Descartes, tubuh manusia diletakkan sebagai objek atau benda. Dalam pandangan Merleau-Ponty, hal tersebut sangat bermasalah. Baginya, keberpikiran-sekaligus eksistensi-manusia justru terletak di kala tubuh dan jiwa bersatu. Melalui momentum itu, manusia justru menapaki suatu dunia yang dapat mengindera secara subjektif tetapi juga mampu meluas perspektifnya (Pramono, 2011; Nixon, 2020).

Dengannya, yang hendak penulis maknai adalah ghosting seakan merupakan saat di mana kita kehilangan kesempatan menjadi makhluk yang bisa mempersepsikan sesuatu sebagaimana mestinya. Tentu saja ghosting adalah buah persepsi kita untuk menceritakan kisah cinta kita yang pupus. Tapi jauh dari itu, ghosting memperlihatkan keangkuhan kita ketika melihat subjek lain sebagai benda: bila tidak sesuai ekspektasi kita, sosok subjek lain bisa menjadi sasaran strategi kita untuk mengacuhkan kehadirannya.

Sekali lagi, ini bukan jalan penulis untuk tidak bersimpati atas perasaan para korban ghosting. Tetapi analisis terdalam Merleau-Ponty memang benar: sebagai subjek yang mengada serta berpikir dengan tubuh dan jiwa, setiap dari kita akan selalu dituntut berpartisipasi untuk memahami karakter subjek lain yang dinamis. Alih-alih terkesan membiarkan diri ditimpa resiko dalam dunia yang kita bagi bersama, menariknya, Merleau-Ponty menilai bahwa gagasan itu membuat dunia lebih bisa kita miliki sepenuhnya. Di tengah perjumpaan kita dengan pengalaman tertentu, kita akan selalu bisa mendapat kesempatan untuk terkoneksi dan memperhatikan hal lain di sampingnya yang memiliki makna yang lebih dalam bahkan menarik.

Di saat yang sama, kita juga mampu menghargai keberadaan manusia lain sebagai subjek yang berpikir (Nixon, 2020)-kendati manusia yang meninggalkan pasangannya begitu saja memang adalah penjahat dalam romansa. Tapi bagaimanapun, kalau kata orang-orang, dunia bukan tentang “dia” saja. Apakah sebagai subjek yang punya otoritas dalam tubuh dan jiwa kita masing-masing, kita mau selamanya dibelenggu kuasa sesosok subjek lain karena pengalaman yang ia bagikan? Lebih dalam, sepertinya mendengarkan lagu dari Letto berjudul Memiliki Kehilangan adalah pilihan bagus. Mengapa lagu ini? Nikmati saja liriknya dan rasakan persamaan pesan-pesannya.

Referensi:

Bunyamin, A. S. 2012. Sakral dan Profan dalam Kaitan dengan Ritus dan Tubuh: Suatu Telaah Filsafati Melalui Agama dan Konsep Diri. Melintas, 28(1), 23-38

Dewantara, A. W. 2016. Merefleksikan Tuhan dalam Perspektif Metafisika, dan Relevansinya Bagi Multikulturalisme Indonesia. JPAK, 16, 3-18.

Nixon, D. 2020. The body as mediator. https://aeon.co/essays/the-phenomenology-of-merleau-ponty-and-embodiment-in-the-world

Pramono, M. 2011. Wacana Non-Cartesian “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”: Tubuh dalam Tindakan. Makalah Kongres Pancasila III Surabaya, 31 Mei – 1 Juni 2011.

Qomaruzzaman, B. 2020. Berfilsafat Itu Mudah. Bandung: Pustaka Aura Semesta.

Wertheim, M. 2015. I feel therefore I am. https://aeon.co/essays/how-and-why-exactly-did-consciousness-become-a-problem

Yogiswari, K. S. 2019. Keraguan Kritis: Descartes. Jurnal Sanjiwani, 10(1), 45-52.

Faudyan Eka Satria
Faudyan Eka Satria
Penulis lepas. Pemikir bebas. Fokus mengkaji filsafat dan kebudayaan digital.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.